Menu Close
Presiden petahana Joko Widodo. Mast Irham/EPA

Jokowi menang dalam hitungan cepat, ini tantangan ekonomi untuk lima tahun ke depan

Kemarin, Rabu 17 April, sekitar 192 juta pemilih Indonesia secara serentak mencoblos lima kartu suara untuk memilih presiden dan wakil presiden, perwakilan daerah (DPD), dan anggota parlemen nasional (DPR) dan lokal (DPRD) yang akan menjabat lima tahun ke depan.

Hasil hitung cepat dari sejumlah lembaga survei kredibel menunjukkan bahwa pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin lebih unggul dengan perolehan suara sekitar 55%. Lawannnya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, meraih sekitar 45% suara. Kedua kubu telah bereaksi merespons peroleh suara tersebut. Hasil hitungan cepat ini menguatkan hasil survei dua pekan terakhir sebelum hari pemilihan.

Sepanjang kampanye beberapa minggu terakhir, Jokowi menjanjikan banyak hal, di antaranya, pertumbuhan ekonomi di atas 5% seperti janji empat setengah tahun lalu, penguatan ekonomi digital, dan pengembangan ekonomi mikro yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat.

Kami mengundang sejumlah analis ekonomi untuk memberikan pendapatnya terkait tantangan di bidang ekonomi digital dan pembangunan desa yang dihadapi Jokowi-Ma'ruf untuk periode kedua lima tahun ke depan.


Indonesia membutuhkan ekosistem ekonomi digital

Fithra Faisal Hastiadi, Peneliti dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Dalam debat calon presiden pada 17 Februari, Jokowi membanggakan empat “unicorn” asal Indonesia dan telah mempersiapkan 1.000 start up baru yang dihubungkan dengan inkubator global.

Pertanyaannya besarnya: apa sebenarnya infrastruktur yang tepat untuk melahirkan unicorn (perusahaan rintisan yang nilai kapitalisasinya lebih dari US$1 miliar)? Apakah sebuah satelit multiguna merupakan infrastruktur yang memadai untuk menciptakan lebih banyak unicorn selanjutnya? Pertanyaan yang muncul pada sesi debat tersebut Februari membuat saya merenung dalam. Pikiran saya melayang sampai pada 2017 ketika saya bertemu para pelaku start up di Silicon Valley Amerika Serikat.

Apakah infrastruktur mereka sedemikian hebat sehingga bisa berkumpul dalam satu loyang emas di sekitar San Jose? Ternyata keberadaan para pemodal ventura, koneksi yang lekat dengan pemerintah dan keberadaan universitas top seperti Universitas Stanford dan Universitas California Berkeley yang menjadikan tempat ini bak sentuhan raja midas. Sehingga secara semantik sebenarnya kita bisa mendudukkan pertanyaan itu lebih kepada apakah ekosistem inovasi yang ada dapat mencipta banyak unicorn baru.

Banyak dari kita, bahkan para calon presiden sekali pun, yang masih terjebak pada istilah, jargon dan rupa, sangat superfisial. Kebanyakan dari kita lupa bahwa revolusi digital memerlukan sebuah ekosistem yang jelas dan mengakar, dengan pemerintah seharusnya berlaku sebagai “ecosystem enabler”.

Lantas, bagaimana sebenarnya keadaan ekosistem tersebut di Indonesia? Ada banyak yang bisa dijabarkan seperti misalnya cuitan CEO Bukalapak Ahmad Zaky mengenai rendahnya dana penelitian, keluhan para peneliti yang lebih banyak tersita pada hal-hal yang administratif.

Yang jelas, pemerintah Indonesia perlu dorongan lebih besar untuk bisa lepas dari jebakan pertumbuhan ekonomi 5%. Secara rerata, Indonesia perlu tumbuh minimal 7%sampai 2030 nanti supaya bisa lepas dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap). Dua hal yang perlu dipenuhi sebagai prasyarat adalah produktivitas dan inovasi.

Ke depan, kita membutuhkan ekosistem yang memadai yakni ekosistem yang merupakan kolaborasi Quadruple Helix yang terdiri dari pemerintah, swasta, universitas dan masyarakat.

Disrupsi digital merupakan salah satu tantangan terbesar yang bisa diberdayakan untuk sebuah lompatan kuantum guna membentuk kemakmuran berlipat di masa depan. Teknologi, infrastruktur hanya pemanis, warga adalah pusatnya. Mari kita merenung, teknologi digital masa depan dibuat untuk siapa?


Pengembangan ekonomi masyarakat butuh konsistensi

Ruhmaniyati dan Asep Kurniawan, Peneliti Ekonomi Perdesaan dan Pemberdayaan Masyarakat di SMERU Research Institute

Dalam beberapa kesempatan kampanye, Joko Widodo membanggakan pencapaian program dana desa dalam mendukung pemerataan. Hingga kini, dana Rp257 triliun telah dialirkan ke puluhan ribu desa di Indonesia.

