Menu Close

Negara maju tapi kesetaraan gender rendah, ada apa dengan Korea Selatan?

Ilustrasi ketimpangan gender di tempat kerja. Freepik, CC BY

Berdasarkan Global Gender Gap Report 2022 yang diterbitkan oleh World Economic Forum, negara-negara demokrasi telah menunjukkan indikasi kemajuan dalam hal kesetaraan gender.

Yang ternyata cukup mengejutkan adalah Korea Selatan menempati urutan ke-99 dari 146 negara dalam peringkat kesenjangan gender dengan skor 0,689, naik tipis dari urutan 102 pada 2021.

Peringkat Korea ini sangat jauh di bawah negara-negara maju lainnya yang mayoritas berada di urutan 30 teratas, bahkan masih kalah dari negara-negara berkembang, seperti Indonesia (92), Nepal (96), Kamerun (97), dan Kamboja (98).

Padahal Korea Selatan dikenal sebagai negara dengan perkembangan ekonomi dan pembangunan sumber daya manusia yang sangat hebat, namun ternyata kesetaraan gendernya masih berjalan lamban.

Selain itu, walaupun mencetak pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan di Korea juga masih sangat berjarak, yakni sebesar 31,1% pada 2021. Artinya, dengan beban kerja yang sama, besaran gaji perempuan hanyalah 68,9% dari gaji laki-laki.

Berdasarkan laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2022, Korea Selatan adalah salah satu dari 39 negara dengan kesenjangan upah gender terbesar selama 26 tahun berturut-turut sejak tahun 1996.

Mengapa demikian?

Kondisi kesenjangan gender di Korea Selatan

Sejak bertransisi dari rezim otoritarian ke demokrasi pada akhir tahun 1980-an, gagasan dan komitmen Korea Selatan akan kesetaraan gender semakin menguat.

Pemerintah Korea Selatan banyak melakukan langkah perbaikan dan perubahan untuk memajukan keadilan gender, mulai dari memberikan kuota 30% bagi perempuan untuk mencalonkan diri di parlemen sejak tahun 2000, membentuk Kementeriaan Kesetaraan Gender pada 2001, memberlakukan cuti melahirkan selama 90 hari, cuti keluarga, dan pemberian insentif pengasuhan anak.

Undang-Undang Standar Ketenagakerjaan juga memberikan hak kepada pekerja perempuan yang hamil untuk mengatur sendiri jam masuk dan pulang kerja sehari-hari, dengan syarat tetap mempertahankan jumlah jam kerja yang diwajibkan.

Sejak 2013, tingkat partisipasi perempuan di level pendidikan tinggi meningkat pesat, bahkan pada tahun 2020 mencapai 71,3%, atau 5% lebih tinggi dibanding laki-laki.

Namun pada kenyataannya, masih banyak benang kusut yang membelenggu upaya pemajuan kesetaraan gender di negara tersebut.

Faktor penghambat kesetaraan gender di Korea Selatan

Dalam studi kasus kami tentang gender dalam kebijakan luar negeri di Korea Selatan, kami menemukan setidaknya ada tiga faktor utama yang menjadi tantangan bagi negara tersebut dalam menegakkan kesetaraan gender.

1. Rezim pemerintahan bisa menjadi faktor independen

Di Korea Selatan, tiap rezim pemerintahan yang berkuasa bisa menjadi faktor yang berpengaruh terhadap pemajuan kesetaraan gender.

Semenjak era demokrasi dimulai, Presiden Kim Young-Sam (1993-1997) telah meletakkan dasar kebijakan gender melalui UU Pembangunan Perempuan dan membentuk Komisi Kepresidenan Urusan Perempuan.

Komitmen penguatan kesetaraan gender ini berlanjut pada pemerintahan selanjutnya, namun tidak dilaksanakan secara konsisten.

Presiden Kim Dae Jung (1998-2003) membentuk institusi khusus Kementerian Kesetaraan Gender, memberikan kuota perempuan di parlemen, dan insentif penitipan anak.

Sementara penerusnya, Presiden Roh Moo-hyun (2003-2008), meningkatkan anggaran untuk Kementerian Kesetaraan Gender dan memulai peruntukan anggaran yang sensitif gender.

Namun, pemerintahan konservatif Lee Myung-bak (2008-2013) yang berorientasi pasar membawa kemunduran dengan memangkas anggaran Kementerian Kesetaraan Gender.

Park Geun-hye (2013-2016) menjadi presiden perempuan pertama Korea Selatan, yang diharapkan mampu memberikan warna yang lebih kuat terhadap kebijakan pro gender. Di bawah pemerintahannya, anggaran kebijakan kesetaraan gender terus meningkat, termasuk untuk subsidi penitipan anak, cuti hamil, dan pengasuhan anak.

Namun, representasi perempuan dalam jabatan publik strategis masih sangat rendah. Ini membuat Park dianggap oleh publik sebagai “presiden perempuan tanpa perempuan” karena gagal memenuhi janji kampanyenya untuk menempatkan perempuan dalam posisi-posisi penting pemerintahan. Hanya ada dua menteri perempuan dari sembilan belas anggota kabinetnya.

