Menu Close

Kesetaraan di Hong Kong buruk. Kenapa pendemo tidak marah pada orang yang kaya dan berkuasa?

Fazry Ismail/EPA

Sudah ada banyak penjelasan terhadap gejolak di Hong Kong, yang kini memasuki pekan ke-16. Namun, yang tidak banyak disentuh adalah soal hubungan kuat antara elite bisnis dan politik di kota itu, dan sistem pemerintahan yang sangat timpang.

Dalam menjelaskan sumber kericuhan di Hong Kong, dapat ditebak, banyak pemimpin menyalahkan ilmu-ilmu liberal di sekolah. Para pembuat kebijakan seakan sulit percaya bahwa para siswa bisa memiliki kemampuan pemahaman kritis terhadap politik dan masyarakat – terlebih lagi melakukan partisipasi aktif.

Di sisi lain, kemarahan para pendemo diarahkan sebagian besar ke pemerintah Cina dan Hong Kong, terutama Kepala Eksekutif Carrie Lam. Tindakan Lam – dengan sikap birokratik yang keras kepala – memperburuk keadaan, demikikian juga tindakan polisi yang dulu dipuji “Terbaik di Asia” dan aparat Cina.


Read more: Hong Kong protesters don't identify as Chinese amid anger at inequality – survey suggests


Semua tindakan ini telah mengeraskan identitas lokal yang semakin jelas pada para pendemo seiring gejolak berlanjut.

Terlebih lagi, rasa saling membenci sudah sedemikian parah hingga sepertinya tidak mungkin ada pihak yang mau mundur. Dalam minggu-minggu terakhir ini eskalasi sepertinya lebih mudah terjadi.

Kemunduran tanpa harapan

Namun, penjelasan yang paling mungkin atas gejolak ini bukanlah kurikulum pendidikan atau pengaruh Beijing, tapi keadaan pemerintah dan masyarakat Hong Kong itu sendiri.

Kebalikan dari citra yang ingin ditampilkan pemerintah Hong Kong – yaitu ketaatan pada hukum dan lingkungan bisnis yang sangat baik – kota ini sebenarnya sudah membusuk selama berpuluh tahun

Pertama, Hong Kong sudah mengalami “pengeroposan” – situasi ketika industri hilang dan tidak ada yang menggantikan – seperti yang dialami negara industri lain.

Yang patut dicermati, situasi ini dibarengi dengan ketidakmampuan para pembuat kebijakan memahami ketimpangan yang kemudian muncul. Menurut data pemerintah, kesenjangan kemakmuran Hong Kong terburuk sepanjang sejarah pada 2017, ketika penghasilan rumah tangga paling kaya 44 kali lebih besar dari pada rumah tangga yang paling miskin.

Banyak orang di Hong Kong mengalami penurunan atau stagnasi perpindahan sosial, harga hunian yang luar biasa tinggi (tertinggi di dunia), buruknya kualitas udara, memburuknya infrastruktur (kecuali MRT dan bandara), timpangnya pendidikan dan kesehatan (terlepas dari data statistik yang digaungkan, dan kurangnya ruang publik yang layak.


Read more: New research shows vast majority of Hong Kong protesters support more radical tactics


Mereka sulit berpindah ke perumahan umum. “Apartemen nano” yang ukurannya bagai kotak korek api adalah pilihan satu-satunya bagi banyak orang, dan banyak rusun yang dihuni keluarga hingga ada anak dan cucu.

Kaum muda Hong Kong, yang tumbuh besar dengan cerita taipan masa keemasan seperti Li Ka Shing(yang akrab disebut “Superman”) juga menghadapi masa depan suram karena terjebak dalam pekerjaan kasar bergaji rendah.

Pendidikan tinggi tidak membantu kaum muda mendapat pekerjaan bergaji lebih tinggi. Menurut sebuah survei baru-baru ini, rata-rata gaji lulusan S1 jauh lebih rendah dibanding tahun 1987.

