Menu Close

Mengapa perempuan miskin enggan melaporkan KDRT ke pihak berwenang?

Keterbatasan uang dan waktu serta ketidakpercayaan diri di antara perempuan miskin berdampak pada rendahnya peluang mereka untuk mengakses berbagai layanan publik, termasuk layanan perlindungan dari kekerasan. www.shutterstock.com

The Conversation Indonesia menerbitkan serangkaian artikel membahas kekerasan terhadap perempuan dalam rangka Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Sedunia pada 25 November.


Susi (44 tahun, bukan nama sebenarnya), seorang ibu rumah tangga, istri dari petugas keamanan pada sebuah pabrik di Deli Serdang, Sumatera Utara memilih mempertahankan pernikahan meskipun selama bertahun-tahun suaminya kerap kali ringan tangan karena berbagai alasan seperti cemburu hingga pelampiasan karena tekanan di tempat kerja.

Tindak kekerasan suami Susi kepada dirinya sudah menjadi rahasia umum di lingkungan tempat tinggalnya. Beberapa kali tetangga melerai pertengkaran mereka. Susi pernah melaporkan perilaku kekerasan yang dilakukan suaminya kepada perangkat desa setempat, tetapi suaminya beberapa hari menghilang dari rumah ketika akan ditindak.

Meskipun demikian, Susi tidak pernah berpikir untuk melaporkan suaminya ke polisi. Menurutnya, anak-anaknya akan merasa malu jika ayahnya dipenjara. Selain itu, suaminya juga selalu meminta maaf kepada Susi setelah amarahnya reda.

Susi adalah gambaran kecil dari banyak kisah perempuan di negeri ini yang menerima perlakuan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh pasangannya.

Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016 menunjukkan bahwa satu dari tiga perempuan usia 15–64 tahun mengalami kekerasan fisik dan atau seksual oleh pasangan maupun bukan pasangan selama hidupnya. Pada 2016, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat telah terjadi 10.205 kasus KDRT, dimana 56% diantaranya adalah kasus kekerasan terhadap istri.

Menilai kompleksitas masalah KDRT dari data jumlah kasus yang terjadi adalah jauh dari ideal. Masih banyak kasus yang tidak dilaporkan karena berbagai kendala.

Kami bersama tim melakukan sebuah studi yang mencoba melihat sikap perempuan miskin dalam melaporkan KDRT dan mengaitkannya dengan akses mereka terhadap layanan formal yang tersedia bagi korban KDRT.

Mengapa meneliti perempuan miskin?

Pada kasus perempuan miskin seperti Susi, kemiskinan memperparah konteks KDRT yang mereka hadapi.

Pada dasarnya perempuan miskin cenderung menghadapi relasi gender yang timpang. Mereka melakukan peran ganda terkait pekerjaan reproduktif, produktif, dan sosial secara bersamaan.

Keterbatasan uang dan waktu serta ketidakpercayaan diri di antara perempuan miskin berdampak pada rendahnya peluang mereka untuk mengakses berbagai layanan publik, termasuk layanan perlindungan dari kekerasan.

Akibatnya, peluang perempuan miskin untuk mengakses layanan perlindungan kekerasan cenderung rendah tanpa adanya upaya perluasan jangkauan layanan yang holistik. Layanan perlindungan kekerasan ada namun seringkali layanan tersebut belum dapat diakses oleh perempuan miskin, karena berbagai faktor, termasuk keterbatasan pengetahuan maupun kepercayaan diri perempuan miskin korban kekerasan.

Sikap perempuan miskin dalam melaporkan KDRT

Kami menggunakan definisi KDRT seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT yang mencakup kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual. Studi ini dibatasi pada lingkup KDRT yang terjadi antara suami-istri.