Situasi ini dimanfaatkan oleh Moon Jae-in dalam pemilu 2017 melalui janji kampanyenya menjadi “presiden feminis” untuk mempromosikan kebijakan kesetaraan gender.

Selama pemerintahannya, Moon menunjuk empat menteri perempuan, termasuk Kang Kyung-hwa yang menjadi Menteri Luar Negeri perempuan pertama Korea Selatan. Ini jumlah tertinggi perempuan di kabinet sepanjang sejarah negara tersebut, walaupun belum mencapai 30% keterwakilan.

Selama pemerintahan Presiden Yoon Suk-Yeol saat ini, kesetaraan gender di Korea Selatan kembali mengalami kemunduran. Hanya ada tiga menteri perempuan – Menteri Pendidikan Park Soon-ae (mengundurkan diri) Agustus lalu), Menteri Kesejahteraan Kim Seung-hee dan Menteri Keamanan Pangan dan Obat Oh Yoo-kyung.

Kebijakan pemerintah Yoon yang konservatif juga menuai banyak kritik, termasuk rencana penghapusan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga. Ia dicap sebagai “antifeminis”.

2. Politisasi isu kesetaraan gender

Isu kesetaraan gender sering dimanfaatkan politikus di Korea Selatan dalam periode pemilu hanya untuk menarik suara pemilih.

Pakar menyatakan bahwa kebijakan anti-gender yang diusung Presiden Yoon selama kampanye Pemilu 2022 telah membantu kemenangannya. Mewakili partai konservatif terbesar Korea Selatan, Partai Kekuatan Rakyat, Yoon mengklaim kebijakan Moon bias laki-laki dan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga telah “memperlakukan laki-laki sebagai penjahat (treated men as potential criminals).”

Yoon memanfaatkan kekecewaan publik, mayoritas laki-laki, yang merasa dirugikan oleh upaya kesetaraan gender pemerintah karena dianggap mengistimewakan perempuan, sementara laki-laki harus ikut wajib militer.

Dengan menjalankan wajib militer selama kurang lebih dua tahun, menurut narasumber yang kami wawancara pada Oktober 2022, laki-laki di Korea Selatan kehilangan waktu untuk mengembangkan karir dibandingkan perempuan.

Politisasi isu kesetaraan gender ini menyebabkan Presiden Yoon sangat hati-hati menangani isu-isu gender agar tidak menabrak janji kampanyenya.

3. Hambatan kultural dan struktural

Kondisi kultural dan struktural di Korea Selatan masih cenderung patriarki.

Budaya paternalistik, yang membagi gender secara diskriminatif dan struktural sehingga laki-laki lebih unggul dalam hierarki di Korea Selatan, telah membatasi upaya pemberdayaan perempuan dan partisipasi mereka di ruang publik. Pembagian peran dan tugas berdasarkan gender - antara bekerja di luar rumah dan mengerjakan urusan domestik - masih mengakar kuat pada kehidupan sosial masyarakatnya.

Contohnya, ada istilah umum bahwa istri disebut “Djip-saram” (orang yang tinggal di rumah), sementara suami disebut “Bakat-Yangban” (laki-laki berada di luar rumah).

Seorang narasumber yang kami wawancara di Seoul pada 2022 mengatakan, perempuan yang sudah menikah wajib untuk merawat mertua. Narasumber lainnya, yang merupakan anggota parlemen Korea Selatan, menyatakan bahwa budaya minum setelah pulang kerja (hoesik) menyulitkan perempuan untuk menjalankan peran domestiknya. Padahal, hoesik ini kerap menjadi momen dalam membangun hubungan pertemanan dan karier.

Perempuan Korea Selatan juga sangat rentan mengalami diskriminasi dan pelecehan di tempat kerja.

Seorang narasumber kami memberikan contoh bentuk diskriminasi yang diterima perempuan saat melamar kerja dan saat sudah bekerja – mulai dari pertanyaan tentang apakah akan hamil atau tidak, sampai tertundanya promosi jabatan bagi perempuan setelah cuti hamil.

Berbagai hambatan kultural dan struktural ini saling berkontribusi terhadap menguatnya ketidaksetaraan gender di Korea Selatan.

Apa yang bisa kita pelajari?

Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari kasus kesetaraan gender di Korea Selatan adalah bahwa sistem politik demokrasi suatu negara tidak serta merta membuat negara tersebut adil gender. Lingkungan domestik masyarakatnya berperan kuat dalam pemajuan kesetaraan gender.

Studi kasus ini menunjukkan bahwa komitmen kesetaraan gender tidak selalu konsisten dan cenderung naik turun, tergantung dari rezim pemerintahannya. Komitmen dan pilar kebijakan kesetaraan gender yang dimulai sejak awal era demokrasi oleh Presiden Kim tidak dilaksanakan secara konsisten oleh pemimpin-pemimpin selanjutnya, bahkan mengalami kemunduran selama masa Presiden Yoon.

Padahal, kesetaraan gender harus menjadi agenda setiap rezim yang berkuasa. Ini karena kesetaraan gender yang benar-benar adil dan stabil akan menguntungkan konsolidasi demokrasi dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now