Menu Close

Lima buku yang wajib Anda baca pada usia 20-an untuk memahami tantangan sosio-politik generasi muda Indonesia

Artikel ini kami terbitkan dalam rangka merayakan Hari Buku Nasional 2022, 17 Mei.


Pada perayaan Hari Buku Nasonal kali ini, kami bertanya kepada dosen dan peneliti tentang buku-buku yang menurut mereka bisa menjadi jendela untuk memahami tantangan sosio-politik generasi muda di Indonesia.

Kaum muda memang merupakan demografi yang dilematis.

Mereka merupakan kelompok kunci dalam pemilu, berada di pusaran revolusi digital dan budaya, serta mengemban tuntutan negara sebagai generasi penerus – tapi sebagian besar memiliki level pendidikan, kondisi keuangan, dan modal usaha yang masih berada jauh di bawah harapan tersebut.

Di tengah kondisi ekonomi yang kian menantang, banyak anak muda juga terjebak di pekerjaan informal, kesulitan mengakses perumahan yang layak, serta senantiasa mengalami represi digital.

Berikut lima rekomendasi buku dari para akademisi – fiksi maupun non-fiksi, berbahasa Indonesia maupun Inggris – untuk memahami fenomena ekonomi, politik, budaya, dan sejarah yang dekat dengan kaum muda indonesia:

Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran karya Muhtar Habibi

Nabiyla Risfa Izzati, dosen hukum ketenagakerjaan di Universitas Gadjah Mada (UGM)

Buku ini saya rekomendasikan karena memberi gambaran menarik mengenai kondisi kerja di Indonesia saat ini.

Seperti yang banyak kita tahu, kondisi kerja prekariat – yang dicirikan dengan pekerjaan kontrak, kurang terlindungi, dan berada di sektor informal – makin marak menjamur di Indonesia. Anak muda di Indonesia, misalnya, mengambil porsi besar dalam lapangan kerja informal.

Kalau kita runut ke belakang, isu ini bukanlah problem baru, namun merupakan konsekuensi dari kurang berhasilnya industrialisasi Indonesia pada 1980-an yang menyebabkan banyaknya surplus pekerja yang tidak bisa diserap pasar kerja formal. Kegagalan negara menciptakan lapangan kerja secara masif, memunculkan kelas proletar prekariat yang jumlahnya kian membesar hingga saat ini.

Buku Muhtar Habibi ini sangat baik untuk dibaca pekerja muda untuk lebih memahami akar masalah ketenagakerjaan maupun relasi kelas pekerja di Indonesia.

The Divide: Global Inequality from Conquest to Free Markets karya Jason Hickel

Kanti Pertiwi, dosen manajemen di Universitas Indonesia (UI)

The Divide menjelaskan bagaimana banyak persoalan kontemporer di berbagai negara – mulai dari kemiskinan, krisis iklim, korupsi, sampai tantangan hidup layak bagi anak muda – berakar dari praktik ekonomi-politik yang ekspoloitatif di kancah global.

Sang penulis, ekonom dan antropolog Jason Hickel menekankan pentingnya kesadaran kritis saat memahami isu sosial, termasuk yang berdampak pada anak muda. Saat membahas korupsi, misalnya, Hickel mengajak kita melihat persoalan global dengan kacamata yang luas dan peka terhadap pengaruh kolonialisme dan imperialisme.

Ia juga membahas kebijakan pembangunan dari lembaga dunia seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang justru sarat bias dan merugikan rakyat biasa di seluruh dunia. Hickel mengajak kita mempertanyakan hal-hal yang selama ini dianggap wajar oleh masyarakat – dari penyelewengan bisnis oleh perusahaan hingga eksploitasi hajat hidup pekerja, tua maupun muda, di negara Selatan seperti Indonesia.

Anak muda Indonesia pun akan menghadapi kualitas hidup yang menurun akibat krisis iklim dan lingkungan yang tidak terlepas dari ketimpangan kuasa di tataran global ini.

Layanan publik yang buruk, tingkat penghasilan yang stagnan, serta biaya pendidikan, kesehatan, dan perumahan yang semakin tak bisa diraih anak muda bukanlah akibat “kurangnya usaha”, seperti yang selama ini diserukan influencer medsos. Hal-hal tersebut justru terjadi akibat gencarnya neoliberalisme dan pembangunan yang eksploitatif.

Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional karya L. Ayu Saraswati

Amrina Rosyada, mahasiswa doktoral bidang antropologi di Northwestern University, Amerika Serikat (AS)

Di tengah gempuran produk pemutih kulit, rasanya sukar bagi perempuan muda Indonesia untuk tidak mempertanyakan citra dirinya.