Dilihat dari jenis KDRT, rata-rata 53% dan 54% responden dari 515 perempuan miskin yang diwawancarai mengaku akan melaporkan kejadian KDRT jenis kekerasan fisik dan psikis yang diketahui/dialaminya; namun hanya 43% dan 49% responden yang mengaku akan melaporkan KDRT jenis kekerasan seksual dan ekonomi.

Kami menemukan bahwa mayoritas perempuan miskin (72%) akan melaporkan KDRT yang menimpa diri sendiri, anggota keluarga inti perempuan, teman, maupun tetangga. Pelaporan ini sebagian besar informal, pada keluarga sendiri (70%), keluarga korban (59%), perangkat desa (57%), dan tetangga (33%). Upaya rekonsiliasi melalui internal keluarga dengan melibatkan orang tua atau orang yang dituakan di dalam keluarga untuk menjadi mediator merupakan sikap yang lazim dilakukan perempuan miskin dalam menyelesaikan kasus KDRT.

Hanya sedikit responden yang menyebutkan akan melaporkan kasus KDRT kepada layanan pengaduan dan penegakan hukum bagi korban kekerasan, seperti polisi dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), yakni masing-masing 22% dan 10%.

Rendahnya minat perempuan miskin untuk melaporkan KDRT kepada penyedia layanan formal bertolak belakang dengan ketersediaan layanan formal bagi korban di wilayah studi kami. Layanan penegakan/bantuan hukum berupa Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) tersedia pada empat dari lima kepolisian resor kabupaten studi. Pelaporan kasus KDRT dapat dilakukan melalui petugas polisi yang bertugas di setiap kecamatan atau desa, serta melalui P2TP2A yang tersedia pada semua kabupaten studi.

Pada dua desa studi di Timor Tengah Selatan, terdapat sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) Sanggar Suara Perempuan yang mendampingi korban kekerasan terhadap perempuan. Beberapa LSM di wilayah studi lain, seperti ‘Aisyiyah di Pangkajene dan Kepulauan dan Cilacap, PEKKA di Kubu Raya, dan BITRA di Deli Serdang memberikan layanan edukasi kepada perempuan miskin mengenai bagaimana kasus KDRT seharusnya ditangani.

Selain itu, tiga desa studi di Timor Tengah Selatan memiliki peraturan desa yang digunakan untuk penyelesaian kasus KDRT, dua diantaranya khusus mengatur perlindungan terhadap perempuan.

Mengapa tidak melapor ke pihak berwenang?

Pelaporan kasus KDRT secara formal dapat memberi korban akses ke layanan perlindungan, layanan kesehatan dan rehabilitasi sosial, serta penegakan hukum bagi pelaku. Pada tingkat kabupaten misalnya, terdapat P2TP2A yang secara kelembagaan didesain sebagai instansi yang memberikan layanan pengaduan/pelaporan bagi perempuan dan anak korban kekerasan, sekaligus pendampingan atau konsultasi hukum, penanganan medis, psikologis, bantuan pemulihan berupa rehabilitasi dan bantuan pemberdayaan ekonomi bagi korban.

Hal ini dilakukan melalui jejaring kemitraan P2TP2A dengan berbagai pihak, seperti rumah sakit rujukan, UPPA kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan LSM perlindungan perempuan.

Namun banyak hal menjadi kendala bagi perempuan miskin untuk melaporkan KDRT kepada pihak berwenang. Ada pandangan di masyarakat yang menganggap KDRT merupakan masalah pribadi, sehingga tabu untuk diperkarakan. Perempuan miskin juga memiliki keterbatasan pengetahuan mengenai layanan pelaporan dan perlindungan korban KDRT, terutama yang tersedia di luar desa.

