Menu Close
Pemerintah di bawah Presiden Joko “Jokowi” Widodo tampaknya benar-benar serius untuk memindahkan ibu kota Indonesia ke luar Jakarta. www.shutterstock.com

Menggugat logika pemerintah memindahkan ibu kota negara

Sejak digagas pertama kali pada era Sukarno, pemerintah di bawah Presiden Joko “Jokowi” Widodo tampaknya benar-benar serius untuk memindahkan ibu kota Indonesia ke luar Jakarta.

Keseriusan ini terlihat dalam acara seminar yang disiapkan jajaran Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Kamis kemarin. Kementerian tersebut bertugas mengkaji rencana pemindahan ibu kota ini.

Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro memastikan rencana ini akan dilaksanakan karena wacana pemindahan ibu kota negara telah dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan Visi Indonesia 2045. Presiden Jokowi pun beberapa kali terlihat mengunjungi sejumlah lokasi di Kalimantan yang disinyalir sebagai kandidat ibu kota.

Sebagai pengamat perkotaan, saya menilai rencana pemerintah kurang matang karena logika di balik dua alasan yang dipakai untuk memindahkan ibu kota ke luar Jakarta–pemerataan dan daya dukung Jakarta–masih lemah.

Imajinasi pemerataan pembangunan

Pertama, pemerintah melihat perlunya memindahkan ibu kota ke luar Jawa karena hal ini akan mendukung pemerataan pembangunan ke kawasan timur Indonesia.

Data Badan Pusat Statistik tahun 2018 menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi di Pulau Jawa menyumbang 58,48% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sementara, wilayah timur Indonesia yang mencakup Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua yang luasnya mencapai 64% dari total luas Indonesia hanya menyumbang 16,8% PDB. Situasi tersebut relatif tidak jauh berubah sejak 2010.

Namun, alasan ini menjadi bermasalah bila menganggap bisa mengatasi kesenjangan hanya dengan memindahkan ibu kota.

Dari segi penataan ruang, pemerataan pembangunan dapat diwujudkan dengan merekayasa struktur ruang. Ini dilakukan dengan mendesain sistem kota-kota dan pusat-pusat pertumbuhan sehingga menyebar ke seluruh wilayah.

Pemindahan ibu kota ke luar Jawa tidak cukup, karena pemerintah butuh mendistribusikan lebih banyak lagi pusat pertumbuhan baru dan peluang ekonomi di luar Jawa, khususnya wilayah timur Indonesia.

Sebenarnya bila ditelusuri lebih jauh, pada RPJMN 2015-2019, Pemerintahan Jokowi sudah menunjukkan itikad memeratakan pembangunan.

Beberapa kebijakan tersebut antara lain, mempercepat pembangunan lima Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan mengoptimalkan 24 kota otonom di luar Jawa. Selain itu terdapat pula 10 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan 13 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), 26 Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di lokasi perbatasan, serta 10 “Bali Baru” sebagai prioritas pengembangan pariwisata nasional.

Kita belum mengetahui bagaimana pelaksanaan kebijakan-kebijakan di atas.

Secara fundamental, Indonesia sudah menunjukkan hasil yang positif dalam mewujudkan pemerataan pembangunan dengan upaya desentralisasi, seperti misalnya dengan kebijakan otonomi daerah dan Undang-Undang (UU) Desa.

Praktik desentralisasi memang menjumpai sejumlah tantangan, misalnya kurangnya kemampuan pemerintah daerah dalam pengelolaan urbanisasi serta dalam mengidentifikasi masalah kemiskinan dan tingkat pendidikan staf dan warganya.

Namun, penelitian SMERU terkait desentralisasi menunjukkan potensi daerah dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan. Desentralisasi memungkinkan munculnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru seperti Bantaeng (Sulawesi Selatan) dan Banyuwangi (Jawa Timur).

Dalam implementasi UU Desa, studi SMERU menunjukkan sejumlah intervensi pemerintah pusat yang seringkali mendadak dan tidak mempertimbangkan keragaman konteks dan kebutuhan wilayah setempat justru menghambat desa-desa melakukan inovasi dalam hal pemberdayaan ekonomi. Salah satu contoh bentuk intervensi pemerintah pusat adalah dalam penentuan prioritas penggunaan dana desa.

