Menu Close

LSM dapat membantu pemerintah melindungi pengungsi anak

Seorang pengungsi anak dari Sri Lanka berpose untuk fotografer di Lhok Nga beach, Indonesia, 18 June 2016. Hampir 500 pengungsi anak Indonesia tidak didampingi orang tua. EPA/Hotli Simanjuntak

Ada lebih dari 3.700 pengungsi anak di Indonesia. Hampir 500 anak di antaranya tidak didampingi orang tua.

Banyak dari pengungsi anak tidak dapat bersekolah atau pergi ke pusat kesehatan jika sakit. Pada saat yang bersamaan mereka menjalani prosedur untuk memproses suaka tanpa bantuan wali atau pengacara yang dapat membantu mereka.

Hanya beberapa negara, seperti Australia dan Amerika Serikat, yang menerima pengungsi anak tanpa wali. Sebagian besar pengungsi anak yang tidak memiliki pendamping dewasa harus menunggu di negara-negara transit sampai mereka mencapai usia 18 tahun untuk dapat dipindahkan ke negara ketiga.

Situasi ini membuat pengungsi anak-anak menjadi kelompok paling rentan di antara pengungsi. Pemerintah Indonesia harus berbuat lebih banyak untuk melindungi pengungsi anak tanpa pendamping di Indonesia.

Dalam beberapa tahun terakhir telah ada sejumlah LSM yang menyediakan layanan untuk pengungsi anak. Pemerintah harus mempertimbangkan kemitraan dengan mereka demi memberi para pengungsi anak hak atas perlindungan.

Pengungsi anak tanpa pendamping

Peraturan Presiden (Perpres) tahun 2016 tentang Pengungsi secara eksplisit menyebutkan adanya tugas negara untuk menyelamatkan, mengevakuasi, memantau, mendaftar, dan mengakomodasi pengungsi. Misalnya, jika pencari suaka mencapai perairan Indonesia dengan perahu, pemerintah harus menyelamatkan mereka.

Namun, tidak ada satu pun klausul dalam Perpres tersebut yang menyebutkan hak pengungsi paska-evakuasi.

Akibatnya, banyak pencari suaka dan pengungsi di Indonesia yang menunggu penempatan negara ketiga, kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Mereka dilarang bekerja untuk mendapatkan penghasilan. Pengungsi anak menghadapi kesulitan yang sama dan lebih buruk lagi, mereka rentan menjadi korban kekerasan.

Di Indonesia, anak-anak dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35/2014). Namun, undang-undang tersebut tidak berlaku bagi pengungsi anak karena status imigrasi mereka.

Undang-undang perlindungan anak di Indonesia tidak memberikan hak khusus untuk pengungsi anak. Namun pengungsi anak dilindungi dalam Konvensi Hak Anak (CRoC). Indonesia telah meratifikasi CRoC pada tahun 1990 melalui keputusan presiden.

Pasal 22 (1) dari CRoC menetapkan bahwa pengungsi anak berhak untuk

memperoleh perlindungan yang layak dan bantuan kemanusiaan dalam menikmati hak-hak yang berlaku yang ditetapkan dalam Konvensi ini dan dalam instrumen hak asasi manusia atau kemanusiaan internasional lainnya.

Konvensi ini berlaku untuk warga negara dan warga negara asing. Komite PBB tentang hak anak juga menafsirkan bahwa semua ketentuan Konvensi berlaku untuk anak-anak terlepas dari kebangsaan mereka, status imigrasi atau kewarganegaraan dan tidak terbatas pada warga negara dari negara penandatangan Konvensi.

Apa yang sangat diperlukan untuk pengungsi anak tanpa pendamping adalah penunjukan cepat wali untuk memberikan pendampingan hukum sesuai dengan prinsip “kepentingan terbaik anak”.

Misalnya, di Uni Eropa, seorang pendamping akan ditugaskan mewakili anak dalam proses hukum, mengurus keuangan anak, dan mengadvokasi kesejahteraan anak kepada pemerintah. Oleh karenanya, pendamping harus memiliki keahlian dalam pengasuhan anak. Mereka bertanggung jawab membantu anak-anak tersebut menyelesaikan prosedur administratif dan hukum untuk pengajuan suaka mereka hingga mereka mencapai usia 18 tahun.

