Menu Close

Kematian Baghdadi adalah pukulan besar bagi ISIS, tapi bukan berarti dunia akan jadi lebih aman

Abu Bakar al-Baghdadi. WENN

“Seorang laki-laki yang sangat jahat” sudah dibunuh dan “dunia kini menjadi jauh lebih aman”. Kata-kata Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump saat dia mengumumkan kematian pemimpin Negara Islam Irak dan Suriah ( ISIS) Abu Bakar al-Baghdadi ini sulit dibantah.

Baghdadi jelas lelaki jahat. Di bawah kepemimpinan dia, ribuan orang di Timur Tengah dan di seluruh dunia tewas atau disiksa secara brutal.

Secara logika, kematian Baghdadi tentu membuat dunia kini lebih aman. Namun, sayangnya, pada praktiknya tidak ada jaminan sama sekali.

Global War on Terror (Perang Global Melawan Teror) – sebuah operasi militer internasional yang dimulai setelah serangan 11 September untuk membasmi al-Qaeda dan ISIS – adalah sebuah operasi perang langsung reaktif.

Operasi ini tidak memiliki tujuan strategis yang konsisten, baik di Afghanistan, Irak, Suriah, Somalia, Filipina dan di mana pun juga.

Koalisi militer paling kuat sepanjang sejarah ini berusaha melawan sebuah jaringan teroris yang paling besar dan paling kuat yang pernah ada. Akibatnya, baik langsung maupun tidak, ratusan ribu nyawa hilang, triliunan dolar dihabiskan, dan anehnya tidak banyak hasil yang dicapai.


Read more: US retreat from Syria could see Islamic State roar back to life


Tidak diragukan, serangan pasukan khusus pada Baghdadi di Idlib Suriah dan juru bicara ISIS Abul-Hasan al-Muhajir di Aleppo adalah pencapaian penting dan berdampak besar.

ISIS telah mendapat pukulan besar. Tapi berapa lama efeknya akan berlangsung tidaklah jelas. Dari yang kita pelajari selama 20 tahun terakhir, tampaknya pukulan ini tidaklah mematikan.

Kekuatan ISIS, baik di medan di Irak dan Suriah, dan di seluruh dunia, sedang dibangun kembali sebelum serangan ini terjadi dan tidak akan berhenti hanya karena dua pemimpinnya tewas.

Baghdadi sebagai pemimpin ISIS

Baghdadi mungkin bisa digantikan, tapi dalam banyak hal dia adalah pemimpin yang tepat dalam masa kepemimpinannya. Dia memimpin penguatan kembali ISIS dari titik rendah sepuluh tahun yang lalu. Ia memainkan peranan penting dalam ekspansi ke Suriah, mengisi jabatan-jabatan penting, memimpin serangan kilat di utara Irak, menaklukkan Mosul dan memproklamirkan kekhalifahan. Di mata para pendukungnya, kredibilitas dia sebagai seorang cendekiawan Islam dan pemimpin agama sulit disamai.

Dia bukan pemimpin yang karismatik dan, sebagai seorang penyendiri yang brutal dan fundamentalis, tidak menginspirasi. Tapi ia memainkan perannya dengan efektif, didukung oleh para mantan perwira intelijen Irak dan para komandan militer di dalam ISIS yang tidak banyak terlihat.

Dalam kurun waktu tersebut, dia adalah khalifah yang diperlukan oleh kekhalifahan. Dalam konteks seperti itu, tidak akan ada lagi orang seperti dia.

Yang mengherankan, 15 tahun setelah Abu Musab al-Zarqawi mendirikan al-Qaeda di Irak, dan hampir 10 tahun setelah Baghdadi mengambilalih ISIS di Irak, tidak banyak yang kita pahami tentang kepemimpinan ISIS.

Yang terlihat jelas adalah gerakan ini mendapatkan keuntungan besar dari apa yang disebut “de-Baathifikasi” –proses penyingkiran ideologi nasionalis Arab yang dulu kokoh di Partai Baath– setelah invasi Irak pada 2003 dan jatuhnya rezim otoriter Saddam Hussein di Irak.

ISIS memang sebuah gerakan hibrida. Kepada publik, gerakan ini menunjukkan diri sebagai gerakan fundamentalis religius yang didorong oleh keyakinan religius. Tapi di balik layar, perwira intelijen Baath memanipulasi gambaran religius untuk mendirikan negara polisi, menggunakan teror agama untuk menginspirasi, mengintimidasi, dan menguasai.

Ini bukan berarti Zarqawi dan Baghdadi tidak penting sebagai pemimpin. Sebaliknya, mereka efektif dalam menggerakkan sentimen keagamaan terlebih dulu di Timur Tengah, baru kemudian ke seluruh dunia. Dalam prosesnya, lebih dari 40.000 orang, terinspirasi oleh ideologi revolusi religius yang utopis. Baghdadi memainkan perannya secara efektif sebagai pemimping agama dan khalifah.

Kalau dilihat secara optimis, kematian Baghdadi akan menyebabkan kemunduran ISIS selama berbulan-bulan, atau tahunan. ISIS akan kesulitan memperoleh kembali momentum yang didapat di bawah Baghdadi.

Secara realistis, seberapa besar kesempatan ini bisa dimanfaatkan sangat tergantung pada pemimpin pengganti yang akan muncul dan apakah orang itu bisa dilacak dan ditangani sebelum berada di tampuk kepemimpinan.

Apa yang mungkin terjadi sekarang

Sepertinya ISIS telah memperoleh area di barat laut Suriah di Idlid dan Aleppo, di luar kendali rezim Assad di Damaskus, Angkatan Demokratik Suriah (SDF) di Suriah Timur Laut, dan jauh dari jangkauan pemerintah Irak di Baghdad, untuk merelokasi dan membangun kembali kepemimpinan.

Lagi-lagi, kalau dilihat secara optimis, ada harapan tipis serangan terakhir, yang sangat dipengaruhi kerja sama pasukan khusus Amerikan Serikat dan SDF, akan membuat Trump mengubah keputusannya untuk menghentikan kerja sama dengan SDF dan menarik mundur partner pasukan khusus di medan dan juga dukungan udara.


Read more: The 'ceasefire' in Syria is ending – here's what's likely to happen now


Baghdadi dan Muhajir ditemukan hanya 5 kilometer dari perbatasan Turki, ini berarti kendali Turki di utara Suriah tidak akan mampu mengatasi munculnya pemimpin ISIS baru.

Kemunduran pada pola kerja sama dengan kekuatan SDF di timur laut Suriah yang telah dibangun selama lima tahun terakhir bisa jadi penting dalam mencegah munculnya pemimpin ISIS baru.

Namun, dalam situasi yang paling baik pun, yang bisa diharapkan secara realistis adalah memperlambat dibangunnya kembali kekuatan ISIS agar dapat mengulur waktu untuk membangun kembali stabilitas politik dan sosial di utara Suriah dan Irak.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now