tag:theconversation.com,2011:/nz/topics/hak-pekerja-43806/articleshak pekerja – The Conversation2024-02-12T13:08:19Ztag:theconversation.com,2011:article/2227482024-02-12T13:08:19Z2024-02-12T13:08:19ZApa yang gagal dilihat oleh ketiga capres-cawapres soal buruh perempuan?<p>Isu perburuhan dan perempuan belum menjadi diskursus serius bagi ketiga pasangan calon (paslon) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Meski masing-masing paslon menawarkan visi dan misinya terkait buruh dan perempuan, masih ada ruang kosong yang perlu diisi untuk menjawab tantangan diskriminasi dan ketimpangan relasi ke depannya. </p>
<p>Paslon <a href="https://mmc.tirto.id/documents/2023/10/20/1241-amin-visi-misi-program.pdf">Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar</a>, misalnya, menawarkan apa yang mereka sebut sebagai “28 Simpul Kesejahteraan” bagi kelompok buruh dan perempuan. Agenda khusus dalam visi misi mereka ini menjanjikan sistem pengupahan yang adil, bantuan pangan, perlindungan sosial, program pelatihan dan beasiswa, perlindungan bagi buruh hingga pelibatan dalam proses perumusan kebijakan. </p>
<p>Pasangan ini juga menyatakan komitmennya dalam menjamin pemenuhan hak perempuan dari segi perlindungan terhadap tindak kekerasan, mulai dari proses pencegahan hingga rehabilitasi, implementasi cuti hamil dan melahirkan bagi ibu dan ayah, serta menyediakan fasilitas pengasuhan anak yang terjangkau dan ruang laktasi di ruang publik bagi ibu menyusui.</p>
<p>Paslon <a href="https://va.medcom.id/2023/pemilu/others/PRABOWOGIBRAN_VISI_MISI.pdf">Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka</a>, mencanangkan inklusivitas dan kesejahteraan buruh secara umum dari sisi penguatan sumber daya manusia (SDM), penegakan hak asasi manusia (HAM), pemerataan ekonomi, hingga reformasi hukum.</p>
<p>Mereka berkomitmen untuk menerapkan pemutusan kebijakan yang bersifat inklusif dan berperspektif gender serta memprioritaskan upaya pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, salah satunya dari segi penegakan hukum yang berlaku. Penguatan SDM dilakukan dengan memberikan bantuan pendidikan kepada anak-anak petani, nelayan, guru, hingga buruh untuk melanjutkan pendidikan dari jenjang S1 hingga S3. </p>
<p>Sementara itu, paslon <a href="https://visimisiganjarmahfud.id/assets/docs/Visi_Misi_Ganjar_Pranowo_dan_Mahfud_MD_031123.pdf">Ganjar Pranowo-Mahfud MD</a> menawarkan ide yang sedikit berbeda. Mereka menjanjikan kesejahteraan buruh dan perempuan melalui bantuan hunian dengan mekanisme pembayaran yang mudah dan murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kesempatan dan perlindungan kerja bagi buruh, fasilitas pengasuhan anak yang terjangkau di sektor formal maupun informal hingga fasilitas cuti melahirkan bagi ibu dan suami dengan jaminan upah dan tunjangan tetap 100%. </p>
<p>Visi dan misi setiap paslon sejatinya telah mewadahi sebagian kebutuhan kelompok buruh, utamanya buruh perempuan. Lantas, apa yang kurang dari komitmen mereka?</p>
<h2>Masih ada kekosongan</h2>
<p><strong>Pertama</strong>, visi dan misi paslon Prabowo-Gibran tentang isu perburuhan dan perempuan baru sampai pada tahap normatif. Paslon ini baru pada tahap penggunaan terminologi inklusif dan berperspektif gender tanpa kepekaan untuk mewujudkannya dalam rumusan kebijakan yang konkret untuk membantu meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja perempuan.</p>
<p>Isu seperti <a href="https://www.ilo.org/global/topics/care-economy/WCMS_838653/lang--en/index.htm">fasilitas pengasuhan anak</a> maupun kebijakan cuti hamil dan melahirkan bagi ibu dan ayah masih luput dari perhatian. </p>
<p>Paslon ini juga belum mengelaborasi misi penegakan hukum untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Hal yang patut menjadi perhatian adalah mekanisme penegakan hukum seperti apa yang akan dilakukan serta bagaimana memastikan bahwa hal tersebut dapat menjunjung aspek kesetaraan gender. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, fasilitas pengasuhan anak yang ditawarkan Ganjar-Mahfud diproyeksikan akan menjangkau hingga ke level akar rumput, baik di sektor formal ataupun informal. Namun, paslon ini luput dalam meninjau kebutuhan lain yang tidak kalah penting bagi buruh perempuan, yaitu terkait <a href="https://internationalbreastfeedingjournal.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13006-022-00499-0">ruang laktasi</a> yang nyaman di ruang kerja maupun ruang publik. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, fasilitas pengasuhan anak yang digagas oleh Anies-Muhaimin baru pada level <a href="https://news.detik.com/pemilu/d-7148366/anies-janjikan-daycare-di-kantor-dan-40-hari-cuti-melahirkan-bagi-suami">perkantoran dan perusahaan</a>. Fasilitas ini belum menjangkau buruh perempuan pada sektor informal, seperti buruh pertanian, kehutanan, dan perikanan yang <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/04/21/sektor-apa-yang-paling-banyak-serap-pekerja-wanita">lebih dari 30% pekerjanya</a> adalah buruh perempuan. </p>
<p>Tak hanya itu, ketiga paslon masih belum menjamin standar kualitas dan keterjangkauan fasilitas pengasuhan anak bagi kelompok miskin. </p>
<p>Sebelumnya, peraturan standar kualitas tempat pengasuhan anak telah diatur dalam <a href="https://repositori.kemdikbud.go.id/12860/1/Permendikbud%20No.%20137%20Tahun%202014%20-%20SN-PAUD.pdf">Permendikbud No 137/2004</a>, seperti standar ruangan yang aman dan bersih untuk anak, standar kompetensi staf dan rasio penjagaan staf terhadap anak, media belajar anak yang edukatif, hingga nutrisi yang diberikan. Sayangnya, peraturan ini telah dicabut dan tidak lagi berlaku secara hukum. </p>
<p><a href="https://kumparan.com/kumparannews/kpai-20-daycare-berkualitas-tak-baik-pemerintah-harus-turun-tangan-1sNDoSucXSs/1">Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)</a> mencatat sebanyak 20% tempat pengasuhan anak memiliki kualitas tidak baik dan 6% berada pada standar kualitas sangat tidak baik. Belum lagi, <a href="https://kumparan.com/kumparannews/riset-kpai-44-persen-daycare-di-9-provinsi-tak-berizin-1sNBIs25l7d/full">44%</a> tempat pengasuhan anak tidak memiliki izin yang sah secara hukum.</p>
<p>Implikasinya, keselamatan dan kesejahteraan anak-anak tidak terjamin, sehingga dapat mengganggu proses tumbuh kembangnya. Di samping itu, ketiadaan izin yang sah akan menyebabkan minimnya pengawasan dari pihak otoritas terhadap aktivitas tempat pengasuhan anak tersebut. </p>
<p>Tempat pengasuhan anak yang terjangkau seringkali memiliki standar kualitas yang rendah. Sementara, tempat pengasuhan anak yang berkualitas baik kerap dipatok dengan harga tinggi <a href="https://www.academia.edu/26451611/Social_Policy_and_Practices_of_Childcare_Services_in_Jakarta_An_Assessment">hingga bisa mencapai Rp3.000.000 per bulannya</a>. </p>
<p>Di luar itu semua, ketiga paslon belum memiliki gambaran terkait dengan mekanisme pelaporan apabila terjadi kasus kekerasan terhadap buruh perempuan. Adanya <a href="https://theprakarsa.org/pelanggaran-hak-buruh-perkebunan-sawit-studi-kasus-di-kalimantan-barat-dan-sulawesi-tengah/">subordinasi</a>–kondisi ketika satu gender dianggap lebih baik dibanding gender lainnya-menempatkan buruh perempuan pada posisi yang sangat rentan. </p>
<p>Akibatnya, penyelesaian kasus kekerasan terhadap buruh perempuan dan pelanggaran HAM lainnya masih belum berpihak kepada korban.</p>
<h2>Secercah harapan bagi buruh perempuan</h2>
<p>Terlepas dari kekurangannya, visi dan misi ketiga paslon menjadi secercah harapan bagi titik awal upaya perlindungan dan peningkatan kesejahteraan bagi kelompok buruh perempuan. Selama ini, regulasi yang mengatur dan menjamin kesejahteraan buruh perempuan di sektor informal masih belum optimal.</p>
<p>Ini penting mengingat banyaknya buruh perempuan yang bekerja pada sektor informal dengan risiko tinggi yang kerap terlewat dari upaya perlindungan dan pemenuhan hak.</p>
<p>Sebagai contoh, <a href="https://www.unicef.org/indonesia/media/4391/file">belum adanya regulasi</a> yang mewajibkan sektor perkebunan untuk menyediakan fasilitas pengasuhan anak menyebabkan <a href="https://www.unicef.org/indonesia/media/4391/file">buruh perempuan di sektor perkebunan sawit</a> tak memiliki akses terhadap fasilitas yang berkualitas dan terjangkau. </p>
<p>Akibatnya, mereka memilih untuk menitipkan anaknya kepada keluarga atau menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada anak pertamanya. Hal ini membuat pengawasan orangtua terhadap anak menjadi tidak ideal. <a href="https://theprakarsa.org/pelanggaran-hak-buruh-perkebunan-sawit-studi-kasus-di-kalimantan-barat-dan-sulawesi-tengah/">Penelitian</a> di Sulawesi Tenggara, misalnya, menemukan adanya kasus pelecehan terhadap anak yang disebabkan kurang optimalnya penjagaan anak akibat ketiadaan fasilitas tempat pengasuhann. </p>
<p>Ketimpangan relasi antara kelompok buruh dan pemberi kerja juga memperburuk kasus-kasus pelanggaran terhadap hak-hak buruh perempuan. </p>
<p>Sebagai contoh, <a href="https://theprakarsa.org/pelanggaran-hak-buruh-perkebunan-sawit-studi-kasus-di-kalimantan-barat-dan-sulawesi-tengah/">penelitian</a> yang dilakukan oleh <a href="https://theprakarsa.org/">The PRAKARSA</a> terhadap buruh perkebunan sawit di Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah menunjukkan masih banyak praktik-praktik pelanggaran.</p>
<p>Hal ini meliputi diskriminasi berbasis gender dari segi upah serta pemenuhan hak untuk mendapatkan cuti haid, kehamilan, melahirkan, dan hak untuk memberikan ASI yang layak. Belum lagi <a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/06/16/buruh-perempuan-di-kebun-sawit-masih-rentan-alami-kekerasan-seksual">pelanggaran lainnya</a> yang masih menghantui buruh perempuan perkebunan sawit, seperti kurangnya akses terhadap perlindungan dan keselamatan kerja hingga kasus kekerasan di tempat kerja. </p>
<p>Pemimpin ke depannya harus menjadikan isu buruh perempuan dalam agenda pembangunan secara konkret, bukan hanya isu-isu politis. Mengingat, di ranah praktis, masih banyak buruh perempuan yang bekerja pada sektor berisiko tinggi yang berhak mendapat perlindungan dan pemenuhan kesejahteraan sebagai hak dasarnya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/222748/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Eka Afrina terafiliasi dengan The PRAKARSA</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Eksanti Amalia Kusuma Wardhani terafiliasi dengan The PRAKARSA. </span></em></p>Visi dan misi ketiga paslon menjadi secercah harapan bagi buruh perempuan, namun masih ada kekosongan dalam program yang mereka janjikan.Eka Afrina Djamhari, Peneliti Kebijakan Sosial, The PrakarsaEksanti Amalia Kusuma Wardhani, Junior Researcher, The PrakarsaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2164442023-12-07T03:36:37Z2023-12-07T03:36:37ZKlaim jaminan kehilangan pekerjaan di Indonesia masih seret, tiga hal ini penyebabnya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/560950/original/file-20231122-19-de0qje.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=15%2C23%2C5098%2C3734&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">shutterstock</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/phk-pemutusan-hubungan-kerja-stands-termination-1684387033">Mamat Suryadi/shutterstock</a></span></figcaption></figure><p><em>Survei Agenda Warga dari New Naratif mengundang lebih dari 1.400 orang dari seluruh Indonesia untuk menyampaikan aspirasi mereka tentang apa saja isu yang dianggap paling penting bagi masyarakat. Artikel ini merupakan kolaborasi The Conversation Indonesia dan New Naratif untuk menanggapi hasil survei tersebut.</em></p>
<hr>
<p>Dalam survei Agenda Warga yang dilakukan sepanjang tahun ini, isu soal kemiskinan dan kerentanan menjadi salah satu topik yang dianggap paling mendesak oleh para responden. Isu mengenai keamanan kerja dan jaminan sosial, misalnya, adalah bahasan yang banyak mendapat sorotan dari para responden.</p>
<p>Sejak <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/02/14/17031361/airlangga-klaim-jkp-sudah-bisa-dilakukan-sejak-1-februari-2022">1 Februari 2022</a>, pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa mengajukan klaim manfaat <a href="https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/jaminan-kehilangan-pekerjaan.html">Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)</a>. </p>
<p>Ini seakan menjadi angin segar pasca-Pandemi COVID-19, bayang-bayang resesi, dan kemelut Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang membuka mata masyarakat bahwa tak ada dari kita yang benar-benar aman dari ancaman PHK.</p>
<p>Tercatat, hingga April 2023, BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan manfaat JKP kepada <a href="https://kumparan.com/kumparanbisnis/28-ribu-orang-klaim-jaminan-kehilangan-pekerjaan-per-april-2023-total-rp-135-m-20UvyFUrDfG/full">28 ribu peserta</a>, dengan total nominal mencapai Rp135,99 miliar. </p>
<p>Sayangnya, jumlah ini masih cukup jauh dari estimasi korban PHK yang dirilis oleh Pemerintah melalui <a href="https://satudata.kemnaker.go.id/data/kumpulan-data?search=PHK%202022-2023">Kementerian Tenaga Kerja</a> (Kemenaker). Sejak <a href="https://www.liputan6.com/bisnis/read/4750566/kemnaker-72983-pekerja-kena-phk-selama-pandemi-covid-19">2021</a> hingga <a href="https://satudata.kemnaker.go.id/data/kumpulan-data/954">April 2023</a>, ada lebih dari 113 ribu orang yang diberhentikan sepihak dari pekerjaannya.</p>
<p>Dengan perbandingan tersebut, terlihat masih banyak korban PHK yang belum mendapat manfaat dari jaring pengaman ini.</p>
<p>Kami melihat ada tiga faktor yang membuat cakupan JKP masih rendah meski telah hampir dua tahun berjalan: faktor politik dan persepsi publik, faktor administrasi, dan rendahnya literasi.</p>
<p><strong>1. Faktor politik dan persepsi publik</strong></p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/560949/original/file-20231122-15-25kyz6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Jaminan kehilangan pekerjaan dan UU Ciptaker" src="https://images.theconversation.com/files/560949/original/file-20231122-15-25kyz6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/560949/original/file-20231122-15-25kyz6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=393&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/560949/original/file-20231122-15-25kyz6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=393&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/560949/original/file-20231122-15-25kyz6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=393&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/560949/original/file-20231122-15-25kyz6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=494&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/560949/original/file-20231122-15-25kyz6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=494&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/560949/original/file-20231122-15-25kyz6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=494&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Demo pekerja dan pelajar menolak UU Cipta Kerja di Jakarta pada 2020.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/jakartaindonesiaseptember-2020workers-students-demonstrate-against-labor-1829463473">Wulandari Wulandari/shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Persepsi negatif masyarakat terhadap UU Ciptaker-–kerap disebut sebagai <em>omnibus law</em>–-menjadi salah satu faktor di balik masih rendahnya klaim JKP.</p>