Saya sendiri tumbuh besar tanpa pernah merasa sebagai anak remaja yang menarik, salah satunya karena warna kulit saya yang cokelat. Pada mula usia 20-an, saya menemukan buku Putih karya L. Ayu Saraswati.

Buku ini secara instan menjadi salah satu buku kegemaran saya lantaran pendekatan historisnya yang mendetail, dan hubungannya dengan pengalaman banyak perempuan muda. Di buku ini, Saraswati merunut asal-muasal norma kecantikan dan obsesi terhadap kulit putih di Indonesia yang rupanya tidak sesederhana “dibawa dari Barat”.

Saraswati membahas bagaimana citra kecantikan yang kita tahu hari ini selalu berubah dari waktu ke waktu, dan memiliki sifat transnasional (lintas budaya dan negara). Norma ini diperngaruhi epos Ramayana di Jawa pada abad ke-9, ide kecantikan pada era kolonial Belanda dan Jepang, hingga gagasan tentang “putih Indonesia” yang nasionalis.

Membaca Putih barangkali tidak akan semerta-merta menghilangkan kegelisahan mengenai citra diri. Namun, buku ini bisa menjadi titik berangkat kita untuk menjadi lebih kritis tentang ide kecantikan yang secara tidak sadar kita normalisasi.

Rules for Radicals karya Saul D. Alinsky

Muhammad Fajar, Postdoctoral Fellow di Universitas Gadjah Mada (UGM)

James Jasper, seorang sosiolog dan peneliti gerakan sosial yang ternama, mengatakan kalau Rules for Radicals adalah satu-satunya buku yang terlintas di kepalanya jika orang menanyakan apa yang seorang aktivis perlu baca sebelum menyelam ke dalam dunia aktivisme.

Menurut penulis buku tersebut, Saul Alinsky, kekuatan aktivisme hanya datang dari dua sumber: uang dan orang. Karena sebagian besar aktivis tidak memiliki uang sebanyak kubu oligarki, maka para aktivis harus mengorganisasi orang dalam jumlah besar sebagai sumber kekuatan utama gerakan sosial.

Buku ini mencerahkan pikiran kita bahwa ambisi-ambisi aktivisme – seperti menjadi populer di media sosial dan saling adu klaim kesuksesan antara gerakan satu dengan yang lain – menandakan pembacaan yang keliru terhadap tujuan dasar aktivisme: menghimpun kekuatan.

Pengaruh Rules for Radicals dan karya-karya Alinksy bahkan sampai kepada para politikus kondang Amerika Serikat (AS), Barack Obama dan Hillary Clinton. Selama Obama muda berkarir sebagai organisator komunitas pada periode 1985-1988 di Chicago, ia sangat terpengaruh oleh kolega-koleganya yang mengadopsi pemikiran Alinsky. Sementara Hillary secara personal mengenal Alinsky dan sempat membuat tesis mengenai pemikirannya.

Rules for Radicals tetap relevan bagi kaum muda saat ini karena mengingatkan tentang pentingnya mengorganisasi orang sebagai sumber kekuatan utama aktivisme.

Iblis Tidak Pernah Mati karya Seno Gumira Ajidarma

Ika Karlina Idris, dosen kebijakan publik di Monash University, Indonesia

Buku ini merupakan kumpulan cerpen yang menggambarkan tentang peristiwa-peristiwa di masyarakat yang terjadi pada reformasi 1998-1999. Saat membacanya, cerita-cerita fiksi di buku ini cukup kuat mengaduk-aduk emosi saya.

Saat ini advokasi gerakan sosial dan politik oleh banyak anak muda didominasi format multimedia, video pendek, atau meme, yang bisa dengan cepat menarik emosi kita. Cerpen-cerpen di buku ini, meski efeknya tidak secepat video TikTok atau meme, cukup bisa mengajak kita masuk ke atmosfer era reformasi dan merasakan penderitaan korban-korban yang berjatuhan.

Buku ini dapat membantu anak muda, utamanya yang berkecimpung dalam dunia gerakan ataupun mereka yang tertarik dengan isu sosial, untuk memahami bahwa pelanggaran hal asasi manusia (HAM), ketidakadilan sosial, perilaku dan sistem yang korup, ataupun penyalahgunaan kekuasaan itu akan selalu ada.

Bungkusnya bisa berubah, namun sisi jahatnya selalu sama – seperti judulnya: iblis tidak pernah mati. Gerakan pemuda dan masyarakat sipil bisa saja menyingkirkan mereka pada 1998, tapi iblis selalu akan kembali.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now