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, Jokowi-Ma'ruf harus terus menekan angka kemiskinan dan mewujudkan pemerataan bagi seluruh masyarakat. Namun, tantangan yang akan dihadapi adalah sulitnya menanggulangi kemiskinan di perdesaan.

Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencatat penurunan kemiskinan signifikan yang pada 2018 bahkan mencapai satu digit. Namun, kesenjangan antara desa dan kota masih tinggi. Pada 2018, misalnya, tingkat kemiskinan di desa hampir dua kali lipat tingkat kemiskinan di kota.

Selain itu riset Asian Development Bank terbaru juga mencatat bahwa sebagian besar kemiskinan di desa direpresentasikan oleh pekerja di sektor pertanian yang produktivitasnya rendah. Jelas bahwa upaya penanggulangan kemiskinan di perdesaan harus secara khusus membenahi sektor pertanian. Terlebih lagi, data BPS menunjukkan bahwa hanya sekitar seperempat dari pekerja di perdesaan berada di sektor formal. Oleh karena itu, dalam mengembangkan ekonomi perdesaan, pemberdayaan ekonomi berbasis pertanian akan menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Jokowi untuk periode kedua.

Beberapa program pemberdayaan ekonomi bagi warga marginal telah dilakukan pemerintahan Jokowi selama 4,5 tahun. Di antaranya adalah Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Program Keluaraga Harapan (PKH), Peningkatan Kesejahteraan Keluarga melalui Pemberdayaan Masyarakat (PKKPM), e-Warong, dan lain-lain.

Sayangnya, program-program tersebut pada umumnya tidak berjalan baik. Hasil monitoring Program PKKPM, misalnya, menemukan bahwa akses terhadap jaringan pemasaran, kemampuan manajemen usaha dan pengembangan kualitas, serta pengemasan produk masih menjadi hambatan besar dalam pemberdayaan ekonomi.

Hambatan tersebut pada masa mendatang harus diatasi dengan memanfaatkan sumber daya dan kelembagaan yang ada, yaitu Dana Desa (DD) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Namun, prioritas penggunaan dana desa harus mulai digeser dari fokus pembangunan infrastruktur dasar ke fokus pemberdayaan masyarakat, terutama pengembangan BUMDes. Sampai saat ini, belum banyak BUMDes yang memberikan kontribusi signifikan bagi desa. Bahkan Kementerian Desa mengakui bahwa lebih separuh dari BUMDes yang sudah terbentuk ternyata mati suri.

Permasalahan dalam pemanfaatan Dana Desa terletak pada kualitas perencanaan di desa. Studi SMERU menunjukkan perencanaan di desa masih miskin ide. Salah satu cirinya adalah pembelanjaan yang tidak memperhitungkan dampaknya bagi kesejahteraan warga. Sebagai contoh adalah BUMDes yang hanya sekadar dibentuk dan tidak dibekali modal dan sumber daya cukup untuk berkembang.

Untuk memperbaiki kualitas perencanaan di desa, pemerintah perlu memperhatikan hal-hal berikut ini. Pertama, peningkatan kemampuan teknokrasi pemerintah desa, terutama kepala desa. Hal ini terkait kemampuan pemerintah desa merumuskan tujuan pembangunan dan menurunkannya menjadi rencana-rencana yang terukur, khususnya dalam memberdayakan ekonomi masyarakat desa.

Kedua, peningkatan peran masyarakat desa, khususnya kelompok marginal, dalam perencanaan kegiatan pemberdayaan. Pelibatan masyarakat sangat penting agar jenis pemberdayaan yang direncanakan sesuai dengan kebutuhan mereka dan hasilnya bisa dipastikan memberi manfaat bagi mereka.

Ketiga, peningkatan peran pendamping dalam pemberdayaan desa. Para pendamping yang ditugaskan mengawal penggunaan dana desa harus dipastikan mampu mengajak masyarakat untuk mengidentifikasi segala potensi desa yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber atau sarana peningkatan ekonomi masyarakat.

Pelaksanaan Undang-Undang Desa tidak hanya mencakup transfer anggaran dari pemerintah pusat ke desa. Perlu ada usaha serius dalam mengoptimalkan dampak dari anggaran yang telah dialokasikan untuk pembangunan yang merata dan berkeadilan sebagaimana tercantum dalam Visi Misi Jokowi-Ma'ruf.

Pengembangan ekonomi masyarakat desa perlu dijaga konsistensi dan berkelanjutannya karena percepatan pengurangan kemiskinan serta peningkatan pemerataan tidak akan mungkin terwujud secara instan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now