Menu Close

Larangan terbang 59 negara terhadap WNI: dampaknya pada perdagangan Indonesia dan alternatif penanganannya

antarafoto soetta menjadi bandara paling aman penularan covid bal. Antara Foto

Jumlah kasus aktif COVID-19 di Indonesia semakin meningkat signifikan terlebih setelah pemerintah memutuskan melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Selama bulan September saja kasus baru telah bertambah sebanyak 112,212 kasus dan saat ini totalnya mencapai 307,120 kasus.

Kegagalan pemerintah mengendalikan penyebaran coronavirus di Indonesia memaksa banyak negara untuk mengeluarkan larangan bagi warga negara Indonesia untuk masuk ke wilayah mereka. Setidaknya sudah ada 59 negara yang mengeluarkan larangan tersebut. Beberapa di antaranya termasuk negara-negara potensial bagi eksportir Indonesia, seperti Amerika Serikat dan sebagian negara anggota Uni Eropa.

Larangan ini memiliki setidaknya tiga dampak terhadap kinerja perdagangan ekspor dan impor Indonesia.

1. Hambatan berdagang

Larangan tersebut menghambat pebisnis asal Indonesia maupun mancanegara bertemu untuk melakukan aktivitas bisnis.

Bagi pebisnis Indonesia, larangan ke berbagai negara menghalangi mereka untuk bertemu dengan calon rekan dagang. Negosiasi menggunakan fasilitas cenderung kurang efektif karena pertukaran pesan tidak maksimal. Contohnya, komunikasi non verbal bisa disalahartikan.

Sedangkan bagi pebisnis warga negara asing, peringatan berpergian memengaruhi mereka untuk melakukan aktivitas bisnis di Indonesia. Ada dua hal yang menjadi pertimbangan.

Pertama, asuransi perjalanan dapat berubah. Perusahaan asuransi bisa tidak menerima ataupun menaikkan premi karena risiko lebih tinggi daripada keadaan normal.

Kedua, pebisnis berpotensi mengalami ketidakpastian penerbangan karena beberapa kasus maskapai penerbangan tidak mengijinkan penerbangan yang disebabkan oleh larangan pemerintah. Sementara, kepastian adalah salah satu hal penting dalam bisnis.

Dari negara-negara yang melarang warga Indonesia masuk, ada Amerika Serikat menyumbang ekspor sebesar Rp 263 triliun atau sekitar 11.41% dari jumlah total ekspor Indonesia tahun lalu. Juga ada Uni Eropa yang tahun lalu menyumbang 9.24% dari total ekspor Indonesia tahun 2019 senilai Rp 211 triliun.

Melihat data tersebut, potensi Indonesia kehilangan pendapatan dari ekspor cukup disayangkan mengingat jumlahnya relatif menjanjikan.

2. Ancaman relokasi usaha

Ada 40 perusahaan yang berencana memindahkan pabriknya dari Cina ke Indonesia.

Tapi rencana tersebut berpotensi gagal akibat larangan terbang terhadap warga Indonesia.

Hal tersebut mungkin saja terjadi karena pelaku usaha mancanegara kehilangan kepercayaan terhadap pemangku kebijakan Indonesia dalam menciptakan iklim usaha yang aman dan kondusif.

Kepercayaan merupakan salah satu unsur vital dalam ekonomi yang butuh waktu lama untuk terbangun. Investor asing dapat berpikir bahwa modalnya di Indonesia bisa saja terancam akibat penanganan COVID-19 yang kacau. Saking kacaunya sehingga negara lain menutup pintunya untuk Indonesia.

Tidak jadi masuknya perusahaan asing ke Indonesia akan berdampak pada berkurangnya lapangan pekerjaan. Sebuah riset memperlihatkan bahwa perusahaan asing, terutama perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT), yang menyumbang penyerapan tenaga kerja terbesar kedua setelah industri makanan. Pada tahun lalu industri TPT menyerap 3,7 juta orang pekerja.

Dengan adanya pandemi di industri TPT sendiri hingga April lalu sudah ada PHK terhadap 2 juta karyawan, dengan adanya investor masuk dan membuka pabrik baru diharapkan terjadinya penyerapan tenaga kerja.

Contohnya saja perusahaan garmen asal Cina yang berencana merelokasi 9 pabriknya ke Indonesia, pabrik-pabrik ini berpotensi menyerap sekitar 200,000 tenaga kerja.

3. Perjanjian dagang yang tertunda

Berlakunya larangan terbang bagi warga Indonesia mengancam batalnya beberapa perdagangan dagang Indonesia dengan negara lain. Larangan masuk WNI sekaligus peringatan berpergian mengindikasikan berkurangnya kepercayaan pemerintah negara lain terhadap pemerintah Indonesia dalam penangangan COVID-19.

Sementara, perundingan perdagangan memerlukan kepercayaan antar pihak, apalagi dengan Uni Eropa yang terkenal dengan regulasi impornya yang sangat ketat.

Ditambah, negosiasi perjanjian nol tarif antara kedua pihak sedang berlangsung dan berjalan alot ketika menyangkut persoalan kelapa sawit.

Maka, untuk menumbuhkan kepercayaan sebagai salah satu cara meningkatkan posisi tawar, pemerintah Indonesia perlu memperlihatkan kepada negara lain bahwa komoditas Indonesia bebas dari virus dengan cara memperkuat penanganan COVID-19.

Solusi yang bisa dilakukan

Setidaknya, ada dua langkah yang dapat ditempuh pemerintah Indonesia untuk mengurangi dampak negatif dari larangan terbang terhadap warga Indonesia.

1. Maksimalkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)

Tahun lalu kontribusi UMKM mencapai 65% dari produk domestik bruto (PDB) atau setara Rp 2.394,5 triliun dan menyerap 96% tenaga kerja yang setara dengan 121 juta orang.

Dengan potensi yang sedemikian besar, pemerintah bisa berupaya memberdayakan UMKM untuk menutup kerugian dari perdagangan internasional yang tidak terealisir.

Pemerintah dapat mendukung UMKM dengan beberapa cara. Beberapa di antaranya, pemerintah dapat memberikan bantuan berupa pelatihan dan subsidi infrastruktur digital, semisal bantuan kuota internet atau gawai.

Pelatihan tenaga kerja UMKM dan subsidi infrastruktur digital sangat penting mengingat ketidaklayakan infrastruktur komunikasi dan ketidaksiapan tenaga kerja masih menjadi problem utama dalam mengembangkam UMKM.

2. Aturan keimigrasian khusus

Pemerintah dapat mengeluarkan aturan yang hanya memperbolehkan perjalan individu yang punya keperluan bisnis saja. Dengan hanya pebisnis yang diperbolehkan masuk, pemerintah sekaligus memperoleh dua jaminan.

Pertama, aktivitas ekonomi yang berhubungan dengan entitas dari luar negeri tetap berjalan.

Kedua, pemerintah membatasi pergerakan orang asing yang berpotensi menularkan COVID-19.

Selain untuk menunjukan keseriusan penanganan COVID-19, pemerintah dengan melakukan ini menunjukkan bahwa Indonesia juga mampu melarang WNA. Tindakan ini secara tidak langsung juga mengangkat nilai tawar politik Indonesia.

Singkat kata, pemerintah Indonesia perlu melihat masalah ini sebagai sesuatu problem yang serius. Jika tidak, pihak yang dirugikan justru semakin banyak. Memaksimalkan potensi dalam negeri beserta seleksi pendatang dari luar negeri bisa menjadi langkah penanggulangan masalah ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now