Menu Close
Foto Orang Kokos dari tahun 1910an di arak perkawinan yang masih dilakukan sampai sekarang, terlihat pengantin pria di foto dalam perjalanan ke rumah pengantin perempuan di dampingi sanak keluarga di Kepulauan Kokos. Wikimedia Commons/Dari buku 'Coral reefs and islands' penulis Jones, F. Wood (Frederic Wood), 1879-1954, Penerbit Lovell Reeve & Co. , Ltd. London. Digitasi foto oleh Smithsonian Libraries Digitizing Sponsor: Biodiversity Heritage Library

Keturunan Melayu di Kepulauan Kokos perjuangkan pengakuan sebagai suku asli Australia

Pada tahun 1826, seorang pedagang Inggris bernama Alexander Hare membawa sekelompok orang dari Malaysia, Indonesia juga Afrika Selatan dan New Guinea ke sebuah kepulauan yang terletak di sekitar 1300 km di barat daya Jakarta. Hare membawa mereka ke Kepulauan Kokos atau Cocos (Keeling) Islands di Australia sebagai pekerja paksa dan/atau budak disertai dengan narapidana. Setahun kemudian, saingan Hare dari Skotlandia, Clunies Ross mengambil alih kepulauan tersebut.

Penduduk pulau tersebut kemudian dikenal sebagai Cocos Malays atau Orang Kokos. Selama 150 tahun kekuasaaan dinasti Clunies Ross, Orang Kokos mengembangkan budaya dan dialek yang unik. Mereka mengadopsi tarian dan musik Skotlandia dalam kesenian mereka. Orang Kokos masih menghuni pulau mereka dan sekarang menjadi warga negara Australia. Sebagian berjuang untuk diakui oleh pemerintah Australia sebagai “Orang Asli” atau Indigenous.

Sebuah dokumenter, Australia’s Forgotten Islands (Pulau-pulau Australia yang Terlupakan) menampilkan keinginan Orang Kokos untuk mendapat hak sebagai Orang Asli. Dengan adanya kemungkinan pengembangan markas militer besar di pulau tersebut, film dokumenter itu menyiratkan bahwa status “Orang Asli” adalah sebuah cara untuk mempertahankan suara lokal. Dokumenter tersebut menampilkan anak dari “raja” terakhir Pulau Kokos dan beberapa warga benua Australia (mainland) yang mendukung upaya Orang Kokos untuk mendapatkan status Indigenous.

Lokasi Kepulauan Kokos di Laut Hinida wilayah Australia di bawah Indonesia. Geoscience Australia

Apa dan siapa ‘Orang Asli’?

Banyak kelompok lokal di seluruh dunia memperjuangkan status sebagai “Orang Asli”. Biasanya kelompok lokal ini merupakan minoritas yang kebudayaannya berhadapan dengan mayoritas dalam sebuah negara. Status Orang Asli merupakan upaya untuk melindungi hak-hak mereka. Termasuk dalam hak-hak mereka adalah mempertahankan lingkungan hidup dan suara politik. Namun tidak ada definisi yang diterima secara universal mengenai siapa dan apa itu “Orang Asli”.

Terkadang tuntutan “Orang Asli” berhasil berdasarkan status sebagai penghuni pertama (seperti kelompok “First Nations” di Amerika). Ada juga yang menuntut status “Orang Asli” berdasarkan keadaan mereka sebagai penghuni yang hidup terus menerus di daerah itu (contohnya, keturunan orang-orang Kepulauan Pitcairn di Pulau Norfolk).

Untuk mendapatkan status “Orang Asli”, kelompok lokal biasanya diharuskan menyediakan bukti memiliki bahasa dan tradisi budaya yang unik dan bertahan lama. Perlu disebutkan bahwa identitas “Orang Asli” biasanya muncul di tempat-tempat yang pernah atau sedang dijajah. Namun, setiap situasi berbeda-beda.

Mendapatkan status “Orang Asli” dapat membantu sebuah kelompok untuk memperkuat legitimasi terhadap tuntutan mereka, terutama ketika berhubungan dengan pemerintah dan industri ekstraktif (industri kehutanan, penambangan, dll).

Orang Kokos pun ingin diakui sebagai Orang Asli di Negeri Australia. Keinginan ini timbul karena sejarah mereka.

Sejarah Orang Kokos

Selama hidup di Dinasti Clunies Ross, Orang Kokos memanen kelapa dan melakukan kerja lainnya. Mereka dibayar mata uang buatan. Mata uang ini dapat dipakai untuk membeli nasi, tepung, gula dan lain-lain di toko milik perusahaan Clunies Ross. Orang Kokos menambah pokok pangan dengan menangkap ikan dan burung-burung serta memelihara ayam. Dinasti Clunies Ross tidak turut campur urusan agama Orang Kokos. Dengan demikian Orang Kokos mempertahankan budaya Islam Melayu. Ini berarti mereka komunitas Muslim tertua di Australia.

