Menu Close

Misinformasi belum tentu menyebabkan perilaku buruk, tidak ada cukup bukti tentang ini

E C BE F BFB E F D.

“Selama pengaruh surat kabar terhadap pikiran dan moral masyarakat masih mengkhawatirkan, tidak ada keraguan rasional bahwa telegraf telah menyebabkan masalah besar.”

Begitulah kata The New York Times pada tahun 1858, ketika kabel transatlantik yang menghubungkan Amerika Utara dan Eropa selesai dibangun.

Pada dekade awal kemunculannya, telegraf pernah dianggap sebagai sarana penyebaran propaganda. Beberapa pihak pun menuding mesin ini bakal memecah belah masyarakat. Sebagian mereka juga melihat telegraf dapat memutus koneksi manusia dari dunia nyata, dengan cara memperkenalkan ide-ide palsu di benak orang-orang.

Kita saat ini mungkin merasa anggapan di atas sebagai ketakutan yang tidak rasional atau kepanikan moral.

Mundurlah lebih jauh ke masa lalu. Kita akan menemukan contoh informasi meragukan turut disebarluaskan melalui teknologi masa lampau – seperti dalam bentuk tanah liat, batu, dan papirus.

Majulah lagi ke masa kini. Kita akan melihat kekhawatiran senada terhadap informasi di media sosial.

Jadi, apakah reaksi kita berlebihan? Kami mempertanyakan kembali bukti-bukti yang menunjukkan bahwa informasi yang salah menyebabkan keyakinan dan perilaku yang buruk. Kami menemukan bahwa itu masih berupa kemungkinan.

Masyarakat nampaknya kian mengkhawatirkan misinformasi. Jika kita mengetik “misinformasi” di mesin pencari akademik, kita akan mendapatkan sekitar 100 ribuan topik antara tahun 1970 dan 2015. Dalam tujuh tahun terakhir saja, ada lebih dari 150 ribu topik.

Swedia, Australia, Kanada, Inggris, Amerika Serikat, Uni Eropa, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melakukan riset intensif tentang topik ini. Penelitian tersebut berkaitan dengan pengenalan undang-undang, rancangan undang-undang, serta satuan tugas dan unit untuk memblokir penyebaran virus misinformasi.

Benang merah dari berbagai riset di atas: misinformasi merupakan masalah besar.

Mengapa temuan-temuan riset mereka senada? Ketika kami meninjau penelitian dari sejumlah disiplin ilmu yang berbeda – termasuk sosiologi, ilmu komputer, psikologi, filsafat, dan studi media – kesimpulan mengarah pada adanya evolusi internet.

Kemunculan media sosial telah mengubah konsumen yang pasif informasi (hanya menerima) menjadi produsen dan distributor aktif. Hasilnya adalah informasi yang tidak terverifikasi dan tidak terkontrol dapat meningkatkan kepercayaan pada klaim palsu.

Penelitian ini menunjukkan bahwa misinformasi dapat meningkatkan ketidakpercayaan publik pada berita di media serta pemerintah, ataupun maraknya perilaku politik nonliberal (misalnya serangan kekerasan terhadap kelompok etnis tertentu).

Selain dampak di atas, misinformasi juga mengganggu stabilitas perilaku ekonomi. Saham Pepsi, misalnya, turun sekitar 4% karena viralnya cerita palsu bahwa Kepala Eksekutif (CEO) mereka, Indra Nooyi, mengatakan kepada pendukung Trump untuk “membawa bisnis mereka ke tempat lain”.

Kendati begitu, anggapan tentang keterkaitan antara media sosial dan keresahan sosial kerap didasarkan pada asumsi, bukan bukti empiris. Asumsi-asumsi ini biasanya berbentuk rantai sebab-akibat, seperti ini: informasi yang salah → keyakinan buruk → perilaku buruk.

Sejumlah disiplin ilmu seperti filsafat dan psikologi mempertanyakan keabsahan hubungan sebab-akibat antara keyakinan dan perilaku. Pada kenyataannya, hubungan antara keyakinan dan perilaku amat dinamis. Artinya, keduanya dapat mendorong satu sama lain secara kompleks.

