Menu Close
Anggota Front Pembela Islam menggelar protes terkait hasil pemilihan presiden di depan kantor Badan Pengawas Pemilu di Jakarta, 10 Mei 2019. Harismoyo

Lewat petisi online, banyak yang menolak perpanjangan izin FPI. Apakah akan berhasil?

Dukungan terhadap petisi online untuk menolak perpanjangan izin organisasi untuk Front Pembela Islam mencapai hampir 500.000 tanda tangan, sementara petisi yang mendukung perpanjangan hanya sekitar 40% dari angka yang menolak. Apakah Kementerian Dalam Negeri, akan lebih mendengar suara yang menolak atau sebaliknya, mengabulkan permohonan yang mendukung? Belum ada kepastian.

Sampai hari ini, sepekan setelah habis masa berlakunya surat keterangan terdaftar FPI sebagai organisasi kemasyarakatan, Kementerian Dalam Negeri masih mengkaji kelayakan organisasi pimpinan Rizieq Shihab ini untuk diberi perpanjangan atau tidak. Hingga kini, secara online peta dukungan yang menolak pemberian izin lebih besar ketimbang mereka yang mendukungnya.

Hasil penelitian saya menggunakan sampel warga negara Amerika Serikat mengenai petisi online menunjukkkan keberhasilan sebuah petisi online agar mampu mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik ditentukan oleh dua aspek: struktur politik dan individu. Model dari temuan riset ini bisa untuk memprediksi pengaruh petisi online di luar konteks Amerika.

Pada tataran struktur, petisi yang dibuat harus mampu menarik atensi media massa dan elite politik agar bisa didengar pembuat kebijakan. Pada aras lain agar petisi mendapatkan dukungan masyarakat, petisi harus didistribusikan melalui jaringan personal dan isi petisi harus persuasif–bisa membangun kedekatan emosional dengan pembacanya.

Meski struktur politik dan faktor individu telah diidentifikasi sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan petisi elektronik, untuk konteks Indonesia, memprediksi persentase keberhasilan petisi elektronik masih sulit. Hal ini karena tidak adanya mekanisme formal yang mendorong pemerintah atau parlemen di Indonesia untuk menanggapi petisi masyarakat.

Petisi elektronik sebagai partisipasi politik

Petisi elektronik adalah salah satu bentuk partisipasi politik daring yang banyak dilakukan saat ini. Hadirnya change.org dan ipetitions.com memudahkan partisipasi politik warganegara untuk mendukung sebuah inisiatif protes sosial maupun protes politik.

Petisi elektronik adalah bentuk ideal dari demokrasi digital yang menghubungkan langsung rakyat, politikus, dan pemerintah. Sebuah inisiatif dalam bentuk petisi yang didukung oleh rakyat bisa menjadi agenda politik yang kemudian oleh parlemen atau pemerintah dijadikan dasar pengambilan kebijakan politik.

Sebagai contoh, pada 2007 di Inggris, petisi elektronik yang didukung oleh 1,8 juta tanda tangan berhasil membatalkan kebijakan pemerintah yang menerapkan pemberlakuan tarif di jalan utama yang merugikan rakyat.

Di Indonesia, pada 2018, petisi menolak pemberlakuan Undang-Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3), yang memuat pasal bahwa DPR bisa mempidanakan pengkritik parlemen didukung oleh 240.000 tanda tangan. Petisi ini dianggap berhasil dan didukung oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi dan pembatalan UU MD3 yang baru disahkan DPR.

Kasus terbaru, pada Februari lalu, Presiden Joko Widodo mencabut remisi terpidana pembunuh jurnalis Radar Bali setelah Aliansi Jurnalis Independen berhasil menggalang dukungan petisi online hingga 50 ribu tanda tangan untuk membatalkan remisi yang dinilai menciderai kebebasan pers Indonesia. Remisi yang diprotes itu mengubah hukuman terpidana dari penjara seumur hidup menjadi 20 tahun.

