Menu Close

Mengenal ‘bisnis’ ekstraksi data yang dilakukan Bjorka dan siapa yang diuntungkan secara ekonomi

Pemindai sidik jari. Freepik, CC BY

Tindakan peretasan dan pencurian data yang dilakukan oleh akun Bjorka tidak hanya memantik kesadaran tentang keamanan data secara kolektif, tapi juga membuka pandangan kita tentang ekstraksi data dan nilai ekonomi data tersebut.

Ekstraksi data dapat diartikan sebagai proses pengambilan data dari sumbernya. Prosesnya biasanya mencakup pengambilan data, pemuatan dan penarikan data, manipulasi data, dan memuatnya kembali ke database yang sama maupun yang berbeda.

Bjorka, misalnya, melakukan ekstraksi data dari berbagai sumber database pemerintah, seperti dari database Komisi Pemilihan Umum (KPU) berupa 105 juta data pribadi pemilih, serta 1,3 miliar data yang berasal dari registrasi sim card untuk dijual pada situs Breached.to.

Namun, apa yang dilakukan oleh Bjorka jelas adalah tindakan ekstraksi data secara ilegal. Sadar atau tidak, aktivitas seperti ini sudah marak dilakukan oleh sektor industri dan banyak korporasi besar guna meraup keuntungan ekonomi. Memang, tidak semuanya dilakukan secara ilegal.

Selain Bjorka, siapa lagi yang melakukan ekstraksi data dan siapa yang diuntungkan oleh ‘bisnis’ ini?

Rezim ekstraksi data, bentuk kolonialisasi baru

Ekstraksi data ini seakan menjadi bentuk baru dari barter. Kita sebagai pengguna platform media sosial, misalnya, menerima ‘kompensasi’ dalam bentuk layanan konektivitas dan penyajian informasi dari memberikan data pribadi kita.

Contohnya adalah ketika kita menginput data pribadi ketika mendaftar di suatu website untuk dapat mengakses informasi di website tersebut. Kita ‘membayar’ atau ‘menukar’ layanan dari website tersebut dengan memberikan data kita.

Para pengguna internet umumnya menganggap ini adalah barter yang adil, padahal belum tentu. Beberapa perusahaan yang menawarkan layanan gratis atau premium sebagai bentuk kompensasi pengumpulan data memang memberikan layanan yang bermanfaat. Misalnya portal data dan statistik statista.com, membatasi akses pengguna untuk mendapatkan beberapa jenis informasi tertentu, lalu dengan kebijakan persetujuan cookie (consent cookie) dan registrasi pengguna, informasi tersebut bisa diakses.

Era big data masa kini juga telah melahirkan beragam metode pengumpulan dan ekstraksi data tanpa input data pribadi yang dilakukan oleh subjek data (pengguna layanan) secara sadar, misalnya pemindai biometrik seperti mesin sidik jari (fingerprint) dan CCTV. Perangkat teknologi tersebut dapat mengenali identitas yang ada dalam tubuh kita sebagai manusia, seperti sidik jari.

Terlebih lagi, untuk bisa mendapatkan layanan, kita sebagai pengguna juga kerap kali harus tetap membayar atau berlangganan. Tanpa sadar kita telah menciptakan keuntungan ganda pada perusahaan pengekstrak data — dalam bentuk pembayaran atas layanan dan perangkat dan di saat yang bersamaan telah membantu mereka mengumpulkan data.

Perusahaan-perusahaan besar seperti Facebook, Amazon, dan Google adalah beberapa contoh pihak yang diuntungkan dalam kegiatan ekstraksi data ini. Di seluruh jaringannya di penjuru dunia, mereka mendapatkan data para pengguna platform.

Sejak awal tahun 2022 ini saja, Indonesia sudah menyumbang volume data terbesar ketiga bagi Facebook, setelah India dan Amerika Serikat (AS). Ini karena jumlah pengguna aktif internet di Indonesia mencapai 218.95 juta jiwa, tertinggi di ASEAN dan keempat tertinggi secara global.

Sebanyak 197,7 juta dari jumlah pengguna internet Indonesia tersebut merupakan pengguna aktif Facebook platform yang bisnisnya berbasis pada ekstraksi data.

Tak heran jika volume arus pertukaran data yang terjadi sangat tinggi. Kepadatan volume data pribadi yang sangat besar di Indonesia ini lah yang telah menghasilkan nilai ekonomi secara ganda baik untuk perusahaan pengekstraksi data maupun pada peretas.

Nilai data bagi sektor industri

Bagi sektor industri zaman sekarang, data adalah bahan mentah gratis yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Meski pun tidak melakukan secara ilegal, sektor industri ternyata telah lama melakukan model bisnis berbasis ekstraksi data.

Mereka biasanya mengumpulkan data pribadi secara masif, baik secara disadari (misalnya dari pendaftar akun pengguna media sosial) maupun tidak (melalui proses algoritma pemetaan preferensi pribadi) oleh pengguna layanan. Volume data yang masif dan kolektif jauh lebih tinggi nilai ekonominya dibandingkan dengan data individual karena pengolahan data secara kolektif dapat digunakan sebagai basis analisis pasar.

Mereka lalu juga menyimpan, melakukan transfer, dan mengolah data tersebut untuk keuntungan ekonomi. Data yang mereka dapat dan olah biasanya digunakan untuk memetakan kecenderungan perilaku manusia. Hasil pemetaan tersebut berfungsi untuk menciptakan produk atau jasa prediktif.

