Menu Close
Aktivitas Bajau Lohoa yang sedang mencari ikan di perairan Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Source: Wengky Ariando)

Menjaga ‘gipsi laut’: kita butuh kebijakan khusus yang berbeda dengan masyarakat adat di daratan

Artikel kedua dalam serial “Menjaga Kelangsungan Gipsi Laut.” Artikel lainnya dapat diakses di sini

Kaum gipsi laut merupakan masyarakat adat maritim yang termasuk dalam rumpun Austronesia – nenek moyang masyarakat Indonesia di berbagai wilayah. Saat ini, ada dua kelompok yang termasuk dalam gipsi laut: Orang Suku Laut yang hidup di perairan sebelah barat tanah air, dan masyarakat Bajau yang hidup di Indonesia bagian tengah hingga timur.

Keberadaan dua kelompok ini telah memperkaya keanekaragaman genetika manusia Indonesia. Misalnya, suku Bajau sebagai ahli menyelam bebas mempunyai ukuran limpa (getah bening) yang lebih besar dari orang yang tinggal di darat. Perbedaan ini adalah hasil adaptasi yang digunakan untuk bertahan hidup.

Gipsi laut juga memiliki kekayaan adat tersendiri, misalnya alat penangkapan ikan tradisional berupa panah (Pana’) dan kacamata selam (Cerumeng) khas suku Bajau. Sedangkan Orang Suku Laut memiliki teknik tombak ikan yang disebut serampang dan perangkap ikan tradisional.

Kearifan lokal turut melingkupi kemampuan membaca bintang dan navigasi, ramalan cuaca, desain bangunan, tanggap bencana, dan konservasi perairan yang sangat bermanfaat bagi kelestarian laut dan pesisir.

Sejak 2018, kami melakukan penelitian dengan mengamati dinamika kaum gipsi laut, berbincang dengan warga setempat, dan melakukan studi berbagai dokumen. Kami menemukan kekayaan ini tengah terdegradasi dengan cepat karena persinggungan gipsi laut dengan peradaban modern. Sejumlah orang gipsi laut bahkan terlibat dalam praktik perikanan yang merusak.

Pola permukiman gipsi laut saat ini

Penelitian yang kami lakukan saat ini mengelompokan gipsi laut di Indonesia menjadi tiga berdasarkan tempat tinggalnya: 1) kelompok yang masih berpindah dan tinggal di rumah perahu 2) kelompok yang sudah menetap di suatu rumah di atas air 3) kelompok yang sudah sepenuhnya tinggal menetap di suatu daratan atau pulau-pulau kecil. Perubahan ini berimplikasi pada cara hidup, mata pencaharian, atau sistem sosial budaya mereka.

Warga gipsi laut yang masih tinggal di rumah perahu memiliki budaya maritim lebih ‘kental’ ketimbang mereka yang sudah menetap di perkampungan baik di atas air maupun yang sudah di daratan. Dibandingkan warga permukiman di atas air, gipsi laut yang tinggal di daratan mengalami degradasi kebudayaan maritim yang paling cepat.

Pola permukiman ini diperkirakan akan terus berubah sesuai dengan laju pertumbuhan populasi, dinamika di internal kelompok, maupun pengaruh dari luar. Kami menduga pola hidup ini akan cenderung bergerak ke budaya yang berorientasi darat.

Tren yang mengkhawatirkan ini harus direspons secara cepat oleh pemerintah dengan kebijakan yang memadai. Salah satu yang perlu dilakukan adalah pengakuan gipsi laut sebagai masyarakat adat khusus – yang berbeda dengan konsep masyarakat adat versi hukum positif Indonesia.

Pengakuan ini harus mempertimbangkan pola permukiman, kearifan lokal yang tersisa, dan isu lokal lainnya yang berbeda dari setiap kategorisasi kaum gipsi laut ini.

Meredam laju perubahan sosial kaum gipsi laut

Secara hukum, gipsi laut semestinya termasuk Masyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Tradisional.

Sayangnya, karena makna wilayah dan teritori adat dalam sejumlah peraturan masih berbasis darat, mereka tidak bisa diakui sebagai Masyarakat Hukum Adat.

Sementara, gipsi laut juga tak dianggap memenuhi kriteria Masyarakat Tradisional karena ruang hidup masyarakat tersebut dibatasi sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.

Bajau Lamanggau yang sedang memanah ikan di atol Tomia, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Source: Wengky Ariando)

Kita membutuhkan kebijakan yang dapat mengakomodasi keberagaman masyarakat adat. Ini juga termasuk akomodasi karakter kaum gipsi laut yang memiliki relasi ruang hidup berbeda dibandingkan kaum adat lainnya yang menetap di daratan.

