Menu Close

Konflik panas AS-Iran dan dampaknya bagi Indonesia

Seorang warga Iran sedang berjalan melewati gambar bendera Iran di sebuah dinding di ibu kota Iran, Tehran, pada awal Januari lalu. Abedin Taherkenareh/EPA

Hubungan kurang baik antara Amerika Serikat (AS) dengan Iran sudah berlangsung selama beberapa dekade, tapi ketegangan antara keduanya semakin memanas usai terbunuhnya Jenderal Qasem Soleimani, pemimpin Korps Garda Revolusi Islam Iran, (Pasukan Quds)

Iran membalas serangan terhadap Soleimani dengan menembakkan rudal ke markas pasukan AS yang berada di Irak pada 8 Januari 2020. Iran juga mengumumkan bahwa komitmennya untuk membatasi pengembangan program nuklir di negaranya berakhir. Konflik ini juga mengakibatkan jatuhnya pesawat komersial oleh rudal Iran.

Seiring memanasnya hubungan AS dan Iran, Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia diharapkan tidak akan terkena dampak politik karena minimnya keterlibatan Indonesia di kawasan Timur Tengah. Namun, Indonesia harus mengantisipasi perubahan harga minyak sebagai akibat dari konflik ini karena bisa mempengaruhi kondisi ekonomi makro nasional.

Tetap netral di kawasan Timur Tengah

Politik Timur Tengah diwarnai oleh konflik terus menerus antara Arab Saudi dan Iran. Kebanyakan orang melihat konflik ini hanya sekadar masalah agama. Iran mewakili kelompok Muslim Syiah sedangkan Arab Saudi mewakili kelompok Muslim Sunni.

Tapi, konflik yang terjadi di antara kedua negara lebih dari itu. Konflik Iran dan Arab disebabkan oleh sikap politik mereka yang berbeda terhadap AS dan pengaruh Barat di wilayah Timur Tengah.

Amerika Serikat datang ke Timur Tengah untuk minyak bumi. Sebelum Revolusi Iran pada 1979, Iran dan Arab Saudi adalah dua negara yang memiliki hubungan baik dengan Amerika. AS menyediakan fasilitas keamanan nasional untuk kedua negara tersebut.

Namun, setelah revolusi posisi Iran berubah drastis menjadi oposisi yang melawan keberadaan AS. Revolusi yang terjadi di Iran adalah juga respons terhadap kesenjangan ekonomi di bawah pemerintahan Syah Mohammad Reza Pahlavi yang terkenal dengan pola pikir baratnya. Revolusi 1979 tersebut melahirkan Republik Islam yang anti Amerika dan negara Barat.

Sementara itu, Arab Saudi memutuskan untuk memperkuat hubungannya dengan negara-negara Barat, terlebih AS. Hal ini bisa terlihat dengan keberpihakannya saat Perang Teluk I dan Perang Saudara Suriah.

Di tengah konflik dan persaingan politik di Timur Tengah, Indonesia selalu mempertahankan posisi netral. Sejauh ini, Indonesia berhasil menghindari konfrontasi besar dan bermain aman di antara negara-negara Timur Tengah yang mengalami konflik.

Tepat setelah kunjungan Raja Salman dari Arab Saudi ke Indonesia pada 2016, sebagai bagian turnya ke negara Asia untuk mempromosikan investasi Arab Saudi, Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo mengunjungi Teheran Iran pada tahun yang sama sebagai upaya untuk tetap netral di tengah konflik Iran-Arab.

Kebijakan luar negeri Indonesia

Minimnya keterlibatan Indonesia di politik Timur Tengah mengikuti kebijakan luar negeri yang bebas aktif. Di bawah kebijakan ini, negara kepulauan terbesar selalu memprioritaskan isu-isu domestik sambil secara aktif mempromosikan perdamaian kepada dunia. Indonesia menjadi bagian dari Penjaga Perdamaian Internasional untuk turut menjaga perdamaian dunia.

Kebijakan luar negeri Indonesia selalu mengutamakan pendekatan diplomasi yang mendukung perdamaian. Hal ini bisa dilihat pada sikap Indonesia terhadap ekspansi Israel di wilayah Tepi Barat. Indonesia telah menunjukkan solidaritas kepada negara Muslim dengan mendukung rancangan resolusi yang mengutuk tindakan Israel tersebut tapi Indonesia tidak mengerahkan pasukan bersenjata.

Melihat politik luar negeri Indonesia yang berjalan selama ini, sepertinya Indonesia juga akan menjauh dari konflik AS dan Iran. Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi hanya memanggil duta besar Arab Saudi dan Iran di Jakarta dan mendorong keduanya untuk meredakan ketegangan. Selain itu, tidak akan ada tindakan keras lainnya Indonesia dalam menanggapi konflik ini.

Mencampuri konflik negara lain tidak ada dalam prioritas kebijakan luar negeri Indonesia 2020.

Ketika Indonesia memutuskan untuk ikut campur menanggapi isu-isu internasional, biasanya hal itu didorong untuk melindungi kepentingan dalam negeri. Ini bisa dilihat dari pidato-pidato Jokowi di forum internasional. Pidatonya hanya berupa retorika untuk menarik investasi asing dan tidak menunjukkan sikap tegas terhadap isu-isu seperti krisis Laut Cina Selatan atau penindasan terhadap Rohingya di Myanmar.

Sejauh ini, Indonesia telah menciptakan hubungan yang baik dengan Iran dan AS dan tidak memiliki niat untuk menghancurkan hubungan baik yang sudah terbina.

Dampak ekonomi

Satu hal yang perlu disiapkan Indonesia terkait konflik Iran-AS adalah kemungkinan meningkatnya harga minyak. Negara-negara penghasil minyak kebanyakan berada di Timur Tengah dan ketika konflik muncul di wilayah tersebut, produksi minyak mungkin turun karena fasilitas produksi terganggu.

Pada 8 Januari 2020, setelah serangan rudal Iran terjadi, harga minyak meningkat sebanyak 14% menjadi US$69,21 atau sekitar Rp946.349 per barel. Jika harga ini terus meningkat, Indonesia perlu merevisi anggaran tahunan. Peningkatan harga minyak ini juga berdampak pada nilai tukar mata uang Indonesia karena dolar digunakan dalam transaksi minyak mentah.

Melemahnya rupiah selanjutnya akan berdampak pada pengeluaran nasional. Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah memperingatkan tentang dampak konflik AS dan Iran terhadap ekonomi Indonesia.

Meskipun Indonesia tidak terlibat dalam ketegangan yang sedang terjadi, Indonesia harus mengantisipasi dampaknya terhadap ekonomi makro. Dengan tidak mencampuri konflik yang terjadi antara Iran dan AS, Indonesia telah berada di jalur yang benar dalam mewujudkan stabilitas keamanan di wilayahnya sendiri.

Nashya Tamara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now