Faktor individu

Riset saya menunjukkan bahwa petisi elektronik merupakan tindakan politik yang rasional, tapi dipengaruhi oleh faktor identitas sosial: ikatan terhadap kelompok dan kedekatan dengan isu yang diangkat petisi.

Seorang individu yang punya sikap yang positif terhadap sebuah petisi, belum tentu akan memberikan dukungannya. Faktor ikatan personal terkait siapa yang menyampaikan petisi dan kedekatan emosional terhadap isu yang diangkat memberikan kontribusi signifikan untuk mendukung sebuah petisi.

Jadi dukungan terhadap sebuah petisi tidaklah semata tindakan rasional, ada faktor ikatan sosial yang menjadi kunci penting lainnya. Ini harus diperhatikan oleh pembuat petisi, ketika distribusi petisi lebih baik menggunakan jalur interpersonal daripada komunikasi massa. Isi pesan dalam petisi harus dikemas menggunakan unsur emosi yang mampu membangkitkan kedekatan emosional. Dua strategi tersebut dapat digunakan untuk menarik dukungan yang lebih meluas terhadap sebuah petisi.

Struktur politik

Banyaknya dukungan terhadap sebuah petisi elektronik, belum serta merta menjanjikan kesuksesan sebuah petisi. Mengesampingkan faktor yuridis, petisi juga harus menarik perhatian media massa dan dukungan elite politik.

Di Indonesia, belum ada mekanisme formal yang mendorong pemerintah atau parlemen untuk menanggapi sebuah petisi. Hal ini beda dengan negara seperti Amerika Serikat dan Inggris. Di sana, petisi dianggap sebagai bagian integral dari proses pengambilan kebijakan publik.

Gedung Putih dalam situsnya menyediakan halaman khusus untuk petisi yang berasal dari publik. Bila petisi sudah mendapatkan dukungan minimal 100.000 tanda tangan maka pemerintah harus merespons. Pun begitu di Inggris, petisi dengan 10.000 dukungan yang ditampung oleh parlemen harus dijawab oleh pemerintah.

Teknologi bantu demokratisasi

Dalam politik, internet dianggap teknologi yang disruptif dan dinilai mampu mengubah tatanan politik tradisional. Kekuasaan diharapkan menjadi terdesentralisasi, dan pendulum bergerak ke arah penguatan masyarakat sipil. Partisipasi politik melalui teknologi digital diharapkan mampu membuat struktur politik menjadi horizontal dan menghilangkan model kekuasaan yang hierarkis.

Di Timur Tengah, “musim semi di jazirah Arab” menjadi contoh yang menggambarkan “kekuatan” internet, terutama media sosial, sebagai alat untuk mengkapitalisasi kekuatan politik rakyat. Media sosial seperti Twitter dan Facebook, digunakan sebagai instrumen untuk menumbangkan kekuasaan otoriter di Mesir, Tunisia, dan Libya.

Di Indonesia, pada kasus koin untuk Prita pada 2011 dukungan masyarakat melalui halaman Facebook kemudian berubah menjadi “pressure group” yang berhasil membebaskan korban dari jeratan pidana. Termasuk kemudian penggalangan dana guna membayar denda kasus perdatanya.

Namun, kasus-kasus tersebut sebuah kebetulan dan merupakan preseden luar biasa. Sekali pun teknologi digital dianggap mampu membantu proses demokratisasi, namun teknologi hanya sebatas alat bantu. Dalam konteks petisi elektronik ada aspek tradisional struktur politik dan faktor psikologis individu yang juga menjadi faktor penentu lainnya.

Lalu apakah petisi penolakan terhadap perpanjangan izin FPI akan dipertimbangkan juga oleh Kementerian Dalam Negeri?

Kita tunggu saja keputusannya. Satu hal yang pasti bahwa di Indonesia tidak ada kewajiban pemerintah dan parlemen untuk menanggapi sebuah petisi. Selain media sosial, tekanan media massa dan kepentingan elite politik juga ikut mempengaruhi keberhasilan sebuah petisi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now