Menu Close

Mempersoalkan sekuritisasi yang berlebihan dalam pengendalian pandemi COVID-19 di Indonesia

Polisi dan tentara mensosialisasikan vaksinasi COVID-19 pada pelajar di SD Negeri Krincing, Secang, Magelang, Jawa Tengah, 4 Januari 2022. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/wsj.

Meski Indonesia tengah menghadapi gelombang ketiga COVID-19 akibat varian Omicron, kebijakan penanganan pandemi belum berubah dalam dua tahun terakhir. Salah satu kebijakan yang kontroversial adalah pelibatan lembaga dan aparat militer, kepolisian, dan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam pengendalian pandemi.

Riset kami menunjukkan hingga kini, sedikitnya ada 16 peraturan darurat yang diterbitkan oleh presiden, menteri, dan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 yang menugaskan personel Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian, dan BIN pada posisi pengambil kebijakan tingkat tinggi terkait pengendalian COVID-19. Perwakilan TNI Angkatan Darat dan Kepolisian juga menjadi Wakil Ketua Tim Pelaksana Gugus Tugas COVID-19.

Sementara, Kementerian Kesehatan yang juga bagian dari Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) hanya berperan sebagai “pendukung bagi tim pelaksana”.

Pelibatan institusi keamanan yang berlebihan berisiko melemahkan pendekatan kesehatan masyarakat dan sains yang seharusnya menjadi landasan dasar dalam penanganan krisis kesehatan.

Tiga alasan sekuritisasi pandemi berbahaya

Sekuritisasi pandemi merupakan pendekatan pengendalian pandemi yang menitikberatkan pada peran lembaga keamanan seperti kepolisian, militer, dan badan intelijen.

Lembaga keamanan sebenarnya lumrah diturunkan di lapangan untuk mendukung operasional dan memobilisasi penanganan pandemi. Sekuritisasi biasanya dianggap berlebihan jika elit lembaga keamanan sudah berperan dalam pengambilan keputusan terkait krisis kesehatan masyarakat.

Implikasinya, krisis kesehatan diperlakukan sebagai ancaman keamanan yang kemudian diselesaikan dengan tindakan represif.

Polisi memeriksa kartu vaksinasi COVID-19 pengendara sepeda motor yang melintas di jalan poros Desa Baliase, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, 15 Januari 2022. Petugas memberikan vaksinasi di tempat tersebut jika ada warga yang ditemukan belum divaksin atau vaksinasinya belum lengkap. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/nym

Setidaknya ada tiga alasan mengapa sekuritisasi pandemi yang berlebihan bisa melemahkan penanganan pandemi di Indonesia.

Pertama, pelibatan aparat TNI dan Polri dalam Satuan Gugus Tugas COVID-19 melemahkan peran otoritas kesehatan. Dalam Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2020, perwakilan dari kedua lembaga tersebut menjadi Wakil Ketua Pelaksana I dan II, termasuk ketua pelaksana yang saat itu masih menjadi anggota militer aktif. Struktur tersebut kemudian diubah melalui Keputusan Presiden No. 9/2020 yang juga “sama-sama” didominasi oleh perwakilan lembaga keamanan. Dari enam unsur pimpinan pelaksana Satgas COVID-19, empat di antaranya merupakan anggota lembaga keamanan aktif.

Artinya, posisi itu tidak hanya sebatas untuk koordinasi, tapi juga perancangan dan penetapan kebijakan terkait penanganan pandemi. Hal ini berpotensi melemahkan peran otoritas kesehatan yang seharusnya menjadi pemegang kendali.

Meski penanganan COVID-19 sudah dialihkan kepada Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), pendekatan sekuritisasi masih kerap diandalkan dalam penanganan pandemi secara keseluruhan.

Saat posisi perwakilan TNI dan Polri begitu kuat di Tim Pelaksana Gugus Tugas COVID-19, Kementerian Kesehatan hanya berperan sebagai pendukung tim pelaksana. Padahal, Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular mengamanatkan bahwa pemegang kendali pada setiap kejadian luar biasa penyakit menular, termasuk pandemi COVID-19 adalah Menteri Kesehatan.

Kedua, pendekatan sekuritisasi yang berlebihan menghasilkan berbagai kebijakan kesehatan yang tidak efektif dalam penanganan COVID-19.

Umumnya, negara menempatkan otoritas kesehatan sebagai pemimpin sektor dalam merespons krisis kesehatan. Aparat keamanan dapat berperan sesuai kompetensinya untuk mendukung penanggulangan krisis.

Sedangkan di Indonesia, pemerintah justru memberikan ruang yang berlebihan pada aparat di sektor keamanan.

Pemberian ruang yang berlebihan tidak menjadikan pandemi cepat terselesaikan. Bahkan, beberapa di antaranya cenderung gagal atau tidak cukup efektif dalam penanganan pandemi.

Misalnya, inisiasi Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI AD untuk mengembangkan obat COVID bersama Universitas Airlangga. Padahal, kedua lembaga keamanan tersebut tak bergerak di sektor farmasi dan kedokteran klinis. BIN juga diberi kewenangan dalam pengadaan dan penyediaan testing dengan Mobile Lab PCR yang diduga tidak cukup akurat.