<p>JKP lahir dari rahim <em>omnibus law</em>, yang sejak awal diusulkan sudah mendapat <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/12/30/17580431/jalan-panjang-uu-cipta-kerja-tuai-penolakan-dinyatakan-inkonstitusional-kini?page=all#page2">penolakan dan perlawanan</a> sangat luas di akar rumput. Masyarakat menilai UU yang bertujuan menarik investasi ini mengabaikan perlindungan hak-hak pekerja, termasuk memperbesar potensi terjadinya PHK.</p>
<p>Bahkan, setelah disahkan pada 2020, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU ini <a href="https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17816">inkonstitusional bersyarat</a> pada 25 November 2021. Belum tuntas waktu perbaikan, pemerintah tiba-tiba mengeluarkan <a href="https://setkab.go.id/pemerintah-terbitkan-perppu-cipta-kerja/">Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2022</a> untuk “menggantikan” UU Ciptaker–meski nyatanya tak banyak perubahan berarti dalam aturan pengganti tersebut. </p>
<p>Rentetan kontroversi ini menjadikan penolakan publik dan pekerja terhadap UU Ciptaker <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20230502180828-4-433837/ternyata-ini-sebab-buruh-gerah-tuntut-cabut-uu-cipta-kerja">tak kunjung tuntas sampai sekarang</a>. </p>
<p>Sebagai respons terhadap kecaman publik, pemerintah mengeluarkan rentetan aturan untuk <a href="https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176377/Salinan_PP_Nomor_37_Tahun_2021.pdf">mengenalkan JKP pada 2021</a>, termasuk untuk mengatur pelaksanaan, <a href="https://jdih.kemnaker.go.id/katalog-1833-Peraturan%20Menteri.html.html#:%7E:text=Peraturan%20Menteri%20Nomor%207%20Tahun,Dalam%20Program%20Jaminan%20Kehilangan%20Pekerjaan">peserta</a>, dan <a href="https://jdih.kemnaker.go.id/asset/data_puu/2021Permenaker015.pdf">pemberian manfaat</a> program jaminan sosial ini. <a href="https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176377/Salinan_PP_Nomor_37_Tahun_2021.pdf">Peraturan Pemerintah No. 37/2021</a> terbit untuk mengatur pelaksanaan JKP.</p>
<p>Dalam konteks regulasi dan politik seperti di atas, dapat dipahami jika program JKP kemudian tidak mendapat dukungan dari Serikat Pekerja. </p>
<p>Temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2022 di Kabupaten Bekasi dan <a href="https://batamtoday.com/batam/read/176346/Dinilai-Lahir-dari-UU-Cipta-Kerja-Animo-Buruh-di-Batam-Ikuti-Progran-JKP-Sangat-Rendah">Kota Batam</a>–sebagai representasi daerah industri–memperkuat hal ini. Hampir semua serikat pekerja/buruh di wilayah penelitian menolak UU Ciptaker dan secara tegas <a href="https://www.batamnews.co.id/berita-89051-brin-buruh-di-batam-cenderung-tolak-jaminan-kehilangan-pekerjaan.html">tidak ikut melakukan sosialisasi manfaat JKP kepada anggotanya</a>. Dalam sebuah diskusi terpimpin, salah satu pimpinan serikat buruh mengatakan:</p>
<blockquote>
<p>…yang kami butuhkan adalah jaminan kepastian pekerjaan, bukan jaminan kehilangan pekerjaan! JKP justru menjadi alasan yang mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK kepada karyawannya.</p>
</blockquote>
<p>Perubahan <em>framing</em> dan relasi JKP dengan UU Ciptaker yang terlanjur buruk ini membutuhkan keberpihakan dan tindakan politik yang berani dari pemerintah dan DPR.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/dua-tahun-uu-cipta-kerja-phk-kian-mudah-kenaikan-upah-jadi-paling-rendah-193090">Dua Tahun UU Cipta Kerja: PHK kian mudah, kenaikan upah jadi paling rendah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><strong>2. Faktor administrasi</strong></p>
<p>Secara normatif, <a href="https://www.kompas.tv/ekonomi/428953/syarat-kriteria-penerima-dan-cara-klaim-jaminan-kehilangan-pekerjaan-bpjs-ketenagakerjaan">JKP dapat diterima oleh warga Indonesia yang telah terdaftar dan belum berusia 54 tahun</a>. Penerima manfaat yang bekerja di perusahaan besar dan menengah wajib menjadi peserta aktif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian (JKM) dari BPJS Ketenagakerjaan. </p>
<p>Tak hanya perusahaan besar dan menengah, pekerja mikro dan kecil juga wajib mengikuti program JKN, JKK, JHT, dan JKM. </p>
<p><a href="https://jkp.go.id/peserta">Syarat lainnya</a>, peserta harus memenuhi memiliki masa iuran paling sedikit 12 bulan dalam 24 bulan dan telah membayar iuran paling singkat 6 bulan berturut-turut sebelum terjadi PHK.</p>
<p>Dengan persyaratan administratif seperti di atas, <a href="https://theconversation.com/jaminan-kehilangan-pekerjaan-masih-melupakan-perlindungan-bagi-pekerja-informal-145835">JKP masih bias pekerja formal</a> dan hanya bisa diperoleh mereka yang pemberi kerjanya (perusahaan) tertib dan jujur dalam membayar iuran bulanan pekerjanya. Sementara itu, banyak kasus di lapangan menunjukkan <a href="https://money.kompas.com/read/2022/06/24/173700126/ini-sanksi-bagi-perusahaan-yang-tak-patuh-bayar-iuran-bpjs-ketenagakerjaan-dan">perusahaan-perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya dan menunggak iuran BPJS Ketenagakerjaan</a>. Akibatnya, karyawan perusahaan-perusahaan tersebut tidak bisa mendapatkan manfaat JKP jika diberhentikan sepihak. </p>
<p>Pekerja juga harus mengurus dan mendapatkan sendiri <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1692609/korban-phk-wajib-lapor-kemnaker-berikut-aturan-lengkap-dan-cara-klaim-jkp">surat rekomendasi dari Dinas Tenaga Kerja/Mediator Hubungan Industrial</a>. Pekerja dengan status kontrak dan mengundurkan diri (<em>resign</em>), tidak berhak mendapat JKP. Ditambah lagi, bagi yang memenuhi syarat, banyak juga yang tidak melakukan klaim JKP karena mereka memilih menunggu untuk mendapat pekerjaan atau pembaharuan kontrak kerja lainnya. </p>
<p>Tak hanya itu, pekerja yang proses PHK-nya harus menunggu keputusan Pengadilan Hubungan Industrial, kemungkinan besar sulit mendapatkan manfaat dari JKP. Sebab, proses pengadilan kerap memakan waktu lebih dari tiga bulan. Padahal, batas maksimum mengakses JKP adalah 3 bulan setelah putusan PHK oleh perusahaan. </p>
<p>Persyaratan yang bias dan administrasi yang berbelit ini membuat pekerja sulit mengakses jaring pengaman yang mereka butuhkan saat kehilangan pekerjaannya.</p>
<p><strong>3. Faktor literasi dan kesiapan teknis</strong></p>
<p>Manfaat JKP sebenarnya cukup positif, seperti <a href="https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/jaminan-kehilangan-pekerjaan.html#:%7E:text=Detail%20Manfaat%20JKP&text=Manfaat%20uang%20tunai%20diberikan%20sebesar,x%20upah%20x%203%20bulan">pemberian uang tunai selama enam bulan</a>, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. Namun, minimnya sosialisasi resmi membuat berbagai manfaat baik ini <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20211112140927-4-291096/bpjs-ketenagakerjaan-gencarkan-sosialisasi-program-jkp">belum dikenal atau diketahui oleh publik secara luas.</a>. </p>
<p>Selain itu, pelaksanaan program ini pun tampaknya kurang kesiapan. Baru manfaat uang tunai yang memiliki alur cukup jelas, baik besaran maupun mekanisme penyalurannya. Sementara itu, manfaat <a href="https://halo.jkp.go.id/support/solutions/articles/73000517170-bagaimana-cara-mengakses-manfaat-informasi-pasar-kerja-">akses informasi lapangan kerja dan pelatihan kerja</a>–-yang berada di bawah tanggung jawab Kemenaker–-masih kurang jelas prosedur, proses, dan teknisnya.</p>
<p><a href="https://halo.jkp.go.id/support/solutions/articles/73000553987-program-pelatihan-seperti-apa-yang-diselenggarakan-dalam-manfaat-pelatihan-kerja-program-jkp-">Program Pelatihan</a> yang diselenggarakan dalam JKP dapat dikelompokkan berdasarkan kluster, okupasi/jabatan, atau kualifikasi nasional dengan minimal 40 jam pelatihan (JP) atau sesuai dengan program yang telah ditetapkan Kemnaker. Pelatihan ini juga dapat diselenggarakan secara <em>online, offline,</em> atau <em>blended</em>. </p>
<p>Namun demikian, kecocokan jenis pelatihan dengan kebutuhan pekerja masih dipertanyakan. Belum ada evaluasi yang terukur dan transparan untuk melihat apakah program-program tersebut betul-betul membantu korban PHK untuk bisa kembali masuk ke lapangan kerja.</p>
<h2>Memperbaiki JKP</h2>
<p>Melihat berbagai temuan dan argumentasi di atas, kami memiliki beberapa catatan dan rekomendasi agar pelaksanaan JKP lebih efektif.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, Pemerintah perlu meringankan persyaratan penerima JKP. Persyaratan kepesertaan wajib dalam program jaminan sosial untuk pekerja mandiri atau informal sebaiknya dikurangi menjadi dua saja, misalnya JKK dan JKM. Hal ini akan meringankan beban administrasi mereka dan meningkatkan peluang bagi lebih banyak pekerja untuk mendapatkan manfaat JKP.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, anggaran dan jenis manfaat pelatihan kerja tidak boleh sama rata. Program yang ada sebaiknya menyesuaikan antara kompetensi dan keahlian individu dengan jenis pelatihan yang diikuti agar memberikan nilai tambah bagi penerima manfaat JKP. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, pekerja yang di-PHK saat mendekati usia pensiun perlu mendapatkan nilai manfaat lebih besar dibandingkan pekerja muda (<35 tahun). Sebab, ketika mendekati usia senja, kemungkinan pekerja mendapatkan pekerjaan formal semakin mengecil.</p>
<p><strong>Keempat</strong>, pemberian akses data dan informasi status penerima manfaat JKP yang lengkap kepada Dinas Ketenagakerjaan di setiap wilayah. Sejauh ini, hanya pemerintah pusat dan penerima manfaat saja yang dapat mengakses sistem atau aplikasi untuk JKP. </p>
<p><strong>Kelima</strong>, cakupan JKP perlu diperluas kepada pekerja kontrak dan pekerja yang mengundurkan diri. Pemerintah bisa mencontoh <a href="https://www.mazars.co.th/Home/Insights/COVID-19-impact/Benefits-from-the-Social-Security-Office#:%7E:text=For%20resignation%2C%20from%2030%25%20to,a%20maximum%20of%20200%20days.">Thailand</a>, yang tetap memberikan manfaat JKP bagi pekerja yang <em>resign</em>. </p>
<p>Di tengah kondisi ketenagakerjaan yang semakin rentan, JKP menjadi pengaman yang semakin penting bagi masyarakat. Dengan melakukan perbaikan di atas, maka tujuan JKP sebagai alat untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi korban PHK sekaligus membantu mereka untuk mendapatkan pekerjaan baru akan lebih efektif, tepat sasaran, dan terasa manfaatnya</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/216444/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Yanu Endar Prasetyo menerima dana dari BRIN. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Devi Asiati menerima dana dari Pemerintah.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Ngadi menerima dana dari Pemerintah </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Triyono menerima dana dari Pemerintah</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Vera Bararah Barid terafiliasi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional.</span></em></p>Di tengah kerentanan pasar tenaga kerja Indonesia, JKP seharusnya menjadi angin segar bagi para korban PHK. Sayangnya, penerimaan publik cenderung negatif dan persyaratannya bias pekerja formal.Yanu Endar Prasetyo, Researcher at Research Center for Population - BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Devi Asiati, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Ngadi, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Triyono, Peneliti Ketenagakerjaan Pusat Riset Kependudukan BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Vera Bararah Barid, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2110582023-09-05T10:04:54Z2023-09-05T10:04:54ZBagaimana neoliberalisme dan Islamisme berkaitan dengan kerentanan dan solidaritas pekerja ‘gig’<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/545208/original/file-20230829-23-bymrkz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C6000%2C3368&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/male-hands-praying-faith-religion-gods-2207590341">valentrus97/shutterstock</a></span></figcaption></figure><p><em>Transformasi global dan masifnya penggunaan internet melahirkan fenomena ekonomi gig dan menyuburkan pertumbuhan pekerja prekariat–mereka yang bekerja tanpa atau dengan kontrak fleksibel, dalam kondisi ketidakpastian, dan kerap dikaitkan dengan upah rendah dan minimnya perlindungan. Artikel ini merupakan bagian dari serial #GenerasiRentan yang khusus membahas ekonomi gig dan pekerja prekariat di Indonesia.</em></p>
<hr>
<p>Kebijakan dan ideologi neoliberal, yang mendorong perluasan kekuatan pasar sambil mengurangi peran pemerintah dalam perekonomian, berkembang dan mendominasi secara global sejak akhir 1970an. Hal ini mendorong <a href="https://www.amazon.com.au/Brief-History-Neoliberalism-David-Harvey/dp/0199283273">privatisasi terhadap layanan sosial dasar, seperti kesehatan dan pendidikan</a>, dan <a href="https://www.bloomsbury.com/au/precariat-9781849664561/">semakin fleksibelnya pasar tenaga kerja</a>.</p>
<p>Artinya, semangat individualisme dan wirausaha semakin bertumbuh–bahkan hingga mendorong pekerja untuk menerima praktik eksploitatif.</p>
<p>Di negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim, termasuk Indonesia, ketimpangan sosial ekonomi yang semakin tajam membuka ruang bagi mobilisasi kaum miskin kota di bawah panji-panji Islam. Semangat yang dikobarkan adalah perlawanan terhadap penindasan yang dialami oleh komunitas kaum yang beriman.</p>
<p>Namun demikian, narasi yang membangkitkan sentimen keagamaan semacam itu belum menghasilkan kemauan kolektif yang dapat mendorong <a href="https://www.opendemocracy.net/en/north-africa-west-asia/political-islam-in-neoliberal-times/">perlawanan efektif terhadap neoliberalisme</a>.</p>
<p>Sebaliknya, semangat ke-Islaman malah mendorong penerimaan dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip neoliberal. Beberapa studi terdahulu, misalnya, menunjukkan bahwa nilai-nilai ke-Islaman digunakan oleh <a href="https://www.cornellpress.cornell.edu/book/9780801476785/spiritual-economies/">perusahaan</a> dan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00045608.2011.627046">organisasi berbasis agama</a> untuk meningkatkan produktivitas pekerja Muslim kelas menengah.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14672715.2022.2145980?casa_token=5ziLUT40xzgAAAAA%3AEz6QN7QLvCol27R14hWABFTFTnVW4xzvp3O8ofwTg6zj173ve_oUsQq7gIAvpnrvW2f-RRKc2jcGUxE8Zw">Studi kami</a>, yang dilakukan lewat wawancara dengan pengemudi ojek daring, menyelidiki bagaimana seruan Islamis mewarnai respons terhadap meningkatnya kerentanan di Indonesia. Kami menemukan bahwa pertemuan antara ide-ide ke-Islaman dan logika neoliberal justru membuat para pekerja rentan rawan dipolitisasi lewat sentimen keagamaan.</p>
