Menu Close

Kriminalisasi ahli lingkungan, ancaman baru terhadap penegakan hukum perkara hutan dan tambang

Kriminalisasi ahli lingkungan menjadi ancaman baru bagi penegakan hukum di sektor kehutanan dan pertambangan. Modus penggugat adalah mengkriminalkan pendapat ahli yang dipakai hakim untuk menjatuhkan vonis. Kriminalisasi ini potensial membungkam para ahli yang kritis dan berani berpendapat sesuai dengan keahliannya.

Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), digugat oleh PT Jatim Jaya Perkasa (PT JJP) di Pengadilan Negeri Cibinong, pada 17 September 2018. Dia digugat Rp510 miliar karena kesaksiannya pada 2013 dalam perkara kebakaran hutan dan lahan di area PT JJP di Rokan Hilir, Riau. Kesaksian Bambang dipersoalkan karena dipakai sebagai dasar putusan Pengadilan Negeri sampai kasasi di Mahkamah Agung.

Dalam kasus ini, negara menang secara perdata dan pidana. PT JJP divonis melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar ganti rugi dan biaya pemulihan dampak kerusakan lingkungan dengan total Rp491,01 miliar.

Bambang bukan ahli pertama yang digugat atas kesaksiannya di pengadilan. Sebelumnya Basuki Wasis, ahli lingkungan hidup dan tanah dari IPB, digugat oleh Nur Alam, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara di Pengadilan Negeri Cibinong. Tak tanggung-tanggung, Nur Alam dan kuasa hukumnya menggugat Basuki Rp3 triliun dan ganti kerugian dana operasional Rp1,47 miliar.

Nur Alam melalui kuasa hukumnya menggugat Basuki karena kesaksiannya dalam kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan kerusakan lingkungan akibat pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada PT Anugrah Harisma Barakah (PT AHB). Pemberian izin oleh Nur Alam tersebut menyebabkan kerugian dan kerusakan lingkungan senilai Rp2,72 triliun.

Dalam gugatan yang diajukan di Pengadilan Negeri Cibinong, Nur Alam mempersoalkan dasar hukum yang digunakan oleh Basuki dalam menghitung kerusakan alam. Menurut Nur Alam dan pengacaranya, Peraturan Menteri Kehutanan KLHK Nomor 13 Tahun 2011 tidak lagi berlaku karena sudah ada peraturan yang lebih baru, yakni Peraturan Menteti KLHK Nomor 7 Tahun 2014.

Serangan balik

Kriminalisasi dua ahli lingkungan tersebut - kini proses hukum masih berjalan di pengadilan - adalah serangan balik dari orang-orang yang telah divonis oleh pengadilan terbukti merusak lingkungan. Ahli yang membantu negara dalam penegakan hukum lingkungan digugat melebihi denda dan ganti rugi yang dibebankan kepada terdakwa berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Padahal, bila merujuk kepada hakikat dari putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap, vonis hakim tersebut adalah kebenaran final. Jika sudah demikian, keterangan dari saksi ahli pun sudah tidak dapat lagi dipersoalkan. Sebab, keterangan tersebut juga merupakan bagian dari alat bukti yang sudah terbukti kebenarannya.

Dari kriminalisasi yang dilakukan oleh Nur Alam dan PT JJP terhadap ahli lingkungan tersebut, setidaknya terdapat dua indikasi intervensi:

Pertama, kriminalisasi ini bertujuan mengintervensi penegakan hukum terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkan ekploitasi sumber daya alam yang tidak memperhatikan dampak lingkungan. Jika negara lalai dalam memberikan perlindungan hukum terhadap dua orang ahli tersebut, lalu kemudian gugatan diterima, maka tidak akan ada lagi ahli yang mau bersaksi di pengadilan untuk menegakkan hukum. Bila ini terjadi, perusak lingkungan menang, negara kalah.

Kedua, kriminalisasi terhadap dua ahli tersebut adalah upaya dari perusak lingkungan untuk mengekploitasi sumber daya alam dengan bebas. Sebenarnya, mekanisme kedua ini adalah ujung (klimaks) dari mekanisme pertama. Mereka sengaja “melumpuhkan” penegakan hukum agar dapat mengekploitasi sumber daya alam tanpa harus bertanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan.

Salah alamat

Gugatan terhadap ahli lingkungan tersebut salah alamat. Sebab, seseorang yang bersaksi atas dasar keilmuannya di pengadilan tidak dapat diperkarakan, baik secara pidana maupun perdata.

Terhadap pendapat seorang ahli yang bersaksi di persidangan, hakim tidak diharuskan untuk mempedomani atau menjadikannya alat bukti dalam memutus perkara, kecuali hakim memiliki keyakinan bahwa keterangan yang diberikan ahli tersebut merupakan sebuah kebenaran.

Artinya, keterangan yang diberikan oleh Basuki Wasis dan Bambang Hero Saharjo dalam penegakan hukum lingkungan adalah sah dan merupakan sebuah kebenaran. Keterangan yang diberikan tersebut teruji dari pengadilan negeri hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Jika ingin menggugat, harusnya yang digugat adalah hakim yang mempercayai keterangan tersebut. Tapi, hakim juga tidak dapat digugat atas putusan yang mereka tetapkan.

Karena itu, gugatan Nur Alam dan PT JJP seharusnya tidak dapat diterima. Dua ahli yang digugat tersebut tidak melakukan perbuatan yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum dalam memberikan kesaksian atas dasar keilmuannya, sehingga dapat dituntut secara hukum perdata maupun pidana.

Bila merujuk Pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 76 UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, gugatan tersebut merupakan gugatan melawan hukum. Berdasarkan kedua pasal tersebut, setiap orang yang berupaya menegakkan hukum lingkungan tidak dapat dituntut hukum, baik secara perdata maupun pidana.

Karena itu, Pengadilan Negeri Cibinong seharusnya menolak gugatan terhadap dua orang ahli lingkungan tersebut. Selain tidak sejalan dengan kedua undang-undang di atas, gugatan dapat dinilai merupakan bentuk intimidasi terhadap penegakan hukum yang dapat berakibat fatal.

Gugatan tersebut tidak hanya berdampak terhadap dua ahli yang diperkarakan, tapi juga terhadap upaya penegakan hukum. Diterimanya gugatan tersebut akan menyebabkan penegak hukum sulit mencari ahli untuk dimintai keterangannya di persidangan yang juga akan berimplikasi negatif terhadap penegakan hukum.

Negara wajib hadir

Sebelum perkara ini diputus oleh pengadilan, peran pengawasan terhadap proses hukum dalam kasus ini harus ditingkatkan. Jangan sampai kasus ini menjadi preseden buruk yang menutup akses penegakan hukum lingkungan.

Negara wajib hadir dalam perkara ini. Negara harus melindungi akademisi yang menjadi saksi ahli dalam membela negara. Kebebasan akademik di ruang pengadilan harus diselamatkan dari ancaman para perusak lingkungan. Adanya upaya kriminalisasi terhadap ahli tersebut memberikan indikasi bahwa perlindungan hukum terhadap saksi ahli perlu diperkuat. Jangan sampai serangan-serangan yang dilancarkan oleh perusak lingkungan malah melumpuhkan penegakan hukum.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now