Kekosongan perlindungan

Pengungsi anak tanpa pendamping di Indonesia tidak menikmati hak yang seharusnya mereka nikmati di bawah CRoC. Pada bulan Januari 2017, 91 dari total 471 anak tanpa pendamping ditahan oleh otoritas imigrasi.

Pengungsi anak dalam tahanan menghadapi kondisi yang lebih buruk daripada anak-anak yang dihukum karena melakukan kegiatan kriminal. Anak-anak yang dihukum di Indonesia berhak ditempatkan di Lembaga Khusus Pembinaan Anak (LPKA) atau Pusat Penahanan Remaja (LAPAS) dalam kasus-kasus di mana LPKA tidak ada. Pusat-pusat ini memberi mereka pendidikan formal, pelatihan keterampilan, dan pelatihan di dalam tahanan.   Karena status imigrasi mereka, pengungsi anak diperlakukan sebagai pengungsi dewasa yang normal. Mereka disimpan di pusat penahanan yang sama dengan orang dewasa lain.

Ini membuat mereka rentan terhadap perlakuan kasar dan pelecehan seksual. Berdasarkan kebijakan imigrasi Indonesia, penahanan dapat berlangsung hingga sepuluh tahun tanpa peninjauan yudisial yang tersedia.

Dan bukannya memberikan anak-anak ini perwalian dan perwakilan hukum untuk “menunjang pemulihan fisik dan psikologis” dalam tahanan, beberapa otoritas imigrasi terlibat dalam kekerasan terhadap pengungsi anak.

Bermitra dengan LSM untuk perawatan berbasis hak

Beberapa tahun belakangan, sejumlah LSM di Indonesia telah mulai menangani masalah-masalah pengungsi anak.

Beberapa dari mereka, seperti Pusat Pembelajaran Pengungsi Cisarua dan Roshan Learning lebih memperhatikan pendidikan dan pelatihan kejuruan untuk memberi anak-anak keterampilan. Pusat Pembelajaran Pengungsi Sunrise dari Institut Sandya di Jakarta menawarkan berbagai kelas bahasa, komputer, seni, hukum, budaya, dan kewirausahaan kepada para pengungsi. Saat ini, 15 dari total 75 siswa terdaftar adalah anak-anak di bawah umur.

Sementara yang lain, seperti SUAKA dan JRS memberikan bantuan hukum gratis, tetapi tidak hanya untuk pengungsi anak.

Church World Services, sebuah LSM yang mengadvokasi alternatif untuk penahanan, telah menampung lebih dari 80 anak di bawah umur di Indonesia.

Meningkatnya perhatian dari organisasi masyarakat sipil untuk perlakuan berbasis hak terhadap anak-anak pengungsi tanpa pendamping adalah peluang bagi pemerintah Indonesia untuk bermitra dengan mereka dalam memenuhi kewajiban hak asasi manusia untuk anak di bawah umur yang tidak memiliki pendamping.

UNHCR, dalam pedoman tentang Kebijakan dan Prosedur Menangani Anak-anak Tanpa Pendamping Mencari Suaka, merekomendasikan “organisasi independen dan terakreditasi, yang akan menunjuk wali atau penasihat pengungsi anak, agar secara formal didirikan di setiap negara”.

Indonesia dapat mendelegasikan tanggung jawabnya untuk memastikan perlindungan bagi pengungsi anak tanpa pendamping dengan bermitra dengan LSM yang telah terdaftar di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Melalui kemitraan dengan pemerintah, LSM-LSM dapat mencarikan bantuan hukum dari kalangan profesional berpengalaman, memberi mereka pelatihan yang diperlukan di bidang pengasuhan anak dan menugaskan mereka sebagai wali hukum.

Dengan metode ini, Indonesia dapat mendelegasikan beberapa kewajibannya dan pada saat yang sama menempatkan prinsip “kepentingan terbaik anak” di garis terdepan manajemen pengungsi anak di Indonesia dengan memastikan pengungsi anak tanpa pengasuhan diperlakukan sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now