<h2>Terbentuk oleh gagasan</h2>
<p>Fokus penelitian kami adalah pada pembentukan ‘akal sehat’ (<em>common sense</em>) kelompok <a href="https://theconversation.com/ngomong-ngomong-apa-itu-pekerja-prekariat-83048">prekariat</a> perkotaan yang memengaruhi strategi dan taktik mereka dalam menyikapi marjinalisasi sosial-ekonomi. Hal ini dilakukan berdasarkan sumber daya budaya yang tersedia, misalnya berupa pemahaman terhadap agama yang dibentuk dalam konteks sejarah yang spesifik.</p>
<p>Terinspirasi pemikiran filsuf Italia <a href="https://www.amazon.com.au/Selections-Prison-Notebooks-Antonio-Gramsci/dp/071780397X">Antonio Gramsci</a>, kami mendefinisikan akal sehat sebagai seperangkat gagasan yang muncul dari pekerjaan dan kehidupan yang tidak pasti, sekaligus kondisi sosial dan sejarah yang spesifik. </p>
<p>Di Indonesia, hal ini melibatkan konflik masa lalu, utamanya peristiwa G30S/PKI yang diikuti penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI), serta tumbuhnya <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/186810341103000101">tradisi politik Islam sebagai kritik</a> bagi pemerintahan Orde Baru yang otokratis. </p>
<p>Konsekuensinya, istilah-istilah yang melekat dengan tradisi nasionalis dan Islamis lebih mudah diterima publik daripada yang berkaitan dengan liberalisme (yang fokus pada perlindungan hak dan kebebasan individu), <a href="https://www.britannica.com/topic/social-democracy">sosial demokrasi</a>, atau komunisme yang bertumpu pada gerakan buruh.</p>
<p>Ini termasuk dalam menyikapi kerentanan yang timbul praktik neoliberalisme yang semakin dalam dan luas.</p>
<h2>Ojek sebagai pengusaha mikro</h2>
<p>Kami melakukan wawancara semi-terstruktur pada April 2021 - Oktober 2022 terhadap 25 pekerja rentan yang mencari nafkah sebagai pengemudi ojek berbasis aplikasi di Jabodetabek.</p>
<p>Hasil wawancara kami menunjukkan bahwa pengemudi ojek daring menganggap diri mereka sebagai ‘pengusaha mikro’ dan menerima bahwa kesejahteraan mereka adalah tanggung jawab mereka sendiri. Salah satu pengemudi menyebut bahwa hal ini karena mereka menggunakan modal sendiri (motor) dalam bekerja.</p>
<p>Ditopang oleh klasifikasi pekerja sebagai ‘mitra’ dan bukan karyawan perusahaan transportasi daring, persepsi seperti ini membebaskan negara dan pengusaha dari tanggung jawab yang signifikan, seperti dalam menyediakan perlindungan jika pekerja mengalami kecelakaan atau sakit dan upah yang layak. </p>
<p>Di saat yang sama, digitalisasi proses kerja dalam jasa transportasi daring mempertahankan ilusi bahwa pengemudi memiliki kebebasan atas pekerjaan mereka. Gagasan bahwa pengemudi hanya dapat mengandalkan diri mereka sendiri berkesesuaian dengan prinsip individualisme dalam ideologi neoliberal.</p>
<p>Tertanamnya gagasan ini dalam diri pengemudi transportasi daring diperkuat oleh pengalaman hidup mereka keluar masuk pekerjaan tidak tetap akibat sulitnya mendapatkan pekerjaan jangka panjang yang stabil dan memberikan jaminan kesejahteraan.</p>
<h2>Islamisme dalam komunitas pengemudi transport daring</h2>
<p>Bagi Gramsci, akal sehat direproduksi melalui praktik keseharian yang dilandasi oleh pemikiran intuitif. Bagi pengemudi ojek daring yang kami wawancarai, reproduksi akal sehat terjadi antara lain lewat organisasi swadaya atau ‘komunitas’ yang dibentuk oleh pengemudi transportasi daring.</p>
<p>Lewat komunitas semacam ini, para pengemudi ojek daring mempraktikkan solidaritas kolektif dengan bahu membahu ketika terjadi kecelakaan serta dalam memberikan informasi soal jalan dan tentang proses kerja digital.</p>
<p>Namun, cara demikian justru cenderung memperkuat individualisme neoliberal di kalangan anggotanya karena mereka percaya bahwa mereka bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka sendiri dan hanya bisa berharap sedikit dari negara atau perusahaan.</p>
<p>Komunitas-komunitas tersebut juga menyelenggarakan berbagai kegiatan keagamaan, termasuk pengajian, yang memperkuat jati diri mereka sebagai anggota <em>ummah</em> (kelompok orang beriman). Hasil studi kami menunjukkan bahwa pengajian juga sekaligus berperan dalam meneguhkan moralitas pribadi anggotanya dalam bekerja dan menjalani kehidupan yang penuh ketidakpastian. </p>
<p>Ketabahan adalah salah satu tema sentral yang kerap yang dibahas dalam pengajian. Tema ini mempertemukan kerja keras dan tuntutan agama bagi individu untuk bertahan menghadapi semua ujian yang diberikan oleh Tuhan kepada orang beriman.</p>
<p>Salah satu pengemudi yang kami wawancarai, misalnya, mengatakan bahwa menghadiri kegiatan pengajian komunitas mengingatkannya untuk selalu percaya bahwa Tuhan akan menyambutnya di akhirat dengan ganjaran setimpal. Ini membantunya untuk mengelola rasa cemas ketika harus menghadapi risiko kecelakaan di jalanan setiap harinya.</p>
<p>Dengan cara ini, lagi-lagi organisasi pengemudi ojek daring memberikan wadah bagi perpaduan ajaran moral Islam dan individualisme neoliberal.</p>
<p>Beberapa komunitas pengemudi ojek daring memang telah berhasil mendorong perbaikan kondisi kerja melalui aksi protes. Komunitas semacam ini telah berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran pengemudi ojek daring soal ketidakadilan dalam relasi kerja yang mereka rasakan bersama. </p>
<p>Namun demikian, sedikit sekali dari komunitas semacam ini yang berhasil menanamkan gagasan penting bahwa para pengemudi ojek daring adalah pekerja yang memiliki hak-hak yang spesifik. Sebagian besar pengemudi transportasi daring tetap menganggap diri mereka sebagai wirausahawan mikro.</p>
<h2>Moralitas dan kecenderungan politik</h2>
<p>Aspirasi kewirausahaan mendorong pengemudi ojek daring untuk bekerja sendiri sekuat tenaga mereka sampai mengarah ke eksploitasi diri. Ini karena mereka enggan menuntut pemerintah dan perusahaan untuk mewujudkan kondisi kerja yang lebih layak. </p>
<p>Hanya sedikit sekali pengemudi ojek daring–biasanya yang mengaitkan diri mereka dengan gerakan buruh–yang berpendirian bahwa mereka harus diakui secara hukum sebagai pekerja yang dijamin hak-haknya oleh undang-undang.</p>
<p>Namun demikian, penelitian kami menunjukkan bahwa meskipun beberapa pengemudi ojek daring sudah terhubung dengan–dan bahkan menjadi anggota–serikat pekerja, mereka enggan ketika harus memosisikan diri secara konfrontatif dengan negara dan pengusaha. Mereka cenderung tunduk pada gagasan bahwa pemerintah dan mereka yang kuat secara ekonomi bertugas menjaga yang lemah.</p>
<p>Akibatnya, meskipun komunitas pengemudi transportasi daring dapat membantu anggotanya mengatasi kesulitan bekerja, mereka belum memiliki strategi perlawanan yang kuat. </p>
<p><a href="https://www.researchgate.net/profile/David-Bourchier/publication/289697083_Illiberal_Democracy_in_Indonesia_The_Ideology_of_the_Family_State/links/5c3ff87e299bf12be3cda67f/Illiberal-Democracy-in-Indonesia-The-Ideology-of-the-Family-State.pdf">Gagasan yang kental pada era Orde Baru</a> turut dilanggengkan. Sebagai contoh, permusuhan terhadap liberalisme politik dan komunisme mengilhami sikap memusuhi sistem hubungan kerja yang konfliktual, misalnya lewat pengajuan tuntutan hak pekerja.</p>
<p>Justru, yang terbangun di kalangan pengemudi transportasi daring adalah solidaritas berbasis moralitas, dipupuk melalui kegiatan sosial-keagamaan dan gotong royong. Para pengemudi melihat kegiatan seperti itu tidak ada kaitannya dengan politik.</p>
<p>Namun demikian, kegiatan semacam itu menguatkan sentimen keagamaan dan membuka pintu bagi mobilisasi politik berbasis umat oleh para elit yang bersaing dalam perebutan sumber daya ekonomi dan politik. Mobilisasi semacam ini telah dilakukan beberapa kali sejak reformasi di Indonesia, biasanya selama periode pemilihan umum.</p>
<p>Komunitas pengemudi transportasi daring, melalui kegiatan sosial-keagamaan dan gotong royong yang mereka jalankan, berpotensi membuka jalan bagi kelompok prekariat perkotaan untuk menjalin hubungan dengan para aktivis partai dan organisasi Islam. Ini misalnya terjadi dalam <a href="https://www.researchgate.net/publication/329971745_The_'Floating'_Ummah_in_the_Fall_of_'Ahok'_in_Indonesia">mobilisasi massa yang menyudutkan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama</a> dengan tuduhan menista agama Islam.</p>
<p>Hubungan kelompok prekariat dengan aktivis partai atau organisasi Islam yang terjadi dalam mobilisasi politik semacam ini cenderung bersifat <em>ad-hoc</em> dan sesaat, tidak membantu perjuangan kelompok prekariat mencapai kesejahteraan yang lebih baik.</p>
<p>Alih-alih mendorong konsolidasi agenda perlawanan dan menguatkan posisi tawar mereka dalam bernegosiasi dengan kepentingan negara dan pengusaha, sentimen keagamaan kelompok prekariat malah memosisikan mereka sebagai objek yang dimanfaatkan elit dalam mobilisasi politik berbasis identitas agama.</p>
<hr>
<p><em>Tulisan ini dikembangkan dari artikel berjudul ‘<a href="https://www.iias.asia/the-newsletter/article/how-neoliberalism-and-islamism-shape-precarity-gig-workers">How Neoliberalism and Islamism Shape the Precarity of Gig Workers</a>’ yang diterbitkan oleh <a href="https://www.iias.asia/">International Institute for Asian Studies, the Netherlands</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211058/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Agama menjadi pegangan pekerja rentan di tengah terpaan eksploitasi, di antaranya melalui komunitas satu profesi. Sayangnya, penerapannya belum bisa mendorong kondisi kerja yang lebih layakDiatyka Widya Permata Yasih, Lecturer, Department of Sociology, Universitas IndonesiaVedi Hadiz, Professor of Asian Studies, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2116782023-08-24T07:57:02Z2023-08-24T07:57:02Z‘Platform coop’: bagaimana koperasi pekerja ekonomi ‘gig’ bisa meredam dominasi perusahaan teknologi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/544487/original/file-20230824-17-ytpyme.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C9%2C6300%2C4177&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/search/gig-worker?image_type=illustration&page=4">PictMotion/shutterstock</a></span></figcaption></figure><p><em>Transformasi global dan masifnya penggunaan internet melahirkan fenomena ekonomi gig dan menyuburkan pertumbuhan pekerja prekariat–mereka yang bekerja tanpa atau dengan kontrak fleksibel, dalam kondisi ketidakpastian, dan kerap dikaitkan dengan upah rendah dan minimnya perlindungan. Artikel ini merupakan bagian dari serial <strong>#GenerasiRentan</strong> yang khusus membahas mengenai ekonomi gig dan pekerja prekariat di Indonesia.</em> </p>
<hr>
<p>Di tengah perkembangan pesat ekonomi digital, perusahaan platform seperti Gojek, Grab, dan Uber telah <a href="https://theconversation.com/dari-potensi-bubble-hingga-eksploitasi-menilik-bisnis-platform-dan-gig-economy-yang-digemari-kawula-muda-186719">mengubah lanskap pekerjaan secara drastis</a>. Namun, fenomena pertumbuhan ini juga menimbulkan <a href="https://theconversation.com/disebut-mitra-tapi-tak-ada-payung-hukumnya-pekerja-gig-economy-tidak-terproteksi-190464">banyak permasalahan</a>, termasuk meningkatnya pemutusan mitra kerja yang terjadi secara sepihak dari aplikator dan kondisi kerja yang tidak adil. </p>
<p>Ini terlihat misalnya dalam bentuk <a href="https://bisnika.hops.id/inspiratif/pr-3072145947/gojek-terapkan-strategi-konsep-gamifikasi-apa-itu">gamifikasi</a>, sistem pelevelan dalam layanan ojek daring yang mengakibatkan para pengemudi terkotak-kotak dan merusak perekonomian mereka. Pendapatan menurun drastis bagi pengemudi dengan level paling rendah. Sistem ini juga menciptakan <a href="https://projectmultatuli.org/rekayasa-gamifikasi-ojol-memaksa-mitra-bekerja-lebih-lama-giat-bikin-sengsara-level-terendah-dan-memecah-solidaritas/">persaingan antarpengemudi</a>, memecah solidaritas sosial, dan cenderung eksploitatif.</p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2213297X22000039"><em>Platform coop</em></a> atau koperasi platform adalah alternatif yang dapat menyikapi beragam permasalahan ini. </p>
<p>Pada intinya, koperasi platform menggunakan model bisnis koperasi: menggabungkan kenyamanan dan efisiensi platform daring dengan prinsip kerja sama dan kepemilikan bersama.</p>
<p>Konsep ini berbeda dari model bisnis platform yang dikendalikan oleh pemilik. Sebab, koperasi platform dimiliki oleh para pihak yang bergantung padanya, yaitu mitra dan konsumen. Ini secara otomatis membuat pengambilan keputusan penting berada di tangan mereka. </p>
<p>Merespons masalah yang membelit perkembangan bisnis platform di Indonesia, model bisnis koperasi platform bisa menjadi jawaban.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/dari-ojek-hingga-penerjemah-berapa-banyak-pekerja-ekonomi-gig-di-indonesia-dan-bagaimana-karakteristik-mereka-211056">Dari ojek hingga penerjemah: berapa banyak pekerja ekonomi gig di Indonesia dan bagaimana karakteristik mereka?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Apa kelebihan koperasi platform?</h2>
<p>Koperasi platform membawa beberapa keuntungan yang signifikan bagi para mitra. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, pendapatan yang dihasilkan oleh mitra di koperasi platform biasanya lebih tinggi daripada platform berbasis investor. </p>
<p><a href="https://participedia.net/method/6661">Up And Go</a>, sebuah koperasi platform di bidang jasa pembersih di New York, Amerika Serikat (AS), yang beroperasi sejak 2017, dapat menjadi contoh bagaimana model bisnis ini sukses menyediakan upah layak bagi mitranya.</p>
<p>Pada 2017, para pekerja mereka mengantungi rata-rata pemasukan sebesar US$22,25 (Rp343.100) per jam, lebih besar dari rata-rata upah di New York yang sebesar US$17,27 (Rp263.400) per jam. Pendapatan mereka juga US$4-5 lebih tinggi dari penyedia layanan kebersihan lain di wilayah tersebut.</p>
<p>Karena hak atas kekayaan intelektual dan merek platform dimiliki dan dikelola bersama oleh para mitra, keuntungan yang dihasilkan dari layanan pun berada di tangan para mitra. Hanya 5% dari pemasukan setiap pesanan yang masuk digunakan untuk menjaga platform, sisanya diberikan kepada mitra yang melakukan pekerjaan. Ini memungkinkan mitra untuk mempertahankan sebagian besar pendapatan yang dihasilkan.</p>
