Menu Close
Ikan berenang di sekitar anjungan minyak di East Flower Garden Bank di Teluk Mexico, Amerika Serikat. Schmahl/Flower Garden Banks National Marine Sanctuary

Mengubah anjungan minyak menjadi wisata terumbu karang, mungkinkah?

Tampak bangunan di laut seperti besi rongsok di Pantai Karawang, Indramayu, Jawa Barat. Bangunan ini, anjungan bernama KLYB bekas milik Pertamina, seperti akan jatuh ke laut karena miring dan semakin ambles ke dasar laut.

Ada sekitar 70 anjungan minyak tua pascaproduksi di sepanjang pantai utara Pulau Jawa dan ada 530 di seluruh Indonesia dari ribuan yang masih berproduksi. Mungkinkah anjungan lepas pantai pascaproduksi ini diubah menjadi terumbu karang buatan?

Konvensi United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, Undang-Undang No. 17/2008 tentang Pelayaran dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1/2011 mewajibkan pembongkaran anjungan tersebut.

Langkah pembongkaran melibatkan, antara lain, menutup sumur tua, memotong bangunan, membongkar instalasi, memotong pipa, membersihkan dasar laut dari sisa, mengangkut potongan anjungan ke daratan, dan menyimpan besi tuanya di tempat khusus.


Baca juga: Gerak cepat demi mengamankan 50 kapal karam dari para penjarah di Asia Tenggara


KLYB adalah salah satu dari sekitar 15 anjungan pascaproduksi yang memungkinkan untuk dibongkar atau “decomission” di Indonesia selain Attaka I di Bontang, Kalimantan Timur.

Sejak 2015, pemerintah Indonesia telah menggagas “decommissioning” dan menjadikan KLYB dan Attaka I sebagai proyek pilot. Tapi keputusan ini masih harus disetujui lintas kementerian dan akan memakan waktu bertahun-tahun.

Siapa menanggung biayanya?

Perkara membongkar total, sebagian, atau tidak dibongkar sebenarnya masih menjadi perdebatan di industri minyak di dunia.

Tapi karena aturan mewajibkannya, mau tidak mau, suka atau tidak suka, anjungan mangkrak tidak bisa dibiarkan. Toh meski sudah tidak berproduksi, Indonesia tetap mengeluarkan biaya untuk menjaga anjungan rongsok tersebut.

Masalahnya, siapa yang menanggung biaya pembongkaran? Peraturan Pemerintah No. 35/2004 dan kesepakatan Production Sharing Contract (PSC) tahun 1976-1988 mengatakan semua anjungan lepas pantai adalah barang milik negara sehingga biaya pembongkarannya dibebankan pada anggaran negara (APBN). Biaya ditentukan, antara lain, oleh berat anjungan dan jarak pemindahan.

Anjungan Attaka I di Bontang, Kalimantan Timur. Anjungan ini mungkin saja dijadikan terumbu. Sofyan Permana/Kementerian Kelautan dan Perikanan, Author provided

Sebagai contoh, berat jaket baja KLYB, bagian atas anjungan, mencapai kurang lebih 130 metrik ton. Anjungan-anjungan lain misalnya Attaka I beratnya mencapai 1.500 ton ton. Perkiraan biaya pemotongan saja dapat mencapai jutaan dolar Amerika, tergantung volume dan berat.

Belum lagi transportasi membawa potongan anjungan ke pantai, pembersihan, memotongnya menajdi lebih kecil-kecil, dan biaya sewa penyimpanan, sampai proses administrasi penghapusan aset negara. Total biaya bisa membengkak sampai AS$10 - AS$17 juta untuk satu anjungan yang beratnya mencapai 1.500 ton.

Jadikan terumbu karang?

Alih-alih membongkarnya dan memindahkannya ke darat untuk dijadikan besi tua, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyarankan mengkonversi anjungan tua menjadi terumbu karang buatan, atau rig-to-reef.