Upaya pemeriksaan dan penelusuran kontak erat yang melibatkan Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) juga bermasalah, karena mekanisme akuntabilitasnya kerap tidak jelas. Mereka juga tidak memiliki keahlian dalam tugas penelusuran kontak erat seperti tenaga kesehatan, sehingga perlu dilatih terlebih dulu oleh tenaga kesehatan yang ahli dalam surveilans.

Di samping itu, beberapa anggota TNI dan Polri yang terlibat pengendalian COVID juga melakukan kekerasan. Mereka kerap menjemput paksa pedagang untuk diperiksa, tanpa mempertimbangkan situasi keramaian di pasar.

Pendekatan sekuritisasi lainnya juga dapat dilihat dari penyelenggaraan percepatan vaksinasi massal oleh TNI dan Polri. Presiden Joko Widodo sendiri yang menginstruksikan agar TNI dan Polri mendistribusikan vaksin masing-masing 25% sehingga total keduanya 50% dari total alokasi vaksin. Separuh alokasi lainnya didistribusikan melalui Dinas Kesehatan.

Alih-alih ikut mempercepat vaksinasi, kebijakan ini justru menimbulkan persoalan lain terutama dalam proses distribusi vaksin ke daerah.

Misalnya, pada Juli 2021, stok vaksin di Kota Semarang menipis. Sejumlah layanan vaksinasi yang sebelumnya dibuka terpaksa ditutup. Sementara alokasi vaksin dari pemerintah pusat di daerah tersebut hanya sekitar 500.000 dosis per pekan, 60-65% di antaranya merupakan jatah TNI-Polri.

Begitu juga dengan stok vaksin di Kota Sukabumi yang sempat habis, sehingga perlu mendapat pasokan vaksin dari TNI dan Polri.

Habisnya stok vaksin di sejumlah fasilitas kesehatan yang dekat dengan warga justru mempersulit akses masyarakat terhadap vaksin, apalagi jika vaksin TNI-Polri hanya tersedia di titik-titik tertentu.

Ketiga, pelibatan aparat keamanan identik dengan tindakan represif dan menyesakkan ruang sipil. Mereka mempraktikan hukuman fisik dan mengkerdilkan ruang kebebasan sipil.

Praktik pengerahan kekuatan militer dalam penanganan pandemi dilakukan hampir seluruh negara. Namun, pengerahan ini semata-mata untuk melindungi kesehatan masyarakat dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mensyaratkan, jika negara mengerahkan militer dalam konteks penegakan hukum, maka perlu adanya batasan waktu yang jelas dan terukur. Selain itu, pengerahan militer tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dan tetap berada di bawah tanggung jawab otoritas sipil.

Dalam penegakan protokol kesehatan misalnya, pemerintah kerap mengandalkan personel keamanan untuk “mendisiplinkan” masyarakat. Sayangnya, proses pendisiplinan masyarakat terhadap protokol kesehatan di lapangan justru diwarnai aksi tindakan represif hingga pemberian hukuman fisik.

Sebagai contoh, pembubaran massa menggunakan water cannon di Papua pada Mei 2020 saat pemeriksaan rapid test COVID.

Selain itu, warga yang melanggar protokol kesehatan juga dihukum psikis dengan memaksa mereka untuk tidur di dalam peti mati untuk merasakan ‘seramnya’ meninggal akibat COVID-19.

Catatan kami menunjukkan, penerapan hukuman fisik tidak menjadikan masyarakat taat dengan ketentuan protokol kesehatan. LaporCovid-19 mencatat setidaknya 1.096 pelanggaran protokol kesehatan selama periode Juli 2020-April 2021. Sementara, masyarakat masih kurang memahami seberapa rentan mereka terinfeksi COVID-19, seberapa parah penyakit ini, apa manfaat pencegahan, dan kurangnya petunjuk untuk bertindak.

Hukuman fisik hanya menjadikan masyarakat khawatir terhadap petugas, bukan kepada virus.

Akhiri sekuritisasi berlebihan

Pendekatan sekuritisasi yang berlebihan bukan kebijakan yang efektif, malah menghambat penanganan pandemi secara keseluruhan. Selain karena aparat keamanan tidak memiliki keahlian dalam kesehatan masyarakat, mereka juga kerap mengandalkan tindakan yang cenderung represif.

Otoritas kesehatan semestinya memegang kendali penuh terhadap penanganan krisis kesehatan, sementara aparat keamanan dapat dipergunakan sesuai dengan kapasitasnya.

Kondisi ini memungkinkan agar setiap kebijakan yang diambil berlandaskan pada keilmuan dan prinsip-prinsip kesehatan masyarakat.


Amanda Tan, Mahasiswa Pascasarjana Monash University di Indonesia dan Program Officer LaporCovid-19; dan Firdaus Ferdiansyah, Mahasiswa Diploma 4 Keselamatan dan Kesehatan Kerja Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Koordinator Advokasi LaporCovid-19 berkontribusi dalam riset dan penulisan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now