<p>Keuntungan <strong>kedua</strong> adalah proses pembuatan keputusan dan kebijakan yang lebih demokratis dan sesuai dengan kebutuhan mitra, sesuai dengan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/11/26/01000091/prinsip-prinsip-koperasi-di-indonesia">prinsip koperasi</a>. Para mitra memiliki hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan memengaruhi kebijakan platform. Ini membantu menciptakan iklim kerja yang lebih adil dan menghindari eksploitasi terhadap pekerja.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, koperasi platform mendorong <a href="https://opendocs.ids.ac.uk/opendocs/handle/20.500.12413/15218">kolaborasi antar perusahaan dan mitra</a>. Up And Go, misalnya, menyatukan beberapa koperasi untuk membentuk platform yang lebih dan mampu bersaing dengan perusahaan besar yang dimiliki oleh pemilik modal.</p>
<h2>Peluang dan skema koperasi platform di Indonesia</h2>
<p>Di Indonesia, koperasi sudah menjadi model bisnis yang dikenal sejak zaman kemerdekaan. Kuat didukung oleh <a href="https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-koperasi/">wakil presiden pertama Indonesia, Mohammad Hatta</a>, konsep koperasi tumbuh berkembang sebagai sistem ekonomi yang kerakyatan dan kekeluargaan dan diatur dalam UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasiaan.</p>
<p>Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terdapat 127.846 unit koperasi pada 2021. Meski sempat tersendat pada 2018 - 2020, jumlah koperasi <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/12/06/jumlah-koperasi-di-indonesia-kembali-meningkat-semenjak-pandemi">cenderung meningkat tiap tahunnya</a>. Mulai dari usaha simpan pinjam, usaha tani, dan koperasi pegawai–tak sulit menemukan koperasi beroperasi di berbagai daerah dan instansi.</p>
<p>Semestinya, pengenalan model koperasi dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat Indonesia karena dasar pemahaman yang telah mengakar.</p>
<p>Namun, sejauh pengamatan saya, inisiatif yang ada di Indonesia masih berada di <a href="https://icci.id/download/laporan-hasil-jajak-pendapat-tentang-merger-dan-amalgamasi-koperasi/">level kajian</a> dan pengembangan program-program inkubasi–pemberian <a href="https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/presentation/wcms_346696.pdf">pembinaan, pendampingan, dan pengembangan</a> oleh inkubator wirausaha. Ini misalnya seperti yang dilakukan oleh <a href="https://icci.id/">Indonesia Consortium for Cooperatives Innovation</a> dan <a href="https://www.linkedin.com/company/innocircle-initiative/?originalSubdomain=id">InnoCircle Initiative</a>.</p>
<p>Untuk bisa mulai menelurkan koperasi platform, para mitra bisa mengadopsi model yang sudah beroperasi di negara lain. </p>
<p>Misalnya, mengingat mayoritas pekerja platform di Indonesia banyak <a href="https://theconversation.com/dari-ojek-hingga-penerjemah-berapa-banyak-pekerja-ekonomi-gig-di-indonesia-dan-bagaimana-karakteristik-mereka-211056">berpusat di sektor transportasi daring</a>, mitra bisa memulai dengan meneladani <a href="https://drivers.coop/">Drivers.coop</a>–koperasi platform yang juga berkembang di New York. </p>
<p>Melalui Drivers.coop, para pengemudi taksi daring atau <em>ride-hailing</em> bekerja sebagai anggota koperasi yang memiliki saham atau bagian dalam platform dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam menentukan kebijakan tarif.</p>
<p>Koperasi platform tersebut menerapkan proses ‘ko-remunerasi’ yang memastikan bahwa upah lebih tinggi diberikan pada para anggota platform sesuai dengan kontribusi mereka.</p>
<h2>Apa tantangan koperasi platform?</h2>
<p>Namun, implementasi koperasi platform di Indonesia menghadapi beberapa tantangan. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, meskipun koperasi telah dikenal lama, citra koperasi sering kali tercoreng dengan <a href="http://repository.upnjatim.ac.id/4974/">masalah tata kelola dan investasi bodong yang kerap terjadi</a>. Meskipun sebenarnya masalah tersebut bukan terkait dengan model bisnisnya, hal ini dapat memengaruhi persepsi masyarakat dan mitra potensial tentang koperasi platform. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, kesadaran tentang konsep platform koperasi masih kurang di Indonesia. <a href="https://ejournal.up45.ac.id/index.php/maksipreneur/article/view/64/20">Banyak mitra</a> yang belum memahami manfaat dan potensi dari model bisnis ini. Pendidikan dan sosialisasi mengenai koperasi platform perlu ditingkatkan agar lebih banyak mitra yang tertarik untuk bergabung dan mendukung perkembangan model bisnis ini. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, regulasi yang berpihak pada platform koperasi <a href="https://www.jurnal.unugha.ac.id/index.php/wst/article/view/168/108">masih minim</a> dan belum ada peraturan yang secara spesifik mengatur model bisnis ini.</p>
<p>Sejauh ini, misalnya, koperasi <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/a/pilihan-jenis-badan-usaha-untuk-istart-up-i-lt5d9c4aac7e235/">belum menjadi pilihan</a> untuk mendirikan badan hukum usaha rintisan.</p>
<p>Jika tidak didukung dengan regulasi, koperasi platform akan sulit bersaing dengan platform-platform berbasis investasi kapital yang dengan modal lebih besar akan lebih mudah menguasai pasar. </p>
<p><strong>Keempat</strong>, struktur permodalan bisnis rintisan di Indonesia masih mengandalkan <a href="https://katadata.co.id/intan/berita/620f60e8cdfb3/venture-capital-adalah-pengertian-mekanisme-dan-jenisnya"><em>venture capital</em></a> alias bersumber dari investor kaya, perbankan atau lembaga keuangan lainnya yang menyuntikkan modal dalam jumlah besar.</p>
<p>Struktur permodalan yang bisa dipertimbangkan dengan <a href="https://purpose-economy.org/en/whats-steward-ownership/"><em>steward-ownership</em></a>. Model ini menekankan pada pemisahan pemodal dari keputusan organisasi dan penggunaan laba untuk tujuan yang sudah ditentukan, misalnya investasi dan pemeliharaan platform. </p>
<h2>Koperasi platform: sebuah urgensi</h2>
<p>Meski <a href="https://theconversation.com/dari-potensi-bubble-hingga-eksploitasi-menilik-bisnis-platform-dan-gig-economy-yang-digemari-kawula-muda-186719">digandrungi</a> dan dilihat sebagai <a href="https://theconversation.com/dari-ojek-hingga-penerjemah-berapa-banyak-pekerja-ekonomi-gig-di-indonesia-dan-bagaimana-karakteristik-mereka-211056">pekerjaan masa depan</a>, perkembangan model bisnis platform dan ekonomi gig yang pesat masih disertai segudang permasalahan. Ini misalnya terkait stabilitas bisnis dan <a href="https://theconversation.com/disebut-mitra-tapi-tak-ada-payung-hukumnya-pekerja-gig-economy-tidak-terproteksi-190464">kekosongan payung hukum hubungan kerja kemitraan</a> yang membuat para pekerjanya <a href="https://theconversation.com/mengapa-gojek-grab-hingga-maxim-perlu-memberikan-jaminan-pendapatan-dasar-bagi-para-ojol-161984">minim perlindungan dan rentan dieksploitasi</a>.</p>
<p>Keberadaan koperasi platform memiliki potensi besar sebagai alternatif penting dalam ekonomi digital Indonesia dan menjawab berbagai permasalahan sosial. Sebab, selayaknya koperasi pada umumnya, model ini menawarkan pendapatan yang lebih adil dengan dasar pembagian sisa hasil usaha (SHU) sesuai kontribusi tiap pekerja, pengambilan keputusan yang demokratis, dan kolaborasi yang memperkuat mitra. </p>
<p>Di negara yang telah lama mengakui koperasi sebagai bagian penting dalam perekonomian, adopsi model koperasi platform mestinya menjadi perkembangan yang alami.</p>
<p>Namun, untuk sepenuhnya merangkul konsep transformasi ini, kita juga harus mengatasi tantangan yang dihadapi koperasi dalam beberapa tahun terakhir. Ini termasuk membereskan citra negatif yang melekat dengan pengawasan dan pembinaan tata kelola koperasi yang mumpuni.</p>
<p>Tak hanya itu, transformasi juga membutuhkan peran pemerintah dalam menggodok kebijakan dan membantu menyiapkan ekosistem untuk struktur permodalan yang ramah bagi koperasi.</p>
<p>Dengan cara ini, ekonomi digital tak hanya berpeluang menyejahterakan masyarakat, tetapi juga membuka kesempatan untuk mendefinisikan kembali wacana seputar koperasi dan menekankan narasi yang berpusat pada solidaritas dan tindakan kolektif.</p>
<hr>
<p><em>M. Sena Luphdika, praktisi koperasi dan inisiator Gapatma Demokrasi Ekonomi, berkontribusi dalam menuliskan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211678/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Suci Lestari Yuana terafiliasi dengan Platform Coop sebagai salah satu peserta dari Platform Coop School yang berlangsung dari bulan Januari-Juli 2023 </span></em></p>Menghadapi potensi eksploitasi perusahaan teknologi, mitra dan konsumen dapat membuat platformnya sendiri. Koperasi yang menekankan pada asas sukarela dan kekeluargaan dapat menjadi alternatif.Suci Lestari Yuana, Lecturer at the Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1996032023-03-07T06:17:56Z2023-03-07T06:17:56ZDiskriminasi usia dalam lowongan pekerjaan: bagaimana ‘ageism’ merugikan pekerja, terutama pekerja kontrak dan perempuan<p>Beberapa waktu lalu, “<a href="https://www.instagram.com/corla_2/?hl=en">Bunda Corla</a>”, persona media sosial dengan lebih dari 6 juta pengikut di Instagram, memicu <a href="https://twitter.com/worksfess/status/1582587501255933952">diskusi hangat</a> soal <a href="https://twitter.com/Mozartius1/status/1619567535107772416">pembatasan usia</a> dalam lowongan pekerjaan. Para warganet membandingkan Bunda Corla yang berusia di atas 40 tahun dan masih bisa mendapat pekerjaan formal sebagai karyawan restoran cepat saji di Jerman – tempat ia kini tinggal – dengan kondisi di Indonesia. </p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1619567535107772416"}"></div></p>
<p>Di Indonesia, kebanyakan lowongan pekerjaan memberikan syarat usia dengan batas maksimal sangat muda, yakni di kisaran 30 tahun atau bahkan 25 tahun. </p>
<p>Akibatnya, orang-orang dengan usia di atas 30 tahun memiliki pilihan yang sangat terbatas dalam pasar kerja. </p>
<h2>Normalisasi diskriminasi usia di lapangan kerja</h2>
<p>Di banyak negara lain, praktik pembatasan usia dalam lowongan pekerjaan dapat dikategorikan sebagai <a href="https://www.cipd.co.uk/knowledge/fundamentals/emp-law/age-discrimination/factsheet#gref">diskriminasi berbasis usia (<em>ageism</em>)</a>. Ini terjadi ketika seseorang dirugikan secara tidak adil karena alasan, yang tidak dapat dibenarkan secara objektif, terkait dengan usianya. </p>
<p><a href="https://www.ohchr.org/sites/default/files/Documents/Issues/OlderPersons/Submissions/ILO.pdf">Berbagai negara</a> telah melarang praktik <em>ageism</em> di tempat kerja. Larangan ini didasari pemahaman bahwa usia merupakan indikator prediksi kinerja yang buruk, dan seringkali tidak berhubungan dengan kemampuan kerja. Bisa tidaknya seseorang bekerja di suatu posisi seharusnya berdasar pada kompetensi, kualifikasi, dan keterampilan yang dimiliki orang tersebut.</p>
<p>Masalahnya, di Indonesia, pembatasan usia dalam lowongan pekerjaan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Misalnya, kita sangat mudah menemui lowongan pekerjaan – bahkan yang disebarkan <a href="https://twitter.com/hashtag/LokerNaker?src=hashtag_click">Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker)</a> lewat tagar #LokerNaker di Twitter – dengan pembatasan usia maksimal bahkan semuda 25 tahun.</p>
<p>Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bahwa pemberi kerja hingga pemerintah pun memaklumkan penggunaan batasan usia dalam lowongan pekerjaan. </p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1630190763605905408"}"></div></p>
<h2><em>Ageism</em> dan pekerja kontrak</h2>
<p>Normalisasi terhadap diskriminasi berbasis usia secara umum berimbas pada seluruh angkatan kerja. Namun, pekerja-pekerja yang sedari awal berada dalam posisi lebih <a href="https://theconversation.com/ngomong-ngomong-apa-itu-pekerja-prekariat-83048">rentan (<em>precarious</em>)</a> – seperti pekerja dengan status kontrak – akan merasakan dampak yang lebih besar. </p>
<p>Pekerja kontrak memiliki keamanan kerja yang sangat rendah. Misalnya, mereka tidak pernah punya jaminan bahwa kontrak pekerjaan mereka akan terus diperpanjang. Kontrak yang habis masa berlakunya akan serta merta menyebabkan pekerja tersebut langsung kehilangan pekerjaan. </p>
<p>Bayangkan ketika pekerja habis masa kontraknya dalam usia yang tidak lagi “muda”, batasan usia dalam lowongan kerja yang beredar akan menyulitkan pekerja untuk mencari pekerjaan baru.</p>
<p>Padahal, kondisi pasar kerja Indonesia yang kian fleksibel (atau dalam konteks ini berarti rentan) selepas terbitnya <a href="https://theconversation.com/tiga-dampak-buruk-aturan-kontrak-kerja-sampai-lima-tahun-bagi-karyawan-157482">Undang-Undang (UU) Cipta Kerja</a> menyebabkan pegawai makin mudah dipekerjakan dengan kontrak tidak tetap. </p>
<h2>Pekerja perempuan kena dampak lebih</h2>
<p>Berbagai riset juga menunjukkan bahwa <em>ageism</em> cenderung berimbas <a href="https://medium.com/swlh/gendered-ageism-is-real-and-it-sucks-c96ad5d5d9f0">lebih buruk terhadap pekerja perempuan</a>. </p>
<p>Dalam konteks Indonesia, salah satu alasannya adalah karena banyaknya pekerja perempuan yang <a href="https://theconversation.com/riset-ada-kesenjangan-upah-antar-gender-di-indonesia-terutama-bagi-perempuan-di-bawah-30-tahun-129463">berhenti bekerja sementara waktu</a> saat mereka menikah, hamil, melahirkan, dan kemudian mengurus anak. Ketika para pekerja perempuan tersebut ingin <a href="https://theconversation.com/apa-yang-bisa-dilakukan-perusahaan-untuk-mengurangi-diskriminasi-terhadap-ibu-bekerja-187281">kembali ke pasar kerja</a>, usia mereka telah lewat “batasan usia” yang banyak disyaratkan oleh lowongan pekerjaan. </p>
<p>Ini bisa jadi merupakan salah satu penyebab mengapa <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/11/09/tingkat-partisipasi-angkatan-kerja-ri-terus-meningkat-dalam-3-tahun-terakhir#:%7E:text=Berdasarkan%20gender%2C%20TPAK%20laki%2Dlaki,TPAK%20perempuan%2053%2C41%25.">Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan</a> di Indonesia masih berada jauh di bawah laki-laki – hanya sebesar 53,41% dibandingkan laki-laki yang sebesar 83,87%.</p>
<p>Bahkan, jika perempuan bisa kembali bekerja sekalipun, mereka seringkali hanya bisa bekerja di sektor informal yang cenderung tidak memiliki batasan usia. Perempuan-perempuan pengemudi ojek <em>online</em> (ojol) yang <a href="https://www.qmul.ac.uk/busman/staff/phd/profiles/nabiyla-risfa-izzati.html">saya wawancarai</a>, misalnya, mengaku bekerja sebagai ojol karena usia mereka sudah tidak memungkinkan untuk mencari pekerjaan “kantoran”. Padahal, usia mereka masih di angka 30-40 tahunan. </p>
<p>Selain itu, bekerja di sektor informal tentu berdampak pada upah dan perlindungan sosial yang lebih sedikit. Akibatnya, banyak <a href="https://money.kompas.com/read/2022/07/29/210000426/angkatan-kerja-perempuan-masih-rendah-menaker--budaya-patriarki-masih-mengakar">pekerja perempuan berada dalam posisi yang lebih rentan</a> secara finansial.</p>