Pengunjuk rasa mahasiswa mengambil bagian dalam rantai manusia di Hong Kong bulan ini. Fazry Ismail/EPA

Walau fundamentalis ekonomi pasar seperti Milton Friedman mempelopori) entrepreneurialism (kewirausahaan) di Hong Kong, pada kenyataannya hukum pasar hanya menguntungkan para elite, sementara rakyat lain tetap hidup dalam birokrasi zaman penjajahan. Orang muda yang ingin membuka usaha harus berhadapan dengan oligopoli, biaya sewa yang mencekik, dan peraturan pemerintah yang kaku di beberapa sektor.

Yang membuat keadaan lebih buruk, sedikit saja ada perbaikan dalam distribusi kemakmuran dianggap para pendemo anti-pemerintah tidak lebih sebagai usaha yang fokus pada ekonomi semata dan tidak pada reformasi demokratis.


Read more: Beijing is moving to stamp out the Hong Kong protests – but it may have already lost the city for good


Individualisme untuk memajukan diri sendiri lewat usaha sendiri tertanam di Hong Kong, tidak berbeda dengan di Amerika Serikat – yang banyak dijadikan contoh positif oleh para pendemo.

Dan alih-alih menyerang para taipan dan konglomerat yang mendominasi ekonomi, atau para pengembang dan pemilik lahan yang mengendalikan harga hunian, para pendemo justru menyerang pemerintah.

Pendemo juga tidak menyerang pemerintah karena melindungi kepentingan ekonomi para elite, tapi karena pemerintah menuruti kehendak Beijing.

Kenapa pendemo tidak berfokus pada elite bisnis

Walaupun beberapa orang terkaya di wilayah itu telah menyuarakan dukungan pada pemerintah, namun sedikit sekali pendemo yang mengungkapkan kemarahan pada golongan ekonomi elite.

Ini membuktikan kuatnya mitos asal-usul Hong Kong modern dan bagaimana kaum kaya Hong Kong dianggap baik. Ada semacam penghormatan pada taipan di kota ini, dibarengi dengan kurangnya kesadaran akan kelas dan ketidaksukaan yang tertanam terhadap apa pun yang secara politik terlihat “kiri”.

Walau hak politik universal adalah tuntutan utama para pendemo, tuntutan ini lebih dikaitkan pada pemilihan ketua eksekutif, bukan pada struktur pemerintahan itu sendiri.

Misalnya, dalam pengaturan yang sudah ada sejak era kolonial, dikenal dengan perwakilan fungsional, beberapa sektor ekonomi (seperti jasa keuangan, perumahan dan pariwisata) memiliki wakil politik di dewan perwakilan; ini mengurangi keterwakilan warga negara lain.

Hanya sedikit upaya telah dilakukan untuk menjelaskan mengapa hak politik sangat penting di Hong Kong, lebih penting daripada mengusir pengaruh Cina. Hal ini telah membatasi terbentuknya koalisi dalam gerakan protes yang dapat mendorong peningkatan kekuatan politik untuk mengatasi masalah sosial yang mendesak.

Pendemo kadang mengibarkan bendera Amerika Serikat, Inggris dan bendera kolonial, serta memakai gambar Presiden AS Donald Trump di atas tank, sehingga gerakan ini sering terlihat sebagai gerakan reaksi populisme semata.

Bendera AS sering terlihat dalam demonstrasi di Hong Kong. Jerome Favre/EPA

Membangun kembali harapan dan kota

Usaha para kaum muda untuk membentuk masa depan yang lebih baik patut diapresiasi. Tapi, supaya Hong Kong bisa memiliki masa depan positif, kota ini membutuhkan transformasi ekonomi dan politik dalam skala besar.

Hak politik adalah sebagian dari transformasi ini, tapi tidak cukup itu saja. Pertanyaan untuk Hong Kong adalah apakah pendemo dan anggota masyarakat lainnya memahami apa yang perlu dilakukan secara menyeluruh dan apakah mereka mampu bergerak bersama untuk mewujudkannya.

Karena ketimpangan kekuasaan ekonomi dan politik di kota ini demikian besar, maka tantangan ini jelaslah sebuah tantangan yang benar-benar revolusioner.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now