Di sisi lain, lembaga penyedia layanan juga memiliki keterbatasan jumlah dan sumber daya manusia terlatih serta anggaran maupun fasilitas operasional untuk menyebarkan informasi ketersediaan layanan dan memperluas jangkauan layanan hingga ke desa dan rumah tangga. Sebagai contoh, sampai dengan pengumpulan data (November 2017), P2TP2A di Kubu Raya belum memiliki rumah aman untuk perlindungan perempuan sehingga korban akan dirujuk ke P2TP2A propinsi. Selain itu, studi kami menemukan belum semua tenaga kesehatan di wilayah studi memiliki kemampuan tata laksana penanganan korban kekerasan terhadap perempuan. Sementara pada layanan kepolisian, temuan kami di Timor Tengah Selatan menunjukkan bahwa polisi wanita belum tersedia di tingkat kecamatan studi. Padahal hasil temuan pada beberapa kasus menunjukkan bahwa perempuan yang menjadi korban kekerasan akan lebih terbuka apabila ditangani oleh sesama perempuan.

Diseminasi informasi oleh berbagai lembaga mengenai ketersediaan layanan bagi korban KDRT seringkali terbatas, hanya pada perangkat desa dan perwakilan perempuan di desa. Mereka berharap informasi tersebut akan diteruskan kepada masyarakat. Pada kenyataannya harapan tersebut tidak selalu berjalan secara optimal akibat rendahnya kesadaran serta lemahnya pengawasan.

Perempuan miskin juga terhambat faktor biaya ketika ingin melaporkan KDRT. Lembaga penyedia layanan seringkali berada di kecamatan bahkan di pusat kabupaten. Ini mengharuskan perempuan miskin mengeluarkan biaya transportasi yang tidak sedikit untuk mencapainya. Sebagai contoh, pada desa studi di NTT, diperlukan biaya Rp200.000 pulang pergi untuk transportasi ojek sepeda motor menuju kantor polisi di kecamatan.

Beberapa desa studi di NTT juga menerapkan biaya administrasi atau praktik pemberian okomama untuk pelaporan kasus KDRT kepada perangkat desa. Biaya administrasi berkisar antara Rp25.000–Rp10.000 per pelaporan. Okomama berupa hantaran untuk pemuka adat bentuknya bisa berupa babi, beras dan lain-lain untuk musyawarah penyelesaian kasus. Biaya-biaya tersebut dirasa cukup memberatkan khususnya jika pelaku KDRT merupakan pencari nafkah utama dalam keluarga dan istri yang menjadi korban KDRT tidak memiliki pendapatan mandiri.

Implikasinya, perempuan miskin memilih untuk melaporkan KDRT hanya kepada keluarga atau orang terdekat karena khawatir akan mengalami kesulitan ekonomi yang justru akan menambah berat beban hidup mereka.

Mekanisme rujukan berbasis komunitas

Beragam layanan pelaporan sekaligus perlindungan bagi korban KDRT perlu lebih didekatkan ke masyarakat. Ini akan meningkatkan akses perempuan miskin dan sekaligus mengatasi persoalan keterbatasan jangkauan layanan.

Mekanisme rujukan berbasis komunitas, yaitu melibatkan masyarakat dalam penanganan kasus KDRT dapat menjadi alternatif. Bentuknya dapat berupa perekrutan kader atau pendamping dari kalangan masyarakat yang peduli akan persoalan KDRT dan berada di akar rumput, yaitu tingkat rukun tetangga/rukun warga/dusun/desa.

Lembaga seperti P2TP2A, LSM, UPPA kepolisian maupun pemerintah desa setempat perlu memberikan pelatihan kepada para pendamping komunitas. Mereka perlu dilatih agar mampu bekerja sama seperti dengan aparat kepolisian, tenaga kesehatan, dan lain-lain dalam menjadi bagian dari solusi untuk permasalahan KDRT.

Mereka akan berperan sebagai penerima laporan yang mudah dijangkau dan menjangkau perempuan di sekitarnya, menjadi pendamping korban KDRT untuk mendapatkan layanan sesuai kebutuhannya, memberikan edukasi terkait pengetahuan dan penanganan KDRT yang tepat kepada masyarakat dan terutama perempuan miskin dengan aneka keterbatasannya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now