Menu Close
Ketika lahan menjadi pusat identitas dari masyarakat lokal terbentuk, begitu pula landskap politik. Nikita Sud, Author provided

Manusia merombak alam, tapi alam membentuk manusia

Dalam beberapa abad terakhir, negara-negara di dunia mengotori sungai, membangun infrastruktur dan ekspansi industri dan pertanian dengan mengatasnamakan pembangunan manusia.

Untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut, kita mengeksploitasi air, menambang mineral dan logam, menguasai lahan dan penghuni lahan tersebut. Terlihat jelas bahwa penggunaan dan penyalahgunaan sumber daya alam memiliki nilai pasti dalam perkembangan manusia.

Sayangnya, tindakan ini bukan tanpa risiko. Terlepas dari krisis iklim dan ekologi yang sedang terjadi, cara individu, bisnis dan negara berelasi dengan lahan membentuk identitas mereka. Saat identitas ini menemukan tantangan, ia bisa mendefinisikan dirinya sendiri di arena politik. Berdasarkan penelitian saya di India yang sedang berlangsung, ternyata bukan manusia saja yang membentuk lahan, tapi lahan membentuk kita juga.

Ketika manusia mengembangkan suatu proyek yang besar, kita jelas-jelas membentuk lahan, dengan meratakan, menggali tanah, hingga memindahkan material besar, seperti batu besar. Kita memanipulasi Bumi secara fisik.

Selain itu, kita juga mengubah mikroba, hewan, tanaman, dan populasi manusia yang sebelumnya sudah ada di lokasi tersebut.

Proyek pembangunan semacam itu juga secara legal mendefinisikan ulang lahan. Misalnya, di barat India, saya telah mengikuti proyek produksi semen skala besar untuk sektor swasta. Proyek ini mencakup sekitar 3000 hektare lahan di pesisir dari Laut Arab, untuk pabrik-pabrik, operasi tambang, pelabuhan, pembangkit listrik, hingga bangunan untuk sekolah, pusat perbelanjaan, dan rumah sakit. Sebagian besar dari lahan ini masih berstatus sebagai lahan untuk kebutuhan publik.

Pertarungan identitas

Manusia sering merombak lahan untuk kepentingan mereka. Namun, proses ini tidak hanya berlangsung satu arah karena hubungan kita dengan lahan, secara fundamental, membentuk pemerintahan, pasar, politik, serta masyarakat kita.

Lahan yang dialokasikan untuk pengembangan sering dianggap sebagai lahan yang terbuang, meskipun dalam areal tersebut biasanya memiliki sejarah panjang yang justru menyokong kehidupan manusia dan alam liar.

Penelitian saya mengindikasikan bahwa lahan untuk pembangunan proyek semen merupakan rumah bagi komunitas pekerja di sektor perikanan, peternakan, kehutanan yaitu pengumpul makanan serta petani, serta berbagai macam satwa dan tanaman, dan sumber daya alami penyerap karbon, termasuk mangrove.

Hal ini cocok dengan pola yang lama, yaitu selama berabad-abad lamanya, manusia memiliki privilese untuk menentukan suatu lahan produktif atau tidak produktif untuk kepentingan kapitalisasi.

Proyek pengembangan di India banyak yang menuai protes skala besar. MASS, Author provided (no reuse)

Komunitas yang mendiami lahan tersebut sudah memiliki keterikatan hubungan sebagai tempat bekerja dan spiritual selama generasi, yang akhirnya menjadi bagian penting dari identitas mereka.

Bagi komunitas terdampak di barat Indonesia, proyek tersebut berarti kehilangan ibu, pengasuh mereka, serta koneksi mereka dengan para leluhur, dan dewa-dewa mereka yang berada di tanah, sungai dan pesisir.

Dibentuk oleh alam

Pertarungan yang disebutkan antara masyarakat yang tergusur dengan bisnis pemburu laba akhirnya terbentuk dari hubungan keduanya dengan alam. Hal ini juga yang mempengaruhi pertarungan secara politis.

Di India, negara lebih mendukung perusahaan-perusahaan swasta ketimbang populasi manusia, sehingga pemerintahan ini pro-bisnis. Untuk membenarkan posisi tersebut dan terus menggalang suara, partai berkuasa di India secara rutin menanamkan sentimen nasionalisme dan memainkan rasa ketakutan terhadap terorisme.

Contohnya, beberapa politisi telah menggunakan ketegangan politik yang terjadi di perbatasan Pakistan untuk menuduh para pekerja yang digusur dari lahan mereka terlibat dalam aktivitas terorisme tanpa bukti. Pemerintah pun mendukung persepsi ini dengan menurunkan pasukan keamanan untuk menjaga pelabuhan, tambang dan pabrik.

Para pekerja di sektor perikanan menolak proyek semen di daerah mereka karena pabrik desalinasi akan membahayakan ekosistem laut.P. MASS, Author provided

Negara, secara konsisten, menggambarkan proyek pengembangan harus segera dilakukan apabila ingin kemajuan yang positif.

Pemrotes, aktivis, mahasiswa, dan jurnalis yang tidak setuju dengan narasi ini diberikan label sebagai anti-nasionalisme.

Nasionalisme otoritarian dan ketakutan akan terorisme telah mencengkram India di beberapa tahun belakangan, dan keterikatan mendalam dengan lahan yang dirasakan oleh masyarakat lokal memainkan peran penting dalam retorika yang dikonstruksikan oleh para politisi.

Pertarungan pemilu

Perjuangan atas lahan dan sumber daya alam juga membentuk politik. Pertarungan akan lahan sering muncul dari para pemimpin politik yang memperjuangkan hak-hak dari masyarakat lokal dan menentang agenda nasional.

Pertarungan pemilu di lapangan yang saya kaji menitikberatkan kepada lapangan pekerjaan di pemerintahan dengan janji akan melindungi lahan dari orang luar.

Pertarungan ini tidak mungkin dapat terwujud seandainya lahan yang dihuni oleh masyarakat setempat tidak dipengaruhi oleh cara hidup dan identitas mereka, dan menempatkan hubungan ini ke dalam kontes antara negara nasionalis dengan perusahaan besar.

Cerita yang mirip dengan India bisa ditemukan di seluru dunia. Negara seperti Brasil, Mozambik, Indonesia, dan Malaysia menghadapi manuver politik sebagai pembenaran atas pilihan pro-bisnis.

Hal ini merupakan dampak langsung dari pengaruh sumber daya alam terhadap identitas komunitas yang mendiami lahan terdampak.

Negara, dunia bisnis, individu, serta politik yang memainkan peranan satu sama lain sebenarnya memiliki label dan terbentuk dari alam. Menyadari akan hal ini membantu kita untuk mengedepankan nasib sumber daya alam di setiap kehidupan kita. Apabila kita bisa menjaga alam dengan baik, mungkin pembangunan manusia pada abad berikutnya tidak akan meminta banyak dari alam.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now