Mengapa pemerintah tidak membenahi perkara-perkara ini, sebelum memutuskan untuk memindahkan ibu kota negara?

Jangan sampai pemindahan ibu kota justru mengembalikan kesan bahwa penyelesaian segala masalah hanya dapat diatasi dengan intervensi dari pusat yang bersifat sentralistik dan berlawanan dengan semangat pemerataan pembangunan.

Kontradiksi daya dukung Jakarta

Alasan kedua yang digunakan pemerintah untuk mendukung pemindahan ibu kota adalah terkait daya dukung Jakarta yang dinilai tidak mampu menciptakan penyelenggaraan pemerintah yang kondusif.

Dalam paparan Bappenas, Jakarta terus mengalami tekanan penduduk akibat urbanisasi. Jakarta menghadapi situasi rawan gempa, banjir, dan terancam mengalami kelangkaan air bersih. Kualitas air sungai di Jakarta 61% tercemar berat. Selain itu, kemacetan di Jakarta mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar Rp56 triliun per tahun.

Situasi ini membuat pemerintah ingin memindahkan ibu kota untuk mengurangi beban Jakarta. Ibu kota baru akan didesain sebagai pusat pemerintahan dan terpisah dari pusat bisnis. Konsep ini sama seperti yang dilakukan dengan Australia dengan Canberra dan Sydney, lalu Malaysia dengan Putra Jaya dan Kuala Lumpur.

Tapi perlu diketahui bahwa kegiatan pemerintahan hanya membebani Jakarta kurang dari 10%.

Lagi-lagi alasan yang dipakai kurang kuat.

Pemindahan ibu kota hanya terkesan sebagai upaya melarikan diri dari masalah penyakit kronis Jakarta yang perlu ditangani segera. Jika tidak, kegiatan di Jakarta akan lumpuh dan mengganggu perekonomian Indonesia sebab 70% perputaran uang negara terjadi di Jakarta.

Selain itu, target Kementerian PPN/Bappenas yang akan menjadikan Jakarta sebagai pusat kegiatan global jika tidak lagi menjadi ibu kota juga menggunakan logika yang kontradiktif.

Untuk menjadi kota global, sebuah kota harus menjadi tempat terselenggaranya kegiatan berskala internasional, seperti menjadi pusat bisnis keuangan, destinasi pariwisata global, tempat kantor-kantor organisasi internasional, dan lokasi perhelatan kegiatan dunia. Ini dapat ditemukan pada kota-kota dunia, seperti London di Inggris, Tokyo di Jepang, dan Paris di Prancis.

Mimpi tersebut jelas kontradiktif dengan upaya pengurangan beban di Jakarta. Ini juga bertentangan dengan upaya pemerataan pembangunan pemerintah ke luar Jawa yang digadang-gadang sebagai logika memindahkan ibu kota.

Sementara itu, ibu kota baru yang nantinya hanya menjalankan fungsi pemerintahan tidak akan efektif sebagai pusat pertumbuhan baru, sebab kota tersebut membutuhkan basis ekonomi yang kuat, seperti pusat industri atau bisnis.

Masalah transparansi data Bappenas

Kementerian PPN/Bappenas yang bertanggung jawab atas rencana ini sendiri sejak awal tidak pernah benar-benar mempublikasikan kajian pemindahan ibu kota kepada publik.

Akibatnya banyak pihak bertanya apa urgensinya memindahkan ibu kota negara. Bahkan menganggap ini sebagai upaya pengalihan isu belaka.

Sebelum ribut berdebat tentang di mana lokasi ibu kota baru yang tepat, kita harus benar-benar yakin bahwa keputusan tersebut sudah didukung oleh bukti dan analisis komprehensif mengenai implikasi-implikasinya.

Jangan sampai memindahkan ibu kota hanya menjadi bagian dari strategi tak kasat mata untuk menduplikasi penyakit kronis yang kini dihadapi Jakarta, yang meskipun lokasinya dekat dengan pemerintah pusat, tidak serta merta mampu mengatasinya.

Jangan sampai kita menunjukkan kegagalan ketika melakukan perencanaan. Bukankah, gagal merencanakan berarti merencanakan kegagalan?

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now