Menu Close
Sekali pakai dan selesai? Tidak selalu. Peteruetz/Wikimedia, CC BY-ND

Larangan kantong plastik bisa jadi bumerang bila konsumen ganti plastik lainnya

Banyak pemerintah meningkatkan larangan penggunaan produk dari plastik seperti tas bawaan, sedotan, perabotan rumah tangga dan butiran kecil plastik pada kosmetik. Tujuan dari kebijakan ini adalah mengurangi jumlah plastik yang masuk ke tempat pembuangan sampah akhir dan aliran air. Logikanya adalah pelarangan sesuatu mestinya membuat yang dilarang itu berkurang.

Namun, logika ini gagal jika orang-orang sebenarnya menggunakan lagi barang-barang tersebut, alih-alih membeli yang baru. Contoh, tas bawaan plastik yang disebut “sekali pakai” dapat memiliki banyak kehidupan kedua yang tidak terlihat–seperti dipakai tempat sampah, tas kotoran anjing, dan wadah penyimpanan.

Sebuah riset di Inggris menghitung bahwa seorang pembeli perlu menggunakan lagi tas bawaan berbahan katun 131 kali untuk mengurangi potensi pemanasan global–kontribusi total yang diharapkan untuk perubahan iklim–di bawah tas plastik yang digunakan sekali untuk membawa barang yang baru dibeli. Untuk memiliki dampak lebih kecil pada iklim ketimbang tas bawaan plastik yang juga digunakan sebagai kantong sampah, konsumen perlu menggunakan tas katun tersebut 327 kali.

Riset saya mengevaluasi beberapa regulasi tas bawaan dari banyak sisi. Dalam sebuah riset baru-baru ini, saya menguji bagaimana pelarangan tas jinjing plastik di negara bagian California di Amerika Serikat telah mengubah tipe tas-tas yang banyak orang pakai saat di depan kasir, juga dampak yang tidak diinginkan dari larangan ini pada kebiasaan belanja konsumen.

Riset saya menunjukkan bahwa pelarangan tas mungkin tidak mengurangi penggunaan plastik secara total jika orang-orang mulai membeli kantong sampah untuk mengganti tas bawaan mereka yang sebelumnya mereka gunakan lagi untuk sampah mereka. Temuan ini menunjukkan bahwa niat baik pelarangan produk dapat memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan.

‘The Majestic Plastic Bag,’ sebuah mockumentary yang diproduksi oleh Heal the Bay untuk mendukung pelarangan plastik di California.

Penggunaan kantong plastik di California

California menyediakan laboratorium unik untuk mempelajari aturan tas plastik. Dari 2007 hingga 2015, 139 kota dan wilayah lain di California menerapkan larangan membawa tas plastik. Momentum lokal ini mendorong untuk pertama kalinya sebuah negara bagian di Amerika Serikat mengeluarkan undang-undang yang melarang penggunaan kantong plastik pada 8 November 2016.

Karena pembatasan ini diadopsi pada waktu yang berbeda-beda di kota-kota di California, saya dapat membandingkan penggunaan tas di toko yang melarang pada toko yang tidak melarang, di samping itu juga memperhitungkan faktor-faktor yang berpotensi mengacaukan larangan ini, seperti pola belanja musiman.

Dengan menggunakan data penjualan dari gerai ritel, saya menemukan bahwa larangan tas bawaan plastik di California mengurangi penggunaan tas plastik hingga 18 juta kilogram per tahun, tapi pengurangan ini diimbangi dengan peningkatan 5,4 juta kilogram penjualan kantong sampah. Ini berarti 30% dari plastik yang berkurang karena larangan tersebut kembali lagi dalam bentuk lain yaitu kantong sampah yang lebih tebal dari tas bawaan plastik pada umumnya.

Secara khusus, hasil riset saya menunjukkan bahwa larangan penggunaan tas plastik menyebabkan penjualan kantong sampah kecil (15 liter), sedang (30 liter), dan besar (49 liter) meningkat. Masing-masing sebesar 120%, 64% dan 6%.

Perubahan persentase dalam penjualan kantong sampah (merah) dan 114 kelompok produk grosir lainnya (abu-abu) dalam beberapa bulan sebelum dan setelah pelarangan kantong tas plastik. Taylor, 2019, https://doi.org/10.1016/j.jeem.2019.01.001, CC BY-ND

Sekali pakai bukan otomatis dipakai sekali saja

Meski tas bawaan plastik sering disebut “sekali pakai”, konsumen tidak perlu memperlakukannya seperti itu. Dengan membandingkan pengurangan tas plastik yang digunakan di kasir dengan peningkatan kantong sampah yang dijual, hasil riset saya menunjukkan bahwa 12 hingga 22% dari tas plastik digunakan kembali di California sebagai kantong sampah sebelum adanya larangan. Setiap penggunaan kembali menghindari pembuatan dan pembelian kantong plastik lain.