Hooded hacker person using smartphone in infodemic concept with digital glitch effect.
Kami sering menemukan sumber yang tidak dapat dipercaya. Shutterstock

Pada prinsipnya, masyarakat harus mampu menilai kualitas informasi dan sumbernya. Kita telah berhadapan dengan kebohongan dan ketidakakuratan informasi selama ribuan tahun. Meski terkadang pengiklan bisa menipu kita, tidak ada model yang sempurna tentang bagaimana saluran komunikasi tertentu dengan konten tertentu dapat meyakinkan orang-orang untuk bertindak dalam skala besar.

Titik buta dalam penelitian

Hanya karena banyak peneliti setuju bahwa ada infodemik yang menyebabkan penyakit masyarakat – ketidakpercayaan pada institusi, misalnya – bukan berarti akar masalahnya ditemukan ataupun buktinya aman. Dengan menggabungkan perspektif sejarah dan psikologis, kami menemukan kelemahan dalam penalaran ini.

Rantai sebab-akibat yang dijelaskan di atas mensyaratkan kita semua untuk sepakat tentang apa itu misinformasi. Definisi itu tidak berubah dari waktu ke waktu.

Namun apa jadinya jika lama-kelamaan apa yang awalnya diberi label misinformasi menjadi informasi, atau informasi menjadi misinformasi?

Tantangan Galileo tahun 1632 terhadap model astronomi geosentris yang menganggap Bumi sebagai pusat tata surya, adalah contoh klasik. Terlepas dari kenyataan bahwa dia benar, gereja Katolik tidak secara resmi mencoret vonis bidah mereka terhadap Galileo hingga tahun 1992. Jadi, selama beberapa abad, kebenaran yang disampaikan Galileo dianggap sebagai misinformasi.

Baru-baru ini ada perdebatan mengenai asal-usul virus SARS-CoV-2. Informasi bahwa virus itu dikembangkan di laboratorium pada awalnya secara luas dianggap sebagai teori konspirasi. Seiring waktu, ada pihak yang melihat informasi itu sebagai suatu hipotesis yang masuk akal .

Upaya menggolongkan suatu hal sebagai misinformasi atau bukan kian sulit karena banyak perdebatan dan ketidaksepakatan arti istilahnya maupun gagasan yang terkait: berita palsu dan disinformasi–walaupun ada beberapa usulan definisi dan karakteristik misinformasi dalam literatur ilmiah.

Karena ketiadaan kesepakatan itu, tidak ada cara yang jelas untuk menentukan peran misinformasi dalam membentuk keyakinan dan, sebaliknya, bagaimana keyakinan tersebut memengaruhi perilaku.

Titik buta kedua berkaitan dengan aksesibilitas informasi. Kemajuan teknologi tidak hanya memunculkan cara-cara baru untuk mengakses dan berbagi informasi, tapi juga memberikan peluang baru bagi jurnalis, pemerintah, dan peneliti untuk menganalisis berbagai bentuk komunikasi manusia dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Ada kesan umum adalah bahwa orang-orang di media sosial memilah-milih fakta versi mereka sendiri tentang dunia. Ini menimbulkan ketidakpercayaan terhadap berbagai institusi (berita di media, pemerintah, sains) dan membuat masyarakat terpecah.

Namun, akses lebih banyak untuk mengetahui volume komunikasi yang sangat besar antarorang di dunia maya, tak serta-merta menyebabkan penyakit masyarakat. Bisa jadi kita sebenarnya hanya mengamati bagian kecil dari jalinan komunikasi manusia, seperti yang biasanya terjadi di pasar, pub, dan saat makan malam keluarga.

Kita juga perlu membahas cara menangani misinformasi. Namun, masih belum jelas bagaimana langkah-langkah yang dirancang untuk menghambat penyebaran, katakanlah, klaim ilmiah yang menyesatkan akan berhasil. Kita memerlukan aturan untuk membatasi penelitian dan praktik yang tidak etis. Namun, jika pembatasannya berlebihan, fondasi masyarakat demokratis akan terkikis.

Sejarah mengajarkan kita bahwa penyensoran sering menjadi bumerang dan menurunkan kepercayaan masyarakat pada suatu lembaga.

Tidak ada solusi yang instan. Upaya kita mencegah maupun menangani misinformasi mesti menyeimbangkan kebebasan berekspresi dan nilai-nilai demokrasi.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now