Anak-anak Kokos memperagakan tari Skotlandia di perayaan Hari Raya Idul Fitri 2015 di Pulau Kokos. David Irving dan Jenny McCallum

Budaya dan bahasa Orang Kokos juga menyebar dari pulau tersebut. Emigrasi besar-besaran pada tahun 1940an membuat terjadinya sebuah komunitas Orang Kokos di Sabah, Malaysia, yang sekarang diakui sebagai salah satu kelompok etnis Malaysia. Orang Kokos juga telah beremigrasi ke Pulau Christmas, Singapura dan beberapa lokasi di Australia Barat

Di Kepulauan Kokos sendiri, perhatian internasional yang meningkat terhadap nasib Orang Kokos menghasilkan tuduhan adanya perbudakan. PBB kemudian melakukan investigasi di Pulau Kokos.

Pada tahun 1955, Inggris menyerahkan kedaulatan pulau-pulau tersebut ke Australia, dengan ratifikasi Undang-Undang Kepulauan Kokos (Cocos (Keeling) Islands). Sejak transfer kedaulatan ini, pemerintah Australia semakin menyoroti situasi ketidakadilan di “kerajaan” Kokos, dan membeli sebagian besar kepulauan tersebut secara paksa dari dinasti Clunies Ross pada 1978.

Orang Kokos memperagakan silat untuk Ratu Inggris yang sedang berkunjung (1954)

Dalam sebuah pemungutan suara yang diawasi PBB pada tahun 1984, mayoritas penghuni kepulauan tersebut memilih integrasi dengan Australia. Dengan pemungutan suara ini Orang Kokos berhasil mengikat nasibnya dengan negara Australia untuk kepentingan Kokos sendiri. Baru-baru ini beberapa Orang Kokos berusaha mendapat pengakuan dari pemerintah Australia bahwa mereka adalah Orang Asli pulau-pulau tersebut.

Orang Asli Australia

Di Australia, sejak tahun 1990an, istilah “Indigenous” (Orang Asli) semakin digunakan untuk membahas kejahatan kolonialisme.

Penghuni pertama di Australia (diberi istilah “Australo-Melanesians”) tiba lebih dari 50.000 tahun lalu. Keturunan mereka dirampas hak-haknya dan kehilangan tempat tinggal mereka, sejak 1788, oleh kolonialis Eropa.

Di samping berbagai sebutan yang merendahkan, istilah “native”, “Aborigine”, dan “Aboriginal” muncul untuk menggambarkan kelompok ini.

Beberapa orang menolak istilah ini. Mereka memilih istilah seperti “Koori” atau “Nyungar”, yang merupakan istilah dari bahasa mereka sendiri untuk merunjuk pada diri mereka.

Aktivis juga mendorong penggunaan istilah yang inklusif seperti “Aboriginal and Torres Strait Islanders” serta “First Nations” (baca “Pernyataan Uluru dari hati tahun 2017”). 

Akan tetapi, di masa kini banyak yang sudah mengidentifikasi diri sebagai “Orang Asli” (Indigenous). Bagi mereka, istilah ini menghubungkan aspirasi diri dengan perjuangan global “Orang Asli”. Sesungguhnya istilah “Orang Asli” lebih dari sekadar alat politis; bagi mereka itu adalah suatu identitas.

Tuntutan “Orang Asli” Kokos

Orang Kokos dapat memperkuat tuntutan mereka sebagai “Orang Asli” Australia dengan merujuk pada beberapa fakta. Pulau-pulau tersebut tidak dihuni manusia sebelum kedatangan Orang Kokos dan penguasa mereka dari Eropa. Lebih dari itu, Orang Kokos mempertahankan tradisi budaya yang panjang; ada yang merasa dikolonisasi; dan ada yang merasa dilupakan oleh negara Australia.

Beberapa kelompok lain di wilayah Australia berhasil menuntut sebagai Orang Asli melalui prinsip-prinsip ini –penghuni pertama, kolonisasi, tradisi yang berlanjut, dan peminggiran (marjinalisasi).

Jika Orang Kokos tidak berhasil dalam jangka pendek dengan tuntutan, mereka bisa mencoba cara lain. Misalnya, dalam Undang-Undang Kepulauan Kokos tersebut ada pasal penting:

“Cara hidup dan adat istiadat penghuni Melayu dalam wilayah [Australia] dapat, berdasarkan peraturan dalam wilayah [Australia] dari waktu ke waktu, diizinkan terus hidup.”  

Satu hal yang pasti, Orang Kokos menghargai dan terus mempertahankan dan mengadaptasi adat istiadat mereka. Mendapatkan status “Orang Asli” dapat mendorong pengakuan resmi untuk keberlangsungan kebudayaan sendiri.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now