Menu Close

Mengapa atasan sebaiknya membiarkan karyawan mereka menjelajahi web di tempat kerja

Cyberloafing mungkin saja bukan sebuah kegiatan yang membuang-buang waktu. GaudiLab/Shutterstock.com

Jika Anda seperti kebanyakan pekerja, Anda tidak menghabiskan 100% waktu Anda di kantor melakukan hal yang seharusnya Anda lakukan.

Bahkan, secara rata-rata, para pekerja di Amerika Serikat menghabiskan sekitar 10% hari kerja mereka menjelajahi internet, mengirim surel ke teman mereka atau berbelanja secara daring. Fenomena bermalas-malasan di dunia maya ini, atau juga disebut “cyberloafing”, merugikan perusahaan hingga US$85 miliar setahun.

Namun perilaku ini belum tentu pertanda seorang karyawan pemalas atau hanya menghabis-habiskan waktu. Penelitian baru yang saya lakukan dengan beberapa kolega menunjukkan cyberloafing dapat membantu para karyawan dalam menghadapi suasana kerja yang luar biasa menekan.

Cyberloafing dan stres

Penelitian yang sudah ada terhadap cyberloafing, istilah yang pertama kali diciptakan pada 2002 oleh para peneliti di National University of Singapore, biasanya mengasumsikan bahwa perilaku ini bermasalah dan kontra produktif.

Oleh karena itu mayoritas penelitian terkait cyberloafing berfokus pada cara-cara agar karyawan tidak melakukan perbuatan ini melalui intervensi seperti pemantauan penggunaan internet dan kebijakan penggunaan komputer.

Namun, penelitian yang lebih mutakhir menemukan bahwa menggunakan internet di tempat kerja untuk tujuan pribadi dapat juga berdampak secara positif. Misalnya, menggunakan media sosial di tempat kerja berkorelasi dengan tingkat keterlibatan dan kepuasan kerja karyawan yang lebih tinggi.

Dan kajian-kajian lain menunjukkan bahwa cyberloafing dapat memberi ruang bagi para karyawan untuk mengelola stres di tempat kerja. Misalnya, penelitian empiris menunjukkan bahwa karyawan menjelajahi internet sebagai respons terhadap rasa bosan dan arahan-arahan yang tidak jelas.

Dampak terhadap stres karyawan

Tapi apakah cyberloafing sebenarnya efektif dalam mengurangi tingkat stres karyawan?

Itulah pertanyaan yang ingin Stacey Kessler, Shani Pindek, Gary Kleinman, Paul Spector dan saya jawab dalam kajian terbaru kami. Hipotesis kami adalah cyberloafing dapat menjadi sebuah rehat sejenak selama hari kerja, memberikan karyawan kesempatan untuk memulihkan diri dari situasi kerja yang menekan.

Untuk menguji hipotesis tersebut, kami merekrut 258 mahasiswa yang juga bekerja setidaknya 20 jam per minggu untuk mengisi sebuah survei daring terkait pengalaman bekerja mereka. Kami minta mereka secara spesifik untuk memberikan peringkat, dari “tidak pernah” hingga “sering”, berapa banyak waktu yang mereka habiskan melakukan berbagai kegiatan cyberloafing seperti memeriksa surel pribadi dan berbelanja. Kami juga menanyakan para peserta untuk memberikan peringkat terkait kepuasan kerja, keinginan mereka untuk mengundurkan diri, dan seberapa sering mereka diperlakukan tidak baik di tempat kerja, seperti dirundung, diancam atau diteriaki.

Seperti yang Anda mungkin duga, kami menemukan bahwa peserta yang mengaku lebih sering diperlakukan tidak baik di tempat kerja memiliki kepuasan kerja yang lebih rendah dan lebih ingin meninggalkan perusahaan mereka.

Yang lebih menarik lagi, kami menemukan bahwa cyberloafing efektif menyangga keterkaitan tersebut. Yakni, pekerja yang diperlakukan tidak baik yang lebih banyak menghabiskan waktu menjelajahi internet dan memeriksa surel mengaku memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi dan lebih tidak ingin mengundurkan diri daripada peserta yang tidak banyak melakukan cyberloafing.

Ini menunjukkan bahwa cyberloafing berfungsi sebagai semacam katup pelepas bagi pekerja, membantu mereka memulihkan diri dari pengalaman yang membuat stres.

Secara keseluruhan, sekitar 65% peserta mengaku menghabiskan setidaknya sebagian waktu kerja untuk cyberloafing, mayoritas dalam kadar moderat, dengan menggunakan surel pribadi sebagai bentuk yang paling lumrah.

Meski kami tidak menilai secara langsung keterkaitan antara cyberloafing dengan performa si pekerja, kami meyakini bahwa, dengan mengurangi stres, dampak penyangga ini pada akhirnya dapat membantu karyawan agar lebih produktif. Ini selaras dengan penelitian mutakhir lain yang menunjukkan bahwa mengambil jeda pendek sepanjang hari kerja terkait secara tidak langsung dengan performa pekerjaan harian yang lebih tinggi.

Tentu kami tidak mengatakan bahwa cyberloafing selalu baik. Menghabiskan terlalu banyak waktu untuk hal-hal yang tidak terkait pekerjaan mungkin sekali menyebabkan performa kerja jatuh.

Berikan mereka kelonggaran

Secara garis besar, manajer sebaiknya memberikan para pekerja kelonggaran terkait cyberloafing.

Namun hasil penelitian kami tidak bermakna bahwa mereka sebaiknya cukup membiarkan karyawan melakukan cyberloafing daripada mengatasi masalah di tempat kerja seperti perundungan. Jika manajer hanya berfokus pada cyberloafing, mereka hanya menangani gejala, bukan akar masalahnya.

Dan tentu saja, ada alasan lain karyawan melakukan cyberloafing. Misalnya, beberapa orang melakukannya untuk “membalas” perusahaan mereka atas apa yang mereka anggap sebagai suatu bentuk ketidakadilan atau hanya karena mereka melihat kolega mereka melakukan cyberloafing. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memahami faktor yang memotivasi karyawan melakukan cyberloafing.

Dan mungkin, hanya suatu kemungkinan, sedikit berbelanja atau menjelajahi web saat bekerja dapat membuat Anda menjadi lebih produktif dalam jangka panjang.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now