<h2>Pengaturan diskriminasi usia di Indonesia</h2>
<p>Apakah Indonesia memang tidak punya ketentuan mengenai diskriminasi usia? </p>
<p>Dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/43013">UU Ketenagakerjaan tahun 2003</a> memang tidak ada ketentuan yang secara eksplisit mengatur larangan adanya batas usia. Namun, dalam Pasal 5 disebutkan bahwa “<em>Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan</em>.” Di sini, tenaga kerja mengacu pada “<em>setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat</em>.”</p>
<p>Secara singkat, sepanjang seseorang masih mampu melakukan pekerjaan, negara seharusnya menjamin kesempatan yang sama untuk mereka dalam memperoleh pekerjaan. </p>
<p>Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi <a href="https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P12100_ILO_CODE:C111">Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Nomor 111</a> mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, melalui <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/45326">Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999</a>. Isi dari konvensi ini secara umum memberikan tanggung jawab bagi negara untuk memastikan bahwa tidak ada diskriminasi dalam proses rekrutmen hingga pelaksanaan hubungan kerja. </p>
<p>Ini berarti pemerintah tak punya lagi alasan untuk membiarkan <em>ageism</em> di dunia kerja – apalagi mempromosikannya lewat lowongan kerja yang disebarkan institusi negara. Aturan-aturan di atas seharusnya menjadi landasan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang secara konkrit melarang pencantuman pembatasan usia dalam lowongan pekerja tanpa adanya alasan yang jelas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/199603/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nabiyla Risfa Izzati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Praktik ‘ageism’ di tempat kerja telah dilarang di banyak negara. Usia merupakan indikator prediksi kinerja yang buruk, dan seringkali tak berkaitan dengan kemampuan kerja.Nabiyla Risfa Izzati, Lecturer of Labour Law, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1996122023-02-14T07:29:55Z2023-02-14T07:29:55ZBagaimana perusahaan teknologi gagal melindungi pekerja dan pengguna perempuan – dan apa yang harus dilakukan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/509977/original/file-20230214-22-95l74z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=2%2C5%2C1994%2C1991&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Platform media sosial tak hanya gagal melindungi pengguna perempuan, namun juga pekerjanya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.freepik.com/free-vector/cyber-bullying-concept-illustration_28569625.htm">storyset/freepik</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Mulai dari <a href="https://theconversation.com/why-elon-musks-first-week-as-twitter-owner-has-users-flocking-elsewhere-193857">labilnya</a> kebijakan Elon Musk sebagai pemilik baru Twitter, <a href="https://www.nytimes.com/2022/11/09/technology/meta-layoffs-facebook.html">keputusan Meta</a> untuk memberhentikan lebih dari 11.000 pegawainya, hingga <a href="https://www.ft.com/content/28f7e49f-09b3-407f-82f8-56683f5d0663">anjloknya saham-saham teknologi</a>, industri media sosial lagi-lagi dilanda kekacauan. Namun, di saat gelombang kejutan ini menarik banyak sekali perhatian publik, tak banyak yang membicarakan dampaknya pada perempuan. </p>
<p>Perusahaan-perusahaan besar gagal melindungi perempuan di kedua sisi layar: para pekerja mereka dan para pengguna layanan. Ini mengapa langkah-langkah yang diambil untuk <a href="https://www.theguardian.com/technology/2023/feb/04/online-safety-bill-needs-tougher-rules-on-misogyny-say-peers">mengatur perusahaan media sosial</a> harus mengikutsertakan perlindungan khusus bagi perempuan.</p>
<p>Pelecehan daring, seperti yang <a href="https://arxiv.org/abs/1902.03093">telah berulangkali dikonfirmasi oleh penelitian akademik</a> dan <a href="https://www.amnesty.org/en/latest/research/2018/03/online-violence-against-women-chapter-1-1/">kelompok sipil</a>, kerap menyasar pengguna perempuan. </p>
<p>Salah satu kebijakan Musk setelah membeli Twitter adalah untuk memperkenalkan verifikasi demi memangkas jumlah akun palsu. Akun-akun tersebut <a href="https://www.compassioninpolitics.com/three_quarters_of_those_experiencing_online_abuse_say_it_comes_from_anonymous_accounts">kerap dikutip</a> sebagai sumber utama kekerasan dalam media sosial. Namun, <a href="https://www.cleanuptheinternet.org.uk/post/what-do-elon-musk-s-blue-tick-experiments-mean-for-the-uk-s-online-safety-bill">proses otentifikasi</a> yang diperkenalkan Musk hanyalah sekadar meminta akun-akun “centang biru” untuk membayar tarif bulanan – dan kebijakan ini telah dicabut menyusul protes warga Twitter. </p>
<p>Langkah ini lebih terlihat seperti cara untuk meningkatkan pemasukan alih-alih strategi keamanan daring yang efektif. Parahnya lagi, di saat bersamaan, Musk juga mengambil tindakan kontroversial dengan <a href="https://www.euronews.com/next/2023/01/18/which-controversial-figures-has-elon-musk-reinstated-on-twitter">mengembalikan akun</a> beberapa figur terkenal yang sebelumnya diblokir karena wacana misogini. Ini termasuk <a href="https://www.theguardian.com/technology/2022/aug/06/andrew-tate-violent-misogynistic-world-of-tiktok-new-star">Andrew Tate</a>, yang mendefinisikan dirinya sendiri sebagai <em>influencer</em> “seksis”.</p>
<p>Terlepas kacaunya pendekatan kepemimpinan Musk, keputusan-keputusan ini mengindikasikan adanya tren yang merebak dalam industri sosial media, dengan konsekuensi yang luas bagi perempuan.</p>
<p>Faktanya, selama beberapa tahun terakhir, platform seperti Twitter, Facebook, YouTube, dan TikTok telah merespons derasnya tuntutan publik dengan mangadopsi pedoman yang lebih ketat terhadap <a href="https://www.epe.admin.cam.ac.uk/five-things-you-should-know-about-digital-gender-based-violence-dgbv-and-ways-curb-it">ujaran kebencian berbasis gender</a>. Namun, perubahan ini kebanyakan diterapkan lewat <a href="https://mckinneylaw.iu.edu/iiclr/pdf/vol32p97.pdf">regulasi mandiri</a> dan kemitraan sukarela dengan sektor publik. Pendekatan ini membuat perusahaan bebas untuk menarik kembali keputusannya, seperti apa yang dilakukan oleh Musk.</p>
<p>Di samping itu, menyensor figur di internet atau mempromosikan verifikasi akun tidak betul-betul mengatasi penyebab utama kekerasan dalam media sosial. Desain aktual platform dan model bisnis perusahaan memainkan peran yang lebih sentral. </p>
<p>Platform media sosial berusaha untuk menjaga kita terus berada di dunia maya demi menghasilkan data yang membawa profit dan menjaga audiens untuk bisnis iklan mereka. Mereka melakukan ini melalui algoritma yang menciptakan <a href="https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/01/08/073100182/echo-chamber-dan-filter-bubble-alasan-sulit-lepas-dari-jeratan-hoaks?page=all">ruang gema</a>. Artinya, kita akan terus melihat konten yang sama dengan apapun yang membuat kita pertama kali tertarik untuk mengkliknya. </p>
<p>Namun riset menunjukkan bahwa hal ini turut memfasilitasi <a href="https://intpolicydigest.org/how-social-media-is-fueling-divisiveness/">peredaran pesan-pesan yang “memecah belah”</a>. Sistem tersebut juga mendukung <a href="https://research-information.bris.ac.uk/en/publications/from-individual-perpetrators-to-global-mobilisation-strategies-th">penyebaran seksisme di dunia maya</a>, dan mendorong pengguna yang pernah menonton suatu konten problematis masuk ke dalam “<a href="https://www.theguardian.com/society/2022/oct/30/global-incel-culture-terrorism-misogyny-violent-action-forums">lubang hitam</a>” unggahan yang seragam.</p>
<p>Sementara platform-platform ini menjadi problematis bagi para pengguna perempuan, banyak dari perusahaan di baliknya juga gagal melindungi pekerja perempuan yang turut membangun dan mengelola jaringan media sosial.</p>
<h2>Redundansi perusahaan teknologi</h2>
<p>Bagaimana perusahaan media sosial memperlakukan karyawannya perlu dilihat dari lensa gender, apalagi mengingat bagaimana perusahaan-perusahaan ini melakukan PHK massal dan strategi pemangkasan beban lainnya sebagai reaksi terhadap <a href="https://www.businessinsider.com/economic-downturn-tech-industry-layoffs-stock-plunge-funding-slowdown-2022-6?r=US&IR=T">lesunya pasar</a>.</p>
<p>Salah satu kelompok yang paling terimbas (menurut hasil pengamatan yang saya tuliskan di <a href="https://septemberpublishing.org/product/the-threat-why-digital-capitalism-is-sexist-and-how-to-resist/">buku saya yang baru saja diterbitkan</a>) adalah <a href="https://www.theverge.com/2019/2/25/18229714/cognizant-facebook-content-moderator-interviews-trauma-working-conditions-arizona">moderator media sosial</a>. </p>
<p>Para moderator ini bertugas membersihkan platform dari konten-konten yang melanggar standar komunitas. Mereka terus menerus terpapar ujaran kebencian yang bersifat misoginis, foto-foto kekerasan seksual dan pornografi non-konsensual. <a href="https://www.washingtonpost.com/technology/2020/05/12/facebook-content-moderator-ptsd/">Staf perempuan</a> – utamanya – kerap terpicu oleh konten-konten ini. Banyak dari mereka yang kemudian <a href="https://www.theverge.com/2020/5/12/21255870/facebook-content-moderator-settlement-scola-ptsd-mental-health">kena masalah kesehatan mental</a>, termasuk depresi, kecemasan, dan sindrom stres pascatrauma.</p>
<p>Perusahaan media sosial dan subkontraktor internasional mereka (yang banyak menyuplai tenaga alihdaya) menerapkan kebijakan-kebijakan lain yang juga melanggar hak karyawan, khususnya moderator perempuan. Salah satu yang terbaru adalah <a href="https://www.theguardian.com/business/2021/mar/26/teleperformance-call-centre-staff-monitored-via-webcam-home-working-%20pelanggaran">menempatkan kamera dengan kecerdasan buatan</a> di rumah moderator yang bekerja dari jarak jauh. Langkah ini merupakan intrusi yang sangat brutal bagi perempuan, apalagi mereka sudah sering menghadapi pelecehan atau masalah keamanan di ruang publik.</p>
<p>Pelecehan daring dan perlakuan terhadap pekerja berimbas pada semua gender. Namun, ada dampak khusus yang harus ditanggung perempuan dari kekerasan di media sosial. Sebuah <a href="https://onlineviolencewomen.eiu.com/">studi dari The Economist</a> menunjukkan bahwa ketakutan terhadap adanya agresi baru mendorong sembilan dari 10 korban yang disurvei mengubah habit dunia maya mereka – 7% bahkan keluar dari pekerjaannya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Woman looks at laptop; home in background; remote working." src="https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Moderator menghapus unggahan yang melanggar standar komunitas di media sosial sehingga sering terpapar konten yang mengganggu (<em>disturbing</em>).</span>
<span class="attribution"><span class="source">fizkes/Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Solusi spesifik untuk kebencian di dunia maya</h2>
<p>Seperti layaknya pekerja perempuan dan pengguna yang menghadapi isu-isu spesifik akibat kebijakan – atau tidak adanya kebijakan – media sosial, intervensi untuk meningkatkan keamanan dan kesejahteraan mereka pun juga harus spesifik.</p>
<p>Buku saya membahas bagaimana kapitalis digital – termasuk tetapi tidak terbatas pada perusahaan media sosial – mengecewakan pengguna dan pekerja perempuan, dan <a href="https://gen-pol.org/2019/11/when-technology%20-memenuhi-misogyny-multi-level-intersectional-solutions-to-digital-gender-based-violence/">bagaimana cara mengatasinya</a>. Di antara perubahan yang saya sarankan adalah intervensi untuk membuat platform lebih bertanggung jawab.</p>
<p><a href="https://bills.parliament.uk/bills/3137">Rancangan Undang-Undang Keamanan Daring</a> di Inggris, misalnya, dirancang untuk memberi regulator otoritas untuk mendenda atau menuntut perusahaan yang lalai menghapus konten-konten berbahaya (<em>harmful</em>). Namun, penting bagi perubahan kebijakan di area ini untuk mengidentifikasi perempuan sebagai kategori pengguna yang dilindungi, dan rancangan undang-undang ini <a href="https://demos.co.uk/blog/the-online-safety-bill-will-it-protect-women-online/">masih belum mempertimbangkan hal tersebut</a>. Komitmen transparansi terkait algoritma dan regulasi platform seputar bisnis penambangan data juga dapat membantu, tetapi sejauh ini belum – atau belum sepenuhnya – terintegrasi ke sebagian besar undang-undang nasional dan internasional.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/panel-ahli-uu-perlindungan-data-pribadi-rentan-makan-korban-dan-belum-jamin-proteksi-data-yang-kuat-191018">Panel ahli: UU Perlindungan Data Pribadi rentan makan korban dan belum jamin proteksi data yang kuat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Dan karena pekerja juga harus mendapatkan perlindungan yang sama besarnya dengan pengguna, penting untuk memastikan bahwa <a href="https://www.wired.co.uk/article/facebook-content-moderators-ireland">mereka bisa berserikat</a> dan harus ada dorongan bagi para pemberi kerja untuk menghormati kewajiban mereka memerhatikan tenaga kerjanya. Ini misalnya termasuk melarang pengawasan yang invasif di tempat kerja.</p>
<p>Satu solusi terkait pengguna dan pekerja perempuan: sudah waktunya bagi raksasa media sosial untuk menerapkan strategi-strategi spesifik untuk melindungi perempuan di kedua sisi layar.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/199612/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lilia Giugni berafiliasi dengan GenPol - Gender & Policy Insights, wadah pemikir feminis yang berbasis di Inggris, dan dengan Royal Society of Arts.</span></em></p>Perempuan membutuhkan perlindungan yang lebih baik dari kebencian online dan misogini, baik saat menggunakan media sosial maupun saat bekerja di perusahaan teknologi.Lilia Giugni, Assistant professor, University of BristolLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1972712023-02-06T08:18:04Z2023-02-06T08:18:04ZBerhentilah berpikir bahwa pengangguran hanya akibat pendidikan atau keahlian rendah – ini adalah masalah struktural<p>“<em>10 keahlian yang dibutuhkan lapangan kerja, mari pelajari!</em>”</p>
<p>“<em>Tingkatkan kemampuan demi karir cemerlang!</em>”</p>
<p><em>“Sukses di tempat kerja ada di tangan Anda!”</em></p>
<p>Pelamar kerja atau lulusan baru pasti sering disodorkan jargon seperti itu agar bisa meraih karier impian dan menghindari pengangguran.</p>
<p>Selain faktor pandemi, banyak pihak termasuk praktisi dan masyarakat percaya bahwa penyebab utama pengangguran adalah apa yang disebut dengan “<a href="https://www.ilo.org/skills/Whatsnew/WCMS_740388/lang--en/index.htm"><em>skills mismatch</em></a>”. Ini diartikan sebagai ketidakcocokan keahlian dari para pelamar kerja – baik dianggap kurang ahli atau punya keahlian yang beda dengan kebutuhan pasar kerja.</p>