Pemerintah harus memberikan akses ruang laut seluas-luasnya kepada kelompok gipsi laut yang masih tinggal di atas perahu. Ini juga termasuk jaminan tempat agar mereka bisa menambatkan perahu-perahu sesuai teritori nomadnya.

Kelompok yang sudah menetap di atas air tetap perlu dilindungi. Pemerintah dapat melindungi ruang-ruang laut lokasi mereka bermukim dan mengekpresikan sistem sosial-budayanya.

Hal lainnya adalah perlindungan kebutuhan gipsi laut terhadap sumber daya di darat, seperti tanah kuburan dan sumber air bersih. Pemerintah wajib melindungi hak gipsi laut untuk mengembangkan penghidupannya, baik di perikanan tangkap, budidaya, atau aktivitas lainnya.

Perlindungan juga turut mencakup bagi gipsi laut yang sudah ‘hijrah’ ke daratan melalui jaminan yang setara dengan masyarakat setempat untuk mengakses lahan dan sumber daya di darat.

Akses ini diperlukan karena kami menemukan beberapa kelompok gipsi laut tetap membutuhkan lahan untuk bertani atau mencari mata pencaharian berbasis sumber daya daratan lainnya.

Perkampungan Orang Suku Laut yang sudah menetap di Pulau Mensemut, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. (Source: Wengky Ariando)

Pemerintah dan DPR perlu memberikan perhatian khusus kepada kelangsungan gipsi laut melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat. RUU ini dapat menjadi sarana pengakuan kaum gipsi laut sekaligus menjaga kelestarian ekosistem laut dan pesisir berbasis masyarakat lokal.

Sebenarnya sejumlah pihak – termasuk warga gipsi laut sendiri – mengusulkan skema penerbitan sertifikat tanah sebagai salah satu cara pemerintah mengakui keberadaan mereka. Namun, usulan ini mesti dipertimbangkan masak-masak karena justru dapat berimbas pada komersialisasi aset dan perubahan paradigma dari kebudayaan maritim dalam jangka panjang.

Opsi-opsi perlindungan lainnya

Selain pemerintah di tingkat nasional, pemerintah daerah juga dapat berinisiatif melindungi kelangsungan kaum gipsi laut.

Sejauh ini, baru regulasi daerah yang menyasar gipsi laut secara spesifik, yakni Peraturan Bupati Kabupaten Lingga No. 44 Tahun 2021 tentang Pemberdayaan Masyarakat Suku Laut di Kabupaten Lingga.

Selain mengakui keberadaan Orang Suku Laut, aturan ini menjadi dasar bagi pemetaan keberadaan masyarakat, serta bekal untuk pelaksanaan program-program pemberdayaan sosial dan ekonomi.

Inisiatif ini perlu diperbanyak, terutama di daerah-daerah yang menjadi tempat bermukim Orang Suku Laut maupun suku Bajau.

Perkampungan Bajau Sampela yang sudah menetap di atas air, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Source: Wengky Ariando)

Alternatif lainnya yang bisa digunakan untuk penguatan perlindungan ini adalah dengan pendaftaran kekayaan intelektual komunal masyarakat adat pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Namun, proses ini membutuhkan inisiatif dari kaum gipsi laut itu sendiri.

Agar perlindungan kaum adat dapat sejalan dengan pelestarian ekologi perairan, pemerintah dapat menerapkan skema pengelolaan area laut berbasis lokal (Locally Managed Marine Area, atau LMMA) yang diperkuat dengan peraturan khusus untuk kelompok gipsi laut yang sudah menetap.

Dua pendekatan tersebut sebenarnya dapat menjadi bekal untuk memperkuat upaya konservasi perairan berbasis masyarakat – termasuk bagi para gipsi laut. Tujuannya untuk menguatkan rasa kepemilikan bersama dan pelibatan warga secara utuh sejak tahap perencanaan.

Selain pendekatan kebijakan, pemerintah juga dapat berinisiatif melakukan dokumentasi kearifan lokal dan pemetaan teritorial laut secara komunal. Harapannya, proses ini dapat berhilir pada pemetaan potensi-potensi pengembangan pembangunan alternatif berbasis adat.

Dengan pemetaan tersebut, pemerintah dapat berkolaborasi dengan masyarakat adat untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan sejak dalam perencanaan, pengambilan keputusan, hingga pengawasan untuk memperkuat rasa kepemilikan bersama.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now