Contohnya adalah yang dilakukan @WalmartLabs, laboratorium big data dari Walmart – perusahaan AS yang mengelola jaringan toserba.

Mereka memiliki tim Fast Big Data guna mengelola data 80 juta pengunjung bulanan situs Walmart, memantau secara real-time tak kurang dari 200 aliran data internal dan eksternal serta 40 Petabyte transaksi penjualan. Ini dilakukan untuk memetakan pola konsumen dalam memilih produk.

Dari hasil ekstraksi data dan pemetaan ini, Walmart dapat menentukan produk apa yang tepat – tepat waktu dan tepat pasar – yang harus mereka produksi dan pasarkan agar menghasilkan laba yang maksimal.

Apple Watch juga salah satu contoh perusahaan yang memanfaatkan peluang ekonomi berbasis ekstraksi data. Bayangkan, jam tangan pintar (smartwatch) yang menanamkan sensor pendeteksi ini dapat mendeteksi dan melacak aktivitas penggunanya, mampu mengumpulkan informasi mengenai ritme jantung, Indeks Massa Tubuh (Body Mass Index/BMI), pelacak gula darah, tingkat kepanikan, dan sebagainya.

Apple Watch memiliki sistem elektrodiagram yang ditanam pada perangkatnya.

Peluang metode pengumpulan data kesehatan personal ini kemudian dimanfaatkan oleh perusahaan asuransi kesehatan internasional Vitality Health. Mereka melakukan pengumpulan data kesehatan individu lanjut usia (manula) secara lebih masif melalui skema subsidi Apple Watch pada para manula untuk mendeteksi potensi penyakit jantung.

Dengan demikian, Vitality Health dapat memetakan potensi penyakit secara personal, sehingga mereka bisa menawarkan layanan asuransi kesehatan dengan lebih efektif.

Melalui salah satu model bisnis ini, Apple menjadi perusahaan teknologi terbesar di dunia.

Situasi ini mengimplikasikan bahwa data pribadi yang dihasilkan oleh jutaan orang telah menjadi rantai nilai ekonomi bagi beragam sektor industri secara legal.

Di Indonesia, sektor industri dapat leluasa melakukan eksistensi data karena kita memiliki sistem politik dan landasan hukum yang melindungi hak atas kepemilikan data dan hak memperoleh keuntungan ekonomi melalui UU Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Aturan ini masih menjadi landasan bagaimana data pribadi yang diekstraksi sektor industri menjadi salah satu informasi rahasia dagang yang menjadi hak kekayaan intelektual.

Menyeimbangkan nilai ekonomi dan keamanan data

Praktik ekstraksi data yang memperkaya para perusahaan teknologi raksasa tersebut bukan tanpa kerentanan.

Jumlah Ransomware di Negara Asean.

Data ASEAN Cyberthreat Assesment (2021) menunjukkan bahwa Indonesia menempati posisi tertinggi jumlah Ransomware (malware yang disebabkan oleh serangan terhadap jaringan database atau server. Ini menyebabkan pengguna harus menebus data untuk mengaksesnya kembali) dalam lingkup ASEAN.

Proses ekstraksi data baik secara “legal” maupun ilegal mengimplikasikan bahwa subjek data telah menghasilkan volume data dengan nilai ekonomi yang tinggi. Alih-alih mendapatkan keuntungan ekonomi, yang terjadi justru keamanan data pribadi terancam oleh praktik ilegal peretasan.

Sayangnya, jika terjadi peretasan, pelanggaran, atau praktik ilegal lain yang berdampak pada keamanan data kita, perusahaan hampir selalu enggan memberikan pembayaran atau ganti rugi.

Saat ini sudah ada beragam regulasi tentang arus data sebagai upaya memberikan keamanan data pribadi, seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa dan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) di Indonesia yang baru saja disahkan.

Akan tetapi, aturan-aturan itu belum sepenuhnya menyentuh aspek distribusi ekonomi sebagai urgensi masalah.

UU PDP memang menjadi awal positif bagi upaya perlindungan data pribadi pada mekanisme ekstraksi data karena memberikan kepastian hukum bagi perlindungan data yang diekstraksi secara individual. Meski demikian, penting untuk menegakkan aturan dan sanksi yang berlandaskan atas ekstraksi data secara kolektif.

Ada dua poin yang dapat mendorong keamanan data pribadi dan, pada saat yang bersamaan, tetap dapat mempertahankan nilai ekonomi atas proses ekstraksi data itu:

Pertama, jaminan atas persetujuan pribadi (privacy consent), yang mencakup transparansi dan kesepakatan atas seluruh proses ekstraksi data, data apa yang dikumpulkan, kapan terjadi pengumpulan, kapan digunakan, untuk apa data dikumpulkan dan diolah, bagaimana metode pengumpulan dan pengolahan, apa risiko dan konsekuensi atas ekstraksi data.

Kedua, membebankan nilai ekonomi atas pengumpulan dan ekstraksi data pribadi dalam bentuk pajak data atau kompensasi pengolahan data pada pemerintah.

Dengan adanya beban biaya atas pengumpulan dan ekstraksi data, perusahaan akan lebih meningkatkan keamanan data, memapankan aspek teknologi pengamanan maupun proses bisnisnya, karena data tidak lagi menjadi bahan mentah gratis tanpa adanya beban ekonomi dalam mendapatkannya

Dengan demikian rezim ekstraksi data dapat mendorong distribusi ekonomi yang juga tetap dapat melindungi keamanan data pribadi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now