Menu Close
Orang mungkin merasa mereka seharusnya memberi pada yang lebih membutuhkan, tapi mereka secara naluriah ingin memberi pada yang indah-indah atau imit. Shutterstock

Mengapa hal indah dan imut lebih menarik para donor ketimbang mereka yang lebih membutuhkan

Apa faktor terpenting yang Anda pertimbangkan sebelum memilih ke mana akan beramal? Bisa dipahami, kebanyakan orang yang saya tanyakan menjawab bahwa kuncinya yakni kebutuhan si penerima.

Namun pada kenyataannya pilihan yang dibuat pendonor menunjukkan bahwa penerima yang paling membutuhkan sering kali mendapat sumbangan yang kecil dan tidak proporsional. Contohnya, universitas di Amerika Serikat mendapatkan kontribusi filantropi yang jauh lebih besar ketimbang organisasi amal yang menyalurkan kebutuhan paling mendesak di negara berkembang.

Bahkan pada bidang filantropi populer seperti konservasi hewan, mayoritas perhatian dan uang mengalir ke beberapa spesies yang disukai, seperti panda. Meningkatkan kesempatan bertahan hidup bagi hewan terancam punah lainnya yang “kurang fotogenik”, tampaknya dianggap kurang menarik.

Untuk menyelidiki derajat disparitas ini, yang kami sebut “premi kecantikan amal”, kolega saya Cynthia Cryder, Simona Botti dan saya meminta orang untuk berdonasi kepada satu (atau lebih) dari delapan spesies terancam punah yang didukung oleh pusat konservasi nasional.

Kami menemukan bahwa pendonor tidak menyokong spesies yang memiliki kebutuhan lebih besar akan konservasi—melainkan lebih memilih hewan yang dianggap “lebih menggemaskan”.

Faktanya, keempat spesies yang dianggap paling menarik—jerapah, zebra, gajah, dan flamingo—menarik uang hampir dua kali lipat banyaknya ketimbang empat hewan lain yang “kurang menarik"—lemur, orangutan, simpanse, dan penguin.

Sama halnya, orang lebih cenderung membantu penerima (manusia) yang lebih cantik, ketika mereka harus membuat keputusan mengenai anak-anak atau orang dewasa yang akan dibantu dengan amal. Kecenderungan untuk berdonasi kepada penerima yang lebih menarik daripada yang membutuhkan, bahkan tampak lebih membingungkan lagi ketika kami menemukan bahwa orang-orang yang menarik dianggap kurang membutuhkan. Lalu mengapa orang mengklaim sangat peduli pada kebutuhan, kemudian tampak berdonasi berdasarkan daya tarik?


Baca juga: Humor dan sains: apakah kucing benda cair?


Keinginan vs keharusan

Satu alasan untuk hal ini adalah kita bisa memiliki preferensi "keinginan” dan “keharusan” pada saat bersamaan. Contohnya, orang mungkin merasa mereka “seharusnya” menonton film dokumenter bemutu tinggi, tetapi di sisi lain akhirnya memilih menonton komedi murahan karena “ingin”. Ketika membuat keputusan, pilihan “ingin” datang secara otomatis atau naluriah, sedangkan keputusan pilihan “seharusnya” adalah hasil dari proses yang lebih membutuhkan pemikiran.

Terkait konteks pemberian amal, temuan kami menunjukkan bahwa pendonor memiliki preferensi “ingin” untuk berdonasi kepada penerima yang lebih menarik ketika mereka memutuskan secara intuitif, dan preferensi “seharusnya” untuk berdonasi kepada penerima yang lebih membutuhkan ketika mereka memutuskan secara deliberatif.

Ketika diminta membuat keputusan intuitif, partisipan ingin membantu anak yang dianggap paling menggemaskan dan paling tidak membutuhkan. Namun ketika mereka diminta untuk membuat keputusan yang deliberatif, pilihan mereka jatuh pada anak yang paling membutuhkan.

Keputusan juga memprioritaskan penerima yang paling cantik ketika donor potensial ditanya, siapa yang ingin mereka bantu. Namun, mereka memilih resipien yang paling membutuhkan ketika mereka ditanya kepada siapa mereka seharusnya berdonasi.

Pilihan juga sejalan dengan preferensi “seharusnya” ketika orang ditanya untuk membuat keputusan atas nama donor lain, atau ketika diminta untuk menilai kebutuhan penerima sebelum membuat keputusan. Dalam hal seperti ini, orang biasanya membuat keputusan yang lebih deliberatif.

Empati itu penting

Bagaimanapun juga, efek “premi kecantikan amal” tampaknya tidak ditemui dalam situasi di mana donor mengalami empati tingkat tinggi terhadap resipien potensial. Satu contoh, ketika orang diberi tahu bahwa seorang pasien yang sedang dalam pemulihan dari kanker tulang mencari bantuan finansial untuk membantunya melanjutkan hidup, maka kemungkinan ia akan menerima donasi lebih kecil ketimbang resipien yang lebih tampak menarik.

Namun ketika donor diberi tahu bahwa seorang pasien yang sedang berjuang untuk pulih dari kanker tulang dan tidak bisa lagi bekerja dan menyokong keluarga, maka faktor keindahan tidak terlampau bermain di sini.

Yang menarik, deliberasi tidak memberi manfaat bagi kerelaan orang untuk mendukung amal di masa depan. Prospek untuk berdonasi jangka panjang lebih banyak ketika orang berdonasi secara intuitif kepada penerima yang lebih menarik. Maka organisasi amal bisa diuntungkan dengan menggunakan imaji penerima yang terlihat menarik, daripada membutuhkan, dalam materi penjualan dan iklan mereka.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now