Saran ini mencontoh rig to reef di Teluk Meksiko, Amerika Serikat, dan Brunei Darussalam di wilayah Laut Cina Selatan. Pada 2000, Minerals Management Service (MMS) di Amerika Serikat melaporkan hasil penelitian yang menunjukkan kepadatan ikan 20-50 kali lebih tinggi di sekitar anjungan minyak dan gas daripada di perairan terbuka.

Di Brunei Darussalam, di daerah Berakas, anjungan minyak yang dirobohkan dan dijadikan terumbu buatan merupakan kawasan wisata bahari yang ramai dikunjungi wisatawan baik dalam maupun luar negeri.

Kementerian telah mengkaji kelayakan pengalihfungsian anjungan menjadi terumbu karang, rig to reef, untuk kasus Indonesia pada 2015. Kajian melihat kelayakan rig to reef dari aspek teknologi, persepsi masyarakat sekitar anjungan, estimasi biaya, dan proses administrasinya.


Baca juga: Dilema penggunaan rumpon: kepentingan ekonomi versus konservasi tuna


Tidak bisa sembarang merobohkan

Tidak seperti program rig-to-reef di Teluk Meksiko yang dirobohkan di tempat, proses di Indonesia tidak memungkinkan dirobohkan di tempat karena letak anjungan masih di blok produksi minyak yang masih aktif. Dengan kata lain, anjungan lain di sekitarnya masih mengebor minyak dari perut bumi.

Kementerian juga menyarankan besi bekas dijadikan terumbu karang di lokasi konservasi yang bisa saja berjarak cukup jauh. Satu kemungkinan daerah konservasi untuk KLYB di Indramayu adalah kawasan konservasi di sekitar Pulau Biawak. Jarak Pulau Biawak dari KLYB sekitar 75 mil.

Perhitungan kasar kami, dengan memindahkan anjungan ke kawasan konservasi terdekat biayanya bisa berkurang 50-25% dibanding membawanya ke daratan. Biaya tergantung jarak anjungan ke tempat terumbu buatan.

Faktor yang perlu ditimbang

Faktor teknis lain yang perlu dipertimbangkan demi keberhasilan terumbu karang buatan yaitu kecepatan dan arah arus. Pertumbuhan karang pada bangunan yang terendam di laut akan membutuhkan benih karang untuk tumbuh di struktur terumbu buatan. Arus cepat tidak akan membiarkan benih karang menetap dan dengan demikian menunda pertumbuhan karang.

Sementara arah arus akan menentukan tingkat keberhasilan terumbu buatan jika struktur ditempatkan pada posisi yang tepat sehubungan dengan arah arus. Struktur harus ditempatkan dengan cara yang saat ini akan membawa benih karang struktur dan membiarkan mereka menetap untuk tumbuh.

Kesehatan ekosistem lingkungan laut merupakan faktor kunci. Sebuah terumbu karang alami yang sehat di dekat terumbu buatan akan memberikan benih kepada struktur dan akan meningkatkan karang yang sehat di masa depan. Menurut riset jarak maksimum terumbu buatan adalah 1 kilometer dari terumbu karang alami yang sehat.

Pelibatan masyarakat secara aktif sangat penting untuk menyukseskan program rig to reef. Sebelum bangunan diangkut ke lokasi terumbu buatan, masyarakat sekitar daerah tersebut lebih baik diberitahu dan diajak diskusi lebih dulu. Jangan sampai masyarakat nelayan tidak mengetahui lokasi terumbu buatan tersebut dan menjaring ikan di sekitar bangunan tersebut dan jaringnya tersangkut.

Manfaat lingkungan

Rig to reef selain memakan biaya lebih rendah juga menyumbangkan keuntungan lingkungan untuk mendukung keberlanjutan habitat karang dan komunitas ikan karang.

Meski tantangan dari segi regulasi dan biayanya cukup besar, rig-to-reef akan menguntungkan beberapa pihak seperti operator anjungan, pemerintah, dan masyarakat lokal. Mengubah anjungan rongsok menjadi terumbu karang buatan juga dapat memberi manfaat ekologi bagi kehidupan laut.


Penulis mengucapkan terimakasih kepada tim peneliti Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2015 yang terlibat dalam penelitian ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now