Selain itu, estimasi penggunaan plastik kembali dalam penelitian di bawah angka sesungguhnya karena saya tidak meneliti bagaimana orang menggunakan tas plastik untuk hal lain, seperti membungkus barang pecah belah untuk pengiriman atau penyimpanan, ketimbang menggunakan bungkus gelembung plastik. Saya juga tidak meneliti peningkatan penggunaan kantong yang dapat digunakan kembali yang terbuat dari plastik yang lebih tebal sebagai pengganti kantong plastik sekali pakai.

Riset di Inggris meneliti dampak pergeseran ke kantong plastik yang lebih tebal yang dapat digunakan kembali. Penelitian ini menemukan bahwa jika tas yang lebih tebal ini tidak digunakan kembali antara 9 sampai 26 kali, benda ini akan berpotensi lebih tinggi menyebabkan pemanasan global daripada tas plastik sekali pakai yang digunakan kembali sebagai kantong sampah.

Siapa yang menanggung beban?

Siapakah orang-orang yang sebelum pelarangan tas plastik bawaan menggunakannya kembali, dan mungkin kini menanggung beban membeli kantong sampah pasca-larangan? Saya menemukan bahwa penggunaan kembali tas plastik lebih banyak digunakan orang yang membeli barang-barang untuk hewan peliharaan atau barang untuk bayi–dengan kata lain, orang yang perlu mengumpulkan dan membuang kotoran. Pada 2017, hampir 6% rumah di AS memiliki anak di bawah 5 tahun, 44%memiliki anjing dan 35% memiliki kucing.

Saya juga menemukan bahwa penggunaan kembali tas plastik lebih tinggi di antara orang-orang yang berbelanja untuk barang murah. Meski menggunakan kembali tas belanja sebagai kantong sampah dapat didorong oleh masalah lingkungan, itu juga dapat didorong oleh kehematan. Menariknya, saya tidak menemukan korelasi antara penggunaan kembali tas plastik dan pendapatan atau kecenderungan politik, tapi saya memang menemukan korelasi positif dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Tas berbayar daripada melarang

Mengapa para pembuat kebijakan tidak memperkirakan bahwa larangan penggunaan tas plastik dapat meningkatkan penjualan kantong sampah? Kebijakan biasanya meleset karena pembuat kebijakan tidak memahami perilaku orang saat ini atau gagal mengantisipasi bagaimana orang akan merespons dalam situasi yang baru.

Larangan membawa tas plastik menggambarkan masalah pertama. Sebelum tas plastik dilarang, hanya ada sedikit data tentang siapa yang menggunakan kembali kantong plastik atau bagaimana mereka menggunakannya kembali. Eksperimen alamiah California mengungkapkan informasi ini agar wilayah lain dapat berbenah.

Dalam pandangan saya, seharusnya, pembuat kebijakan yang ingin meminimalkan penggunaan plastik mempertimbangkan cara untuk membantu orang yang ingin menggunakan kembali tas sekali pakai. Salah satu pilihan adalah menawarkan insentif untuk produksi tas jinjing yang murah dan tipis yang dirancang khusus dan dipasarkan untuk digunakan pertama kali sebagai tas jinjing, kemudian untuk kantong sampah. Nantinya, tas seperti itu dijual dengan harga kurang dari 9 sen per kantong, agar bersaing dengan kantong sampah 15 liter saat ini. Idealnya, tas plastik ini cukup tipis sehingga lebih tidak menyumbang pada perubahan iklim dibanding tas jinjing tradisional.

Cara alternatif yang diterapkan beberapa daerah lain, termasuk Washington, D.C., adalah menerapkan aturan tas plastik berbayar alih-alih melarangnya. Pendekatan yang memungkinkan konsumen untuk terus menggunakan tas jinjing plastik sebagai kantong sampah dengan sedikit biaya, telah terbukti seefektif larangan tas plastik dalam mendorong konsumen untuk beralih ke tas yang dapat digunakan kembali.

Namun, tas berbayar saat ini belum mendorong penggunaan kembali tas jinjing sekali pakai. Kebijakan ini dapat ditingkatkan dengan mengedukasi konsumen tentang manfaat lingkungan dari menggunakan kembali produk sekali pakai. Sebagai aturan umum, semakin banyak objek dapat digunakan kembali–bahkan barang sekali pakai–semakin baik untuk lingkungan.

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Jamiah Solehati.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now