Menu Close
AC Milan merayakan gelar Scudetto pertamanya setelah 11 tahun. Twitter/acmilan

Kemenangan AC Milan di Liga Serie A tunjukkan bahwa uang bukan segalanya dalam industri sepak bola

Setelah penantian selama 11 tahun, klub bola asal Italia AC Milan akhirnya berhasil mengamankan trofi Liga Serie A pada 22 Mei 2022. Dengan kemenangan ini, AC Milan resmi mengantongi Scudetto – gelar pemenang liga prestisius Italia tersebut – untuk ke-19 kalinya sejak klub ini didirikan lebih dari seabad silam.

Di dunia persepakbolaan modern, penggemar umumnya mendukung klub-klub yang didukung oleh milyuner berduit dan rela merogoh kocek untuk membeli pemain-pemain kenamaan.

Kemenangan AC Milan membuat kita harus berpikir ulang mengenai tradisi ini.

Tim yang kerap dipanggil dengan sebutan Rossoneri ini – merujuk pada warna klub mereka yang didominasi hitam dan merah – dikenal sebagai klub yang cenderung berhati-hati dalam manajemen keuangannya dan jarang menghabiskan uangnya untuk membeli pemain besar. Scudetto AC Milan menjadi bukti bahwa uang bukanlah segalanya untuk meraih kemenangan.

Di bawah ini, saya memaparkan bagaimana kemenangan AC Milan memiliki dampak yang baik bagi industri persepakbolaan, dengan implikasi praktis bagi pengelolaan organisasi secara umum.

Bagaimana AC Milan membangun tim yang kokoh dengan ‘berhemat’

Organisasi cenderung memberikan penghargaan bagi karyawan terbaik mereka dan rela mendobrak struktur upah demi menjaga agar pekerja mereka tidak “dibajak” oleh perusahaan lain.

Sayangnya, praktik ini bisa membuat karyawan lain merasa tidak dihargai dan berpikir bahwa mereka berhak mendapatkan apresiasi serupa. Hal ini dapat menganggu keharmonisan di tempat kerja, dan perusahaan perlu memikirkan konsekuensi dari mengubah sistem upah yang dapat memengaruhi dinamika tim.

Terlepas dari kemenangan mengejutkan klub bola Leicester City di Liga Inggris pada musim pertandingan 2015/2016 lalu, masyarakat melazimkan bahwa klub harus mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan trofi. Klub bola asal Perancis, Paris Saint-Germain (PSG), menghabiskan dana sebesar €1,4 miliar (Rp 21,89 triliun) selama 10 tahun untuk transfer pemain demi memenangkan delapan liga dan 12 piala domestik.

Sementara, tim bola asal Inggris, Manchester City, merogoh kocek hingga €1.7 miliar demi meraup enam gelar liga dan delapan piala domestik selama satu dekade ke belakang.

AC Milan mengambil langkah yang berbeda.

Manajemen keuangan yang cenderung berhati-hati menjadi karakteristik kunci operasi klub tersebut semenjak dibeli oleh Elliott Management, perusahaan investasi asal Amerika Serikat, pada tahun 2018.

Pada musim perebutan gelar kali ini, AC Milan ‘hanya’ menghabiskan €65.3 juta untuk memperkuat tim dan menggantikan pemain yang keluar. Angka ini jauh di bawah klub asal Italia lain seperti Juventus (€126 juta) dan AS Roma (€100 juta).

Sebagai tambahan, total gaji yang dibayarkan Milan pada periode tersebut hanya berkisar di angka €81 juta, jauh jika dibandingkan dengan Inter Milan (€140 juta) dan Juventus (€160 juta). Milan kukuh pada prinsipnya untuk tidak menghabiskan terlalu banyak dalam membayar gaji pemain. Pada akhirnya, klub tersebut kehilangan (dan akan terus kehilangan) pemain akibat transfer gratis.

Milan lebih memilih kehilangan pemain pentingnya daripada mengubah sistem upahnya.

Mengandalkan pemain muda

Rata-rata usia pemain AC Milan yang terjun ke lapangan selama tiga minggu terakhir berkisar pada usia 24,5 – yang menjadikannya tim dengan rerata pemain termuda di Italia.