<p>Narasi <em>skills mismatch</em>, atau beberapa orang memakai istilah <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10775-022-09550-2">“<em>employability</em>”</a> (potensi pelamar untuk direkrut), kini <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0738059321000341">makin gencar</a> digunakan di negara berkembang maupun negara maju untuk menjelaskan isu pengangguran. Lembaga internasional seperti Bank Dunia atau Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) bahkan rajin menggaungkan konsep ini.</p>
<p>Meski mengasah keahlian adalah hal yang bermanfaat, dan meski <em>skills mismatch</em> terdengar masuk akal – bahwa banyaknya pekerja yang belum memiliki keahlian yang tepat membuat angka rekrutmen menjadi rendah – konsep tersebut tidak sepenuhnya dapat menjelaskan isu pengangguran.</p>
<p>Pada Agustus 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20221107114840-4-385639/total-pengangguran-di-indonesia-naik-jadi-842-juta-orang">pengangguran</a> di Indonesia mencapai 8,42 juta orang. Angka ini bertambah sekitar 200 ribu orang dari enam bulan sebelumnya.</p>
<p>Tapi menariknya, angka tersebut didominasi <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20220509143648-4-337485/pengangguran-terbanyak-ri-ternyata-lulusan-smk">lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)</a> – yang harusnya telah dibekali keahlian vokasi khusus untuk dunia kerja.</p>
<p>Alih-alih menjelaskan, narasi tunggal <em>skills mismatch</em> ini berpotensi menempatkan pelamar kerja, khususnya mereka dari kelompok miskin dan marginal, dalam posisi yang semakin rentan dan terus menuai stigma. Di sisi lain, praktik-praktik buruk perusahaan justru terus dinormalisasi.</p>
<h2>‘Keahlian rendah’ sebagai kambing hitam pengangguran: mengapa ini mitos</h2>
<p><strong>Pertama</strong>, <em>skills mismatch</em> cenderung <a href="https://rgs-ibg.onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/area.12222">mengindividualiasi isu pengangguran</a>. Artinya, pengangguran seolah terjadi semata karena pelamar kerja dianggap tidak memiliki kemampuan sesuai lapangan kerja – bukan karena terbatasnya lapangan kerja layak.</p>
<p>Dalam narasi ini, jika lowongan kerja terbatas, individu kemudian dituntut berwirausaha.</p>
<p>Di Indonesia, baru-baru ini, banyak perusahaan ramai melakukan <a href="https://money.kompas.com/read/2022/12/10/070000726/daftar-phk-massal-startup-bertambah-panjang-kini-ada-19-perusahaan-sepanjang?page=all">pemutusan hubungan kerja (PHK)</a> karyawannya. Banyak <em>start-up</em> yang digadang-gadang menjadi bentuk inovasi ekonomi untuk membuka lapangan kerja baru, justru terjebak tekanan finansial. PHK yang terjadi baru-baru ini <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20221216065943-4-397395/deretan-perusahaan-bakal-phk-massal-2023-ada-tempat-kerjamu">diprediksi</a> terus terjadi pada tahun 2023. </p>
<p>Sayangnya, meskipun PHK merupakan hal umum di Indonesia, termasuk selama pandemi, narasi <em>skills mismatch</em> tetap dominan dalam bahasan pengangguran. Narasi tersebut bahkan bisa menjustifikasi keputusan perusahaan untuk melakukan PHK ke karyawannya.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, <em>skills mismatch</em> seolah menempatkan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13639080600867083">keahlian sebagai satu-satunya faktor</a> yang berkontribusi pada kesuksesan karir. Pandangan ini mengabaikan faktor lain seperti gender, ras, agama, dan terutama kelas ekonomi, yang juga bisa membantu atau menghambat seseorang di lapangan kerja.</p>
<p><a href="https://press.princeton.edu/books/hardcover/9780691155623/pedigree">Studi sosiologi tahun 2015</a> terkait proses rekrutmen profesi-profesi elit – dari bank investasi, perusahaan konsultan, hingga firma hukum papan atas – menunjukkan anak-anak miskin gagal lolos tes pekerjaan sekalipun mereka lulusan kampus ternama.</p>
<p>Perusahaan kerap mendiskriminasi mereka dan kelompok minoritas lainnya dengan menggunakan dalih “<a href="https://insight.kellogg.northwestern.edu/article/cultural-fit-discrimination"><em>cultural fit</em></a>” atau kesesuaian budaya. Meskipun memiliki kemampuan memadai, banyak dari mereka dianggap tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan budaya di perusahaan elit.</p>
<p>Terkait gender, penjelasan <em>skills mismatch</em> juga kurang dapat menjelaskan terbatasnya partisipasi kerja perempuan.</p>
<p>Di Indonesia, <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/09/lulusan-perguruan-tinggi-lebih-banyak-perempuan-ketimbang-laki-laki">lebih banyak perempuan memiliki ijazah dari perguruan tinggi</a> ketimbang laki-laki, yakni 10,1% dibandingkan 9,3% pada 2021. Namun demikian, <a href="https://money.kompas.com/read/2022/07/29/210000426/angkatan-kerja-perempuan-masih-rendah-menaker--budaya-patriarki-masih-mengakar">partisipasi kerja perempuan jauh lebih terbatas</a>, hanya 54% dibandingkan 84% di antara laki-laki pada 2022. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/data-bicara-kesenjangan-upah-gender-tak-juga-alami-perbaikan-di-mana-letak-masalahnya-190681">Data Bicara: Kesenjangan upah gender tak juga alami perbaikan, di mana letak masalahnya?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Dalam pandangan <em>skills mismatch</em>, perempuan yang tidak bekerja, dengan alasan apa pun, bisa dianggap tidak memiliki keahlian kerja yang dibutuhkan pasar. Narasi ini mengabaikan diskriminasi serta <a href="https://theconversation.com/apa-yang-bisa-dilakukan-perusahaan-untuk-mengurangi-diskriminasi-terhadap-ibu-bekerja-187281">kurang ramahnya pasar kerja terhadap perempuan</a>, terutama mereka yang sudah berkeluarga – dari aturan cuti hamil hingga kebijakan fleksibilitas kerja.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, diskusi tentang <em>skills mismatch</em> cenderung <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13639080600867083">menutupi praktik-praktik buruk</a> perusahaan.</p>
<p>Di Indonesia, masih banyak perusahaan yang <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/01/17/ini-faktor-yang-membuat-gen-z-resign-dari-tempat-kerja">tidak menggaji karyawannya secara layak</a>. Praktik kerja kasual atau “<a href="https://theconversation.com/ngomong-ngomong-apa-itu-pekerja-prekariat-83048">prekariat</a>” melalui jalur kemitraan, bukan karyawan tetap, juga semakin marak. Ini menyebabkan mereka <a href="https://theconversation.com/disebut-mitra-tapi-tak-ada-payung-hukumnya-pekerja-gig-economy-tidak-terproteksi-190464">kehilangan kesempatan mendapatkan jaminan kerja dan sosial</a> yang memadai dari perusahaan. </p>
<p>Praktik-praktik ini <a href="https://theconversation.com/dua-tahun-uu-cipta-kerja-phk-kian-mudah-kenaikan-upah-jadi-paling-rendah-193090">semakin menjamur dengan berjalannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja</a> yang dianggap lebih <a href="https://theconversation.com/mengapa-uu-cipta-kerja-tidak-menciptakan-lapangan-kerja-tapi-memperkuat-oligarki-147448">berpihak pada pengusaha</a>. Dalam sistem yang cenderung lebih menguntungkan pengusaha, sangat mudah dipahami jika pegawai memilih tidak bekerja ketimbang bekerja dengan imbalan yang jauh dari kata memadai. </p>
<h2>Narasi yang berbahaya</h2>
<p>Selain tak sepenuhnya menjelaskan isu pengangguran, narasi tunggal <em>skills mismatch</em> punya dampak berbahaya.</p>
<p>Seperti praktik-praktik umum dalam sistem neoliberal di mana ada pergeseran tanggung jawab negara ke warga – biasa disebut sebagai “<a href="https://sk.sagepub.com/reference/the-sage-dictionary-of-policing/n111.xml"><em>responsibilization</em></a>” – narasi <em>skills mismatch</em> menempatkan pelamar kerja sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas karier mereka atau sebagai sumber kesalahan atas masalah yang bersifat struktural (luas, mengakar, dan dilanggengkan oleh sistem) seperti di atas.</p>
<p>Mereka yang kesulitan mencari kerja tidak hanya mendapatkan stigma buruk dari masyarakat, namun juga kerap menyalahkan diri mereka sendiri.</p>
<p>Dalam bukunya, <a href="https://press.uchicago.edu/ucp/books/book/chicago/F/bo16668097.html"><em>Flawed System/Flawed Self: Job Searching and Unemployment Experiences</em> (2013)</a>, sosiolog Ofer Sharone menggambarkan internalisasi kegagalan sebagai hal umum pada kelompok pengangguran – apalagi di daerah tempat industri, produk, atau buku <em>self-help</em> tumbuh subur.</p>
<p>Berkali-kali, negara serta praktisi mengingatkan bahwa para penganggur memiliki kontrol penuh atas kesempatan kerja mereka. Kegagalan mendapatkan pekerjaan seolah akibat “<a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230118065355-92-901762/menaker-sebut-28-juta-pengangguran-indonesia-pasrah">kepasrahan</a>” atau kegagalan memanfaatkan kesempatan yang ada.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-standar-pemerintah-untuk-anak-muda-yang-ideal-buta-kesenjangan-dan-minim-dukungan-negara-153427">Riset: standar pemerintah untuk "anak muda yang ideal" buta kesenjangan dan minim dukungan negara</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Internalisasi kegagalan, yang juga terus diperparah pelimpahan tanggung jawab dari negara ke individu, semakin <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0894845310397545">mengancam kesehatan mental</a> kelompok pengangguran.</p>
<p>Lucunya, berbagai intervensi di tingkat dunia yang berusaha menangani kesehatan mental mereka pun tidak benar-benar menyasar akar masalah.</p>
<p>Pemerintah Cina, bersama dengan layanan kesehatan mental, meluncurkan <a href="https://www.cornellpress.cornell.edu/book/9780801456602/unknotting-the-heart/#bookTabs=1">program konseling</a> untuk mengatasi masalah kesehatan mental pada kelompok terdampak PHK. Intervensi tersebut sekadar fokus mengajak pengangguran berpikir positif tentang diri mereka lalu memotivasi mereka melanjutkan pencarian kerja – di tengah lingkungan yang (masih) tidak berpihak pada mereka.</p>
<h2>Awan gelap untuk pendidikan</h2>
<p>Pada akhirnya, narasi tunggal <em>skills mismatch</em> berpotensi mereduksi pendidikan untuk sekadar mempersiapkan pelajar ke pasar kerja. Dalam pandangan ini, solusi masalah tersebut adalah memperkuat keselarasan antara kurikulum institusi pendidikan dengan kebutuhan industri.</p>
<p>Di Indonesia, dominasi <em>skills mismatch</em> dalam diskursus pengangguran dapat dilihat dari berbagai kebijakan pendidikan, termasuk yang dikeluarkan belakangan ini.</p>
<p>Melalui magang dan kerja praktik, para institusi pendidikan di level <a href="https://www.vokasi.kemdikbud.go.id/read/pen/program-smk-pusat-keunggulan-skema-pemadanan-dukungan-tahun-2023-2">SMK</a> maupun <a href="https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/09/guncangan-kampus-merdeka">universitas</a> berusaha memastikan lulusan “siap kerja”. Institusi pendidikan, bukan perusahaan, adalah pihak yang dianggap bertanggung jawab mempersiapkan mereka.</p>
<p>Pembekalan kemampuan kerja bisa saja bermanfaat. Ketika magang, misalnya, para pelajar bisa mempelajari kemampuan baru – selama bukan sekadar menjadi tenaga kerja murah, bahkan tidak berbayar, yang kemudian menormalisasi praktik buruk perusahaan jauh sebelum mereka menjadi tenaga kerja sesungguhnya. </p>
<p>Namun, tujuan sekolah lebih dari sekadar mempersiapkan tenaga kerja. Sosiolog pendidikan, <a href="https://davidlabaree.com/2021/10/28/public-goods-private-goods-the-american-struggle-over-educational-goals/">David Labaree</a>, menyebutkan dua fungsi lain dari sekolah: 1) memberikan kesempatan hidup lebih baik, dan 2) mempersiapkan pelajar untuk hidup berdemokrasi di tengah keberagaman.</p>
<p>Fokus hanya pada fungsi ekonomi cenderung meningkatkan kompetisi dan memperburuk ketimpangan, terutama antara mereka yang dipersiapkan untuk pekerjaan elit dengan yang dipersiapkan untuk pekerjaan bergaji rendah.</p>
<p><em>Skills mismatch</em> bisa jadi satu faktor di balik pengangguran di Indonesia. Namun, pandangan tunggal ini bisa membahayakan pelajar maupun dunia pendidikan. Di sisi lain, narasi ini terus melindungi citra perusahaan di tengah praktik buruk yang mereka lakukan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/197271/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Senza Arsendy tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Narasi bahwa pengangguran akibat pendidikan atau keahlian rendah semakin meminggirkan pelamar kerja miskin dan marginal. Di sisi lain, praktik-praktik buruk perusahaan justru terus dinormalisasi.Senza Arsendy, PhD Student in Sociology, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1943392022-11-10T03:48:20Z2022-11-10T03:48:20ZPerusahaan potong gaji karyawan penerima BSU : bagaimana cara pekerja melindungi hak mereka?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/494571/original/file-20221110-11064-8ka138.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> </figcaption></figure><iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/5mRQrPZGdb8aWL3II72CrJ?utm_source=generator&theme=0" width="100%" height="152" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture" loading="lazy"></iframe>
<p>Beberapa waktu lalu sempat viral berita <a href="https://ekonomi.bisnis.com/read/20221031/12/1593139/pemilik-waroeng-ss-blak-blakan-soal-pemotongan-gaji-penerima-bsu">sebuah rumah makan akan memotong gaji karyawan mereka yang menerima bantuan subsidi upah (BSU)</a> dari pemerintah Indonesia. Perusahaan tersebut akan memotong gaji sebesar Rp 300 ribu bagi karyawan yang menerima bantuan tersebut.</p>
<p>Merespons berita yang ramai ini, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) langsung bertindak. Kemenaker menerjunkan tim pengawas ketenagakerjaan bersama Dinas Ketenagakerjaan provinsi DIY untuk<a href="https://kemnaker.go.id/news/detail/periksa-waroeng-ss-kemnaker-tegaskan-tidak-ada-pemotongan-gaji"> menindaklanjuti masalah ini</a>. Setelah dilakukan pemeriksaan, pihak restoran tersebut membatalkan keputusan memotong upah terhadap pekerja yang menerima bantuan subsidi upah.</p>
<p>Apakah perusahaan diperbolehkan memotong upah para pekerjanya? Bagaimana cara pegawai melindungi hak yang semestinya mereka dapatkan?</p>
<p>Dalam episode <em>SuarAkademia</em> terbaru, kami berbincang dengan Nabiyla Risfa Izzati, dosen dan peneliti dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.</p>
<p>Menurut Nabiyla, pihak pemberi kerja tidak bisa memotong gaji karyawan semena-mena dan harus mengikuti <a href="https://kemenperin.go.id/kompetensi/UU_13_2003.pdf">Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan</a>. Nabiyla juga mengatakan adanya kemungkinan kesalahpahaman pemberi kerja tentang apa itu bantuan subsidi upah.</p>