Milan harus kehilangan dua pemain belakangnya yang berpengalaman, Simon Kjær dan Fikayo Tomori, akibat cedera pada akhir tahun lalu. Walaupun demikian, mereka memutuskan untuk tidak impulsif membeli pemain selama jendela transfer musim dingin. Alih-alih, mereka mempercayakan pertahanannya pada Pierre Kalulu yang baru berusia 21 tahun dan Matteo Gabbia yang baru berusia 22 tahun. Gabbia merupakan lulusan akademi AC Milan.

Sebagai pemenang liga pada musim ini, Milan – berbarengan dengan Napoli – menjadi tim yang paling banyak menahan gol. Hal ini menjadi bukti kualitas bek muda mereka.

Keunikan Milan bukan hanya sekadar pada usia pemainnya yang masih muda, namun juga pendampingan yang dilakukan oleh para pemain senior terhadap juniornya.

Pemain yang sudah matang seperti Olivier Giroud dan Zlatan Ibrahimović berperan sebagai mentor bagi pemain muda seperti Sandro Tonali, Brahim Diaz, dan Rafael Leão.

Dalam melakukan perekrutan yang berimbang, organisasi dapat belajar dari AC Milan.

Organisasi dapat merekrut generasi muda dan memasangkannya dengan rekan kerja yang lebih berpengalaman, demi memaksimalkan potensi mereka. Dalam hal ini, organisasi sebaiknya mengembangkan sistem yang memungkinkan karyawan senior untuk melatih junior mereka demi meningkatkan keunggulan sistem mentor baik bagi para mentor, anak didik, dan organisasi itu sendiri.

Tim bintang vs Tim super: Apa yang bisa kita pelajari dari kemenangan AC Milan

Manchester United memiliki Christiano Ronaldo; PSG punya Neymar, Kylian Mbappé, dan Lionel Messi.

Tak seperti tim lain yang bertabur bintang, Milan tidak mampu untuk merekrut pemain-pemain kenamaan. Sebaliknya, mereka berfokus untuk untuk mengembangkan tim super dari dalam.

Absennya superstar justru membantu tim tersebut untuk membentuk semangat tim: Milan memenangkan pertandingan demi pertandingan dengan kerja sama tim yang kuat alih-alih bergantung pada performa individu.

Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, Stefano Pioli, pelatih AC Milan, mengakui bahwa kehilangan pemain senior sperti Kjær dan Ibrahimović akibat cedera justru membantu tim untuk bertumbuh. Di AC Milan, semua pemain merasa diapresiasi dan berkontribusi pada tim terlepas dari waktu dan pengalaman yang mereka habiskan di lapangan.

Memang, organisasi seringkali tergoda untuk mengandalkan superstars demi meningkatkan kinerja dengan “membajak” karyawan berprestasi dari perusahaan lain. Akan tetapi, mengembangkan tim dari dalam kadang menjadi kunci bagi upaya mendongkrak kinerja organisasi.

Setelah gagal masuk sebagai empat besar pada liga 2019/2020, jajaran pimpinan AC Milan berencana melepas Pioli dan menggantinya dengan Ralf Rangnick, pelatih berpengalaman dengan segudang trofi. Pada saat itu, Pioli belum pernah memenangkan trofi dan tidak memiliki rekam jejak yang kuat.

Namun, jajaran pimpinan klub secara mengejutkan memutuskan untuk memperpanjang kontrak Pioli.

Keputusan ini berbuah manis. Milan berhasil masuk kembali ke kejuaraan bergengsi Eropa Liga Champions pada musim berikutnya dan memenangkan liga domestik Serie A pada musim depannya.

Pemimpin yang baik percaya pada pegawainya. Mereka yakin bahwa timnya dapat berkembang dan mencapai tujuan jika diberi peluang dan kepercayaan.

Secara keseluruhan, kemenangan AC Milan di Serie A bukan sekadar contoh yang baik di dunia olahraga saja. Gelar Scudetto Milan menunjukkan bahwa uang tidak selalu dapat membeli trofi sekaligus menekankan pentingnya nilai-nilai organisasi. Manajemen keuangan yang hati-hati, dibarengi dengan kepemimpinan yang baik dari dalam, dapat membantu tim meraih kesuksesan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now