<p>Nabiyla menambahkan apabila pekerja tidak mendapatkan hak sesuai dengan kontrak kerja yang sudah disepakati dengan pemberi kerja sehingga menimbulkan perselisihan hubungan kerja, <a href="https://disnaker.balikpapan.go.id/web/detail/pengumuman/35/mekanisme-penyelesaian-perselisihan-hubungan-industrial-secara-bipartit#:%7E:text=Perundingan%20bipartit%20adalah%20%3A,mufakat%20secara%20kekeluargaan%20dan%20keterbukaan.">karyawan bisa melakukan beberapa hal seperti perundingan <em>bipartit</em></a>, yaitu perundingan antara pemberi kerja dan pegawai dengan prinsip musyawarah untuk mencapai kesepakatan hingga melaporkan ke dinas terkait.</p>
<p>Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/194339/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Beberapa waktu lalu sempat viral berita sebuah rumah makan akan memotong gaji karyawan mereka yang menerima bantuan subsidi upah (BSU) dari pemerintah Indonesia. Perusahaan tersebut akan memotong gaji…Muammar Syarif, Podcast ProducerLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1483682020-11-05T08:37:55Z2020-11-05T08:37:55ZLogika keliru aturan ketenagakerjaan UU Cipta Kerja<p>Salah satu bab yang paling banyak menimbulkan kontroversi dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang baru disahkan adalah <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/10/06/09090351/ini-pasal-pasal-kontroversial-dalam-bab-ketenagakerjaan-uu-cipta-kerja">Bab Ketenagakerjaan</a>. </p>
<p>Perubahan terhadap beberapa pasal dalam <a href="https://kemenperin.go.id/kompetensi/UU_13_2003.pdf">UU tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan</a> banyak menjadi sorotan karena dianggap akan membawa kerugian bagi pekerja. </p>
<p>Upaya pengurangan atau pelonggaran aturan hukum ketenagakerjaan dengan mengorbankan perlindungan bagi pekerja adalah langkah keliru, berdasarkan logika yang keliru pula.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/3-ancaman-uu-ciptaker-bagi-para-pembela-lingkungan-dan-ham-148988">3 ancaman UU Ciptaker bagi para pembela lingkungan dan HAM</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Deregulasi ketenagakerjaan</h2>
<p>Pemerintah meyakini aturan hukum ketenagakerjaan yang <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1217752/menteri-hanif-uu-ketenagakerjaan-kita-kaku-seperti-kanebo-kering/full&view=ok">terlalu kaku</a> merupakan salah satu penghalang investasi untuk masuk ke Indonesia dan, karena itu, merasa perlu melakukan deregulasi. </p>
<p>Beberapa revisi pasal dalam Bab Ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja jelas mencerminkan upaya ini. </p>
<p>Sebagai contoh, ketentuan dalam Pasal 56 UU Ketenagakerjaan tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diubah sehingga tidak lagi berbatas waktu maksimal 2 tahun dengan kemungkinan perpanjangan maksimal 1 tahun. </p>
<p>Artinya, akan semakin banyak pekerja yang dipekerjakan dengan jenis perjanjian kontrak dalam jangka waktu yang panjang. Perusahaan juga tidak lagi memiliki kewajiban untuk mengubah status pekerja kontrak menjadi pekerja tetap, ketika jangka waktu tiga tahun sudah terlewati. </p>
<p>Begitu juga perubahan ketentuan istirahat panjang di Pasal 79 yang tadinya diwajibkan oleh UU menjadi hanya dapat diberikan jika diatur dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perusahaan. </p>
<p>Istirahat panjang yang tadinya merupakan hak yang wajib diberikan, menjadi sesuatu yang sifatnya hanya pilihan. </p>
<p>Kedua pasal itu menunjukkan berkurangnya kontrol negara terhadap aturan hukum ketenagakerjaan. </p>
<p>Hal-hal terkait hubungan kerja, seperti jangka waktu perjanjian kontrak dan istirahat panjang, dikembalikan pada mekanisme kesepakatan para pihak - yakni pekerja dan pengusaha - melalui perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perusahaan. </p>
<p>Ini jelas mengurangi perlindungan bagi pekerja, karena dalam hubungan yang timpang antara pekerja dan pengusaha, sangat besar kemungkinan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha merugikan pihak pekerja. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ada-hoaks-di-balik-demo-membedah-keberhasilan-strategi-gaslighting-pemerintah-148533">"Ada hoaks di balik demo": membedah keberhasilan strategi _gaslighting_ pemerintah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Logika keliru</h2>
<p>Dengan banyaknya pasal yang kontroversial di Bab Ketenagakerjaan, wajar jika bab ini seperti menjadi arena perdebatan utama dalam narasi kontra UU Cipta Kerja. </p>
<p>Belakangan, pihak pendukung UU Cipta Kerja <a href="https://www.merdeka.com/uang/baleg-dpr-uu-cipta-kerja-tak-hanya-soal-ketenagakerjaan.html">mengkritik</a> mengapa protes terhadap UU Cipta Kerja seperti terfokus di Bab Ketenagakerjaan. </p>
<p>Padahal, menurut mereka, banyak bab lain di UU omnibus itu yang bernilai positif, serta berprospek baik bagi perbaikan perekonomian, seperti kemudahan membuka usaha, dan dukungan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). </p>
<p>Di sinilah menurut saya masalah utamanya. </p>
<p>Sedari awal, memasukkan Bab Ketenagakerjaan di UU yang jelas-jelas tujuannya adalah untuk peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha adalah hal yang tidak tepat. </p>
<p>Perubahan yang dilakukan UU Cipta Kerja terhadap beberapa pasal UU Ketenagakerjaan, bukan malah memberikan perlindungan tambahan bagi pekerja, tapi justru menguranginya. </p>
<p>Ini karena perspektif yang diusung oleh UU Cipta Kerja memang untuk kepentingan bisnis, bukan untuk kepentingan pekerja. </p>
<p>Pada tanggal 24 April 2020, Presiden Joko “Jokowi” Widodo sempat <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/04/24/16183991/jokowi-tunda-pembahasan-klaster-ketenagakerjaan-ruu-cipta-kerja">menunda</a> pembahasan kluster ketenagakerjaan dalam rancangan UU (RUU) Cipta Kerja. </p>
<p>Sayangnya, keputusan ini berubah dengan sangat cepat dan drastis. </p>
<p>Kluster ketenagakerjaan <a href="https://tirto.id/rapat-rapat-penentu-ruu-cipta-kerja-f5VY">tiba-tiba</a> dimasukkan kembali dalam draf RUU Cipta Kerja per tanggal 25 September 2020, dan pembahasannya dikebut.</p>
<p>Akibatnya sudah jelas terlihat. Banyak pasal di Bab Ketenagakerjaan yang disusun dengan tidak memperhatikan kondisi sosiologis hubungan kerja, yakni ketimpangan posisi pekerja dengan pengusaha. </p>
<p>Pasal-pasal ini jugalah yang kemudian semakin memancing reaksi keras masyarakat terhadap pengesahan UU Cipta Kerja. </p>
<p>Salah satu pasal yang dengan terang mencerminkan kekeliruan logika ini adalah perubahan ketentuan tentang pemutusan hubungan kerja (PHK).</p>
<blockquote>
<p>“Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.” (Pasal 151, ayat 2, UU Ketenagakerjaan)</p>
</blockquote>
<p>Ketentuan tersebut kemudian diubah menjadi:</p>
<blockquote>
<p>“Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.” (Pasal 151, ayat 2, UU Ketenagakerjaan setelah diubah lewat UU Cipta Kerja)</p>
</blockquote>
<p>Perubahan Pasal 151 ini memunculkan narasi bahwa UU Cipta Kerja memungkinkan adanya PHK sepihak. </p>
<p>Pemerintah membantah keras dan mengatakan bahwa ketentuan dalam ayat 3 dan 4 pasal tersebut tetap membuka kesempatan bagi pekerja untuk melakukan upaya perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh (bipartit) dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial lain jika mereka menolak di-PHK. </p>
<blockquote>
<p>“Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.” </p>
<p>“Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.” (Pasal 151, ayat 3 dan 4, UU Ketenagakerjaan) </p>
</blockquote>
<p>Dilihat sekilas, memang seperti tidak ada yang salah. </p>
<p>Masalahnya, logika ini terbangun dari pandangan bahwa hubungan kerja itu bersifat ideal, bahwa posisi pekerja dan pengusaha setara sehingga mudah saja bagi pekerja untuk menolak “pemberitahuan PHK” yang dilakukan oleh pengusaha, dan bahwa mereka juga akan dengan mudah dapat melakukan upaya bipartit dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial untuk mempertahankan haknya. </p>
<p>Pada kenyataan di lapangan, menolak PHK bukanlah hal yang mudah dilakukan. </p>
<p>Ketimpangan posisi tawar, ketakutan terhadap atasan, serta ketidaktahuan atas hak-haknya sebagai pekerja acapkali membuat mereka <a href="http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/download/2209/1556">tak berkutik</a> jika terjadi PHK.</p>
<p>UU Ketenagakerjaan mencegah kemungkinan terjadinya PHK secara sepihak dan sewenang-wenang lewat dua hal: kewajiban untuk berunding dulu sebelum melakukan PHK; dan jika perundingan tidak berhasil, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. </p>
<p>Di UU Cipta Kerja, perlindungan ini menguap sebab terbuka kemungkinan PHK dilakukan hanya melalui pemberitahuan sepihak dari pengusaha ke pekerja. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-uu-cipta-kerja-merusak-desentralisasi-yang-dibangun-setelah-reformasi-148091">Bagaimana UU Cipta Kerja merusak desentralisasi yang dibangun setelah reformasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Perlindungan pekerja menghambat investasi?</h2>
<p>Aturan ketenagakerjaan Indonesia yang <a href="https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesias-labour-laws-discourage-investment-and-leave-workers-worse-off-experts">keras</a> - PHK sepihak tidak mudah dilakukan, pemecatan berbiaya tinggi bagi pengusaha - kerap dijadikan <a href="https://www.bloomberg.com/opinion/articles/2020-10-14/indonesia-protests-labor-reforms-are-difficult-but-overdue">kambing hitam</a> hambatan investasi. Namun kajian dari World Economic Forum menunjukkan hasil yang berbeda. </p>
<p><a href="https://katadata.co.id/ariayudhistira/infografik/5e9a4e6183df7/korupsi-penghambat-utama-investasi-di-indonesia">World Economic Forum Competitiveness Report</a> secara konsisten menempatkan korupsi sebagai masalah utama penghambat investasi di Indonesia. </p>
<p>Aturan ketenagakerjaan hanya menempati peringkat ke-12 dari penghambat terbesar investasi. Etos kerja pekerja justru menjadi hal yang lebih berpengaruh; etos kerja menempati peringkat ke-7 dalam kajian tersebut. </p>
<p>Padahal, bagaimana mungkin meningkatkan etos kerja pekerja jika perlindungan yang diberikan terhadapnya justru melemah? </p>
<p>Pada 2018, Singapura - negara dengan ranking <em>ease doing business</em> <a href="https://tradingeconomics.com/singapore/ease-of-doing-business#:%7E:text=Singapore%20is%20ranked%202%20among,2019%20from%202%20in%202018.">tertinggi</a> di ASEAN -justru mengamandemen hukum ketenagakerjaannya menjadi <a href="https://www.straitstimes.com/politics/parliament-laws-to-protect-workers-rights-expanded-to-cover-all-employees">lebih protektif</a> terhadap pekerja. </p>
<p>Ini merupakan salah satu bukti bahwa kemudahan bisnis sebenarnya bisa berjalan beriringan dengan perlindungan pekerja. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/selain-cipta-kerja-ada-tiga-omnibus-law-lain-yang-menunggu-disahkan-apa-layak-diteruskan-148009">Selain Cipta Kerja, ada tiga omnibus law lain yang menunggu disahkan. Apa layak diteruskan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Bukan jalan pintas</h2>
<p>Kebutuhan terhadap lapangan kerja baru adalah sebuah keniscayaan untuk memastikan hubungan kerja tetap berjalan. </p>
<p>Upaya untuk menarik investor masuk, mengembangkan UMKM, dan memastikan pengusaha tetap bertahan di kondisi yang serba sulit seperti sekarang tentu juga sangat penting dilakukan oleh pemerintah. </p>
<p>Namun, melonggarkan perlindungan terhadap pekerja bukanlah cara yang tepat.</p>
<p>Masih banyak instrumen hukum lain yang bisa dimanfaatkan untuk memudahkan bisnis dan melindungi kepentingan pengusaha, misalnya dengan memberikan insentif pajak, memastikan tidak ada korupsi dan pungli dalam proses pendirian perusahaan, dan menjamin birokrasi yang mudah dan tidak berbelit-belit. </p>
<p>Dengan penolakan masyarakat yang begitu keras terhadap UU Cipta Kerja, khususnya terkait bab ketenagakerjaan, pemerintah perlu menyadari bahwa deregulasi aturan ketenagakerjaan bukanlah jalan pintas yang tepat diambil.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/148368/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nabiyla Risfa Izzati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Upaya untuk menarik investor, mengembangkan UMKM, dan memastikan pengusaha dengan mengorbankan perlindungan terhadap pekerja bukanlah cara yang tepat.Nabiyla Risfa Izzati, Lecturer of Labour Law, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1381152020-05-15T03:24:25Z2020-05-15T03:24:25ZMasalah akses kesehatan membuat kelompok menengah-bawah rentan dalam pandemi COVID-19<p>Pekerja seperti tukang ojek <em>online</em>, petugas keamanan, dan petugas kebersihan berperan penting kala kita kini harus bekerja dari rumah. Namun, ketidaksetaraan akses kesehatan di tengah pandemi berdampak buruk bagi mereka.</p>
<p>Di tengah penerapan Pengendalian Sosial Skala Besar (PSBB) di berbagai <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/04/20/05534481/daftar-18-daerah-yang-terapkan-psbb-dari-jakarta-hingga-makassar">wilayah</a>, kelompok pekerja seperti mereka tidak bisa bekerja dari rumah. </p>
<p>Mereka menjadi lebih berisiko tertular dan tugas mereka juga semakin berat di tengah pandemi. </p>
<p>Pendapatan pengendara ojek <a href="https://katadata.co.id/berita/2020/03/30/pendapatan-pengemudi-taksi-dan-ojek-online-anjlok-80-akibat-corona">berkurang</a> karena hanya bisa mengantar barang (termasuk membeli makanan). Petugas keamanan harus menggunakan masker dan mengawasi lalu lintas semua orang yang masuk ke wilayah kerja mereka, dan petugas kebersihan harus lebih bekerja lebih keras membersihkan tempat kerja. </p>
<p>Sebelum ada wabah, masyarakat menengah dan miskin sudah mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan, dari minimnya pilihan layanan kesehatan karena syarat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sampai <a href="https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Article-12999-05_0091.Image.Marked.pdf">antrean panjang</a> karena penggunaan skema kesehatan ini.</p>
<p>Kelompok masyarakat yang lebih kaya mampu memilih layanan kesehatan yang mereka inginkan tanpa harus mengantre, dan mempunyai perlindungan tambahan karena menggunakan layanan asuransi kesehatan lain. </p>
<p>Akses kesehatan menjadi semakin penting bagi pekerja dari kalangan menengah kala pandemi. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/penyandang-disabilitas-rentan-dan-luput-dari-mitigasi-covid-19-136761">Penyandang disabilitas rentan dan luput dari mitigasi COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Rentan menjadi miskin dan sakit</h2>
<p>Menurut <a href="https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/publication/aspiring-indonesia-expanding-the-middle-class">Bank Dunia</a>, 115 juta dari 267 juta penduduk Indonesia termasuk kategori <em>aspiring middle class</em> (tidak miskin, tapi juga belum aman secara ekonomi) dengan pengeluaran antara Rp 2-4,8 juta per bulan. </p>
<p>Para petugas kebersihan, petugas keamanan, tukang ojek daring dan pekerja yang tidak dapat bekerja dari rumah masuk dalam kategori ini.</p>
<p>Seperti saat krisis ekonomi 1997-1998, pandemi ini menyebabkan banyak pengusaha merumahkan dan memutus kontrak kerja secara sepihak akibat bisnis yang lesu selama pandemi. <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200501181726-92-499298/bukan-2-juta-kadin-sebut-korban-phk-akibat-corona-15-juta">Pengangguran</a> dan kemiskinan menghantui para pekerja. </p>
<p>Pemerintah <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20200414162455-4-151871/corona-picu-5-juta-pengangguran-3-juta-orang-ri-jatuh-miskin">memproyeksikan</a> adanya tambahan 1,1 juta orang miskin dan 2,9 juta orang pengangguran akibat pandemi. Proyeksi yang lebih berat memperkirakan penambahan 3,7 juta orang miskin dan 5,2 juta orang pengangguran. </p>
<p>Secara global, Bank Dunia memprediksi kurang lebih <a href="https://www.cnbc.com/2020/04/09/coronavirus-could-push-half-a-billion-people-into-poverty-globally.html">500 juta penduduk</a> dunia akan hidup dalam kemiskinan akibat pandemi ini. Tingginya angka kemiskinan berpengaruh kepada makroekonomi secara nasional dan yang terpenting mempengaruhi kesehatan secara individu dan kelompok. </p>
<p>Sebuah <a href="https://reader.elsevier.com/reader/sd/pii/S2468266719302488?token=FC858C04345879F1BAAED56514C37C2B184D82C82978D442885C08BAC6AE02A26CBEB8CFC380B0B76B9F2CB7B8CEF679">studi</a> di Finlandia menemukan bahwa rendahnya status ekonomi berhubungan dengan meningkatnya terkena risiko penyakit kesehatan jiwa seperti gangguan psikotik dan gangguan <em>mood</em> - yang nantinya juga berhubungan dengan penyakit tidak menular seperti darah tinggi dan gula.</p>
<p>Selain itu, para pekerja yang masih harus bepergian dan bertemu banyak orang juga semakin berisiko tertular pandemi. Virus corona <a href="https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-reports/20200326-sitrep-66-covid-19.pdf">menyebar</a> melalui tetesan cairan tubuh (droplet), yang dapat ditularkan saat bersin, batuk, bahkan berbicara. Virus ini juga dapat bertahan selama lebih dari 24 jam pada kardus dan permukaan tertentu. </p>
<p>Studi <a href="https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2762028">di Cina</a> menunjukkan adanya kemungkinan penularan melalui orang terinfeksi yang tidak bergejala. Meskipun sampai saat ini belum ada data lengkap mengenai status pekerjaan pasien-pasien wabah, namun masih adanya kontak dengan orang lain secara otomatis meningkatkan risiko mereka untuk tertular dan menulari orang lain.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/yang-luput-dari-psbb-kewajiban-pemerintah-untuk-penuhi-hak-kesehatan-warga-136747">Yang luput dari PSBB: kewajiban pemerintah untuk penuhi hak kesehatan warga</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Upaya yang ada belum cukup</h2>
<p>Pemerintah memang telah menyediakan bermacam program jaring pengaman sosial (JPS), salah satunya <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20200502134742-4-155821/kurangi-beban-rakyat-ini-deretan-program-bansos-pemerintah">bantuan sosial</a> untuk keluarga miskin – tapi tidak untuk masyarakat menengah yang berisiko jatuh miskin. </p>
<p>Beberapa pihak swasta sudah berinisiatif untuk membantu kelompok menengah, misalnya menyediakan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/tech/20200420152935-37-153152/driver-ojol-bisa-ikut-rapid-test-covid-19-gratis-ini-caranya">layanan tes gratis</a> bagi pengemudi ojek daring. Namun, bantuan-bantuan ini sangat minim dan hanya terfokus di kota besar seperti Jakarta. </p>
<p>Sayangnya, pekerja-pekerja di sektor lain seperti petugas keamanan dan petugas kebersihan belum mendapatkan akses yang sama dan sangat bergantung kepada pemerintah dan pemberi kerja.</p>
<p>Program bantuan kesehatan pemerintah yang menyasar kelompok menengah nyaris tidak ada; bantuan yang tidak merata ini bertentangan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. </p>
<p>Selain tidak berkeadilan, ketidaksetaraan dalam hal ini juga merugikan perekonomian. Jatuhnya kelas menengah yang jatuh ke dalam jurang kemiskinan semakin memperbesar ketidaksetaraan dan <a href="https://www.oxfam.org/en/research/towards-more-equal-indonesia">menentukan pertumbuhan ekonomi</a> di Indonesia. </p>
<p>Meningkatnya kelompok menengah yang jatuh miskin akan mengurangi daya beli dan menurunkan aktivitas ekonomi yang menjadi sebuah faktor penting dalam menjalankan dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi. </p>
<p>Ketidaksetaraan akses kesehatan, terlebih pada masa pandemi, merupakan masalah nasional yang harus diselesaikan. </p>
<p>Dalam jangka pendek, bantuan sosial dan penyediaan tes gratis bagi kelompok pekerja dan keluarganya menjadi sebuah alternatif untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan ini. Dengan hal ini, penularan di level keluarga oleh para pekerja bisa diatasi dengan segera. </p>
<p>Untuk jangka panjang, upaya untuk menanggulangi permasalahan ini perlu dilakukan secara lintas sektor dan komprehensif dipimpin oleh pemerintah pusat. </p>
<p>Kebijakan dalam sistem kesehatan juga harus dimodifikasi untuk menunjang atau menyelesaikan masalah yang muncul akibat <a href="https://reader.elsevier.com/reader/sd/pii/S2468266719302488?token=FC858C04345879F1BAAED56514C37C2B184D82C82978D442885C08BAC6AE02A26CBEB8CFC380B0B76B9F2CB7B8CEF679">ketidaksetaraan</a> ini, antara lain meningkatnya penyakit-penyakit tidak menular dan penyakit kesehatan mental.</p>
<p>Solusi terhadap ketidaksetaraan ini merupakan upaya mencegah dampak yang lebih buruk dari wabah dan menjadi investasi kita dalam menangani masalah kesehatan nasional secara lebih baik. </p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/138115/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Kevin Kristian Rustandi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Walau tidak miskin, masyarakat kelas menengah menjadi rentan di kala pandemi. Ketidaksetaraan akses kesehatan menjadi salah satu masalah.Kevin Kristian Rustandi, Dokter dan Assistant scientist, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1374072020-05-01T01:58:57Z2020-05-01T01:58:57ZEfektifkah kenaikan upah minimum dalam melindungi pekerja?<p><em>Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati Hari Buruh pada 1 Mei.</em></p>
<p>Salah satu isu yang yang diperdebatkan dalam <a href="https://theconversation.com/mengapa-indonesia-tidak-membutuhkan-omnibus-law-cipta-kerja-130550">penolakan</a> terhadap rancangan undang-undang (UU) <em>omnibus law</em> Cipta Kerja adalah <a href="https://koran.tempo.co/read/nasional/451898/buruh-berencana-turun-ke-jalan?">upah minimum</a>.</p>
<p>Di Indonesia, kebijakan upah minimum telah ada sejak tahun 1970-an, namun baru benar-benar digalakkan di awal tahun 1990-an akibat adanya tekanan dari negara-negara asing untuk menghentikan praktek “<em>sweatshop</em>” - yaitu memeras pekerja dengan upah murah, jam kerja panjang, dan tempat kerja tidak layak.</p>
<p>Hal ini sesuai dengan tujuan dari penetapan upah minimum menurut <a href="https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/64764/71554/F1102622842/IDN64764.pdf">Organisasi Buruh Internasional</a> (ILO), yaitu untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja untuk mendapatkan pengupahan yang layak. </p>
<p>Sejak itu, pemerintah kerap menaikkan upah minimum hingga mencapai 76% dari upah rata-rata buruh di Indonesia pada tahun 2018. Angka ini yang cukup tinggi jika <a href="https://stats.oecd.org/viewhtml.aspx?datasetcode=MIN2AVE&lang=en#">dibandingkan</a> <a href="http://aseantuc.org/2017/11/minimum-wage-in-asean-countries/">negara-negara</a> lain seperti Australia (47%), Jepang (36%), Malaysia (30%, tahun 2017), dan Thailand (34%, tahun 2017). </p>
<p>Akan tetapi, apakah kebijakan upah minimum yang tinggi benar-benar efektif dalam melindungi pekerja? </p>
<p>Untuk menjawab ini tidak mudah, karena pengaruh dari kenaikan upah minimum tergantung banyak faktor, diantaranya cakupan dari kebijakan upah minimum tersebut. </p>
<p>Selain itu, kenaikan upah minimum juga memiliki dampak yang berbeda bagi kelompok pekerja yang berbeda: pekerja dengan keterampilan tinggi versus rendah; pekerja perempuan versus laki-laki.</p>
<p>Pada 2019, saya melakukan sebuah <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13547860.2019.1625585">studi</a> terhadap dampak upah minimum. </p>
<p>Dengan menggunakan data level provinsi yang diperoleh dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada tahun 2001-2015, saya menganalisa pengaruh kenaikan upah minimum terhadap jumlah pekerja di sektor formal, informal, dan juga pengangguran di Indonesia. </p>
<p>Penelitian saya menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum tidak serta-merta membawa perubahan positif secara merata pada pekerja.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kartu-prakerja-ketika-kelompok-kepentingan-terlibat-dalam-solusi-krisis-covid-19-137021">Kartu Prakerja: ketika kelompok kepentingan terlibat dalam 'solusi' krisis COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dampak berbeda</h2>
<p>Di Indonesia, kenaikan upah minimum memiliki pengaruh yang berbeda terhadap pekerja di sektor formal dan di sektor informal, serta terhadap pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. </p>
<p>Mengikuti klasifikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan sedikit penyederhanaan, pekerja di sektor formal diartikan sebagai pekerja yang memiliki status pekerjaan “buruh/karyawan”, dan menerima upah dan tunjangan sesuai aturan ketenagakerjaan. </p>
<p>Sedangkan pekerja informal adalah sebagai pekerja dalam usaha seperti usaha rumahan (pekerja keluarga), pekerja mandiri (seperti <em>freelancer</em>), dan pekerja lepas (buruh tani atau buruh konstruksi).</p>
<p>Penelitian ini menemukan bahwa upah minimum berkaitan dengan berkurangnya jumlah pekerja di sektor formal. Lebih khusus lagi, penurunan jumlah pekerja perempuan di sektor formal lebih banyak dibandingkan jumlah pekerja laki-laki. </p>
<p>Kenaikan upah minimum meningkatkan jumlah biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan oleh perusahaan, terutama apabila tidak diimbangi oleh peningkatan produktivitas para pekerja. </p>
<p>Jumlah penurunan pekerja perempuan yang lebih banyak dibandingkan laki-laki juga mencerminkan kurangnya kesetaraan gender di pasar tenaga kerja Indonesia.</p>
<p>Hasil ini sesuai dengan hasil <a href="http://www.smeru.or.id/sites/default/files/publication/minimumwageexumind.pdf">studi</a>-<a href="https://www.adb.org/publications/minimum-wages-and-changing-wage-inequality-indonesia">studi</a> terdahulu yang menemukan dampak negatif kenaikan upah minimum terhadap jumlah pekerja di sektor formal.</p>
<p>Penelitian juga menunjukkan kemungkinan adanya perpindahan tenaga kerja, terutama laki-laki, dari sektor formal ke sektor informal ketika terjadi kenaikan upah minimum, seperti yang juga ditemukan oleh <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1475-4991.2011.00451.x">studi sebelumnya</a>. </p>
<p>Perpindahan ini salah satunya adalah karena ketiadaan tunjangan atau perlindungan bagi orang yang tidak bekerja (<em>unemployment benefits</em>) sehingga memaksa sebagian pekerja yang gagal mendapatkan pekerjaan di sektor formal untuk berpindah ke sektor informal karena kebutuhan untuk memiliki penghasilan.</p>
<p>Pada 2018, sektor formal hanya mempekerjakan <a href="https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/05/16/1311/persentase-tenaga-kerja-formal-menurut-provinsi-2015---2018.html">43% dari total</a> orang yang bekerja di Indonesia.</p>
<p>Terlebih lagi, walau studi tidak menemukan kaitan antara kenaikan upah minimum dan kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia, tapi kenaikan upah minimum diketahui berkaitan dengan menurunnya partisipasi angkatan kerja. Angkatan kerja adalah jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja atau mencari kerja. </p>
<p>Hal ini menggambarkan ada juga pekerja yang menyerah dan berhenti mencari pekerjaan karena berkurangnya kesempatan kerja.</p>
<p>Perlu diingat bahwa sektor informal identik dengan kondisi pekerjaan yang lebih buruk dibandingkan sektor formal. </p>
<p>Ekonomi informal kerap diisi oleh pekerjaan-pekerjaan yang tidak teregulasi dan tidak terdaftar - seperti buruh harian dan pedagang kaki lima - sehingga mengakibatkan minimnya perlindungan bagi pekerja di sektor tersebut. </p>
<p>Selain itu, rata-rata upah pekerja di sektor informal pun lebih rendah dibandingkan upah di sektor formal. </p>
<p>Di Indonesia, perlindungan untuk mendapatkan upah minimum berlaku hanya untuk buruh/karyawan, seperti diatur <a href="https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/64764/71554/F1102622842/IDN64764.pdf">UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan</a>. </p>
<p>Akan tetapi, pasar tenaga kerja Indonesia diisi oleh pekerja-pekerja dengan status lain selain “buruh”, yaitu mereka yang bekerja di sektor informal. </p>
<p>Sebuah <a href="https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_123203.pdf">studi pada 2006</a> memperlihatkan bahwa sebagian besar usaha informal tidak mengetahui tentang peraturan upah minimum, dan tingkat upah dari pekerja di usaha informal beragam tergantung jenis pekerjaan, keterampilan dan jenis kegiatan.</p>
<p>Oleh karena itu, kita harus kembali meninjau apakah kenaikan upah minimum berhasil mencapai tujuannya untuk melindungi pekerja. </p>
<p>Jelas bahwa kenaikan upah minimum berhasil meningkatkan pendapatan sebagian pekerja dengan mengorbankan sebagian pekerja yang lain. Terlebih, pekerja-pekerja yang rentan, seperti pekerja perempuan, lebih banyak menganggung efek negatif dari kenaikan upah minimum.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tiga-alasan-mengapa-pembahasan-ruu-omnibus-law-seharusnya-ditunda-di-tengah-pandemi-covid-19-136495">Tiga alasan mengapa pembahasan RUU Omnibus Law seharusnya ditunda di tengah pandemi COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Lantas harus bagaimana?</h2>
<p>Penting bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan dampak kenaikan upah minimum tidak hanya bagi pekerja di sektor formal, tetapi juga pada mereka yang berada di sektor informal atau akan terpaksa pindah ke sektor informal.</p>
<p>Ada banyak celah hukum, yang dapat dimanfaatkan beberapa kelompok pengusaha untuk tidak memberi upah minimum. Dalam <a href="https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/64764/71554/F1102622842/IDN64764.pdf">undang-undang (UU) ketenagakerjaan</a>, misalnya, pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum untuk dimungkinkan untuk menggaji karyawannya dengan upah lebih rendah.</p>
<p>Ini jelas bertentangan dengan pengertian upah minimum yang merupakan upah yang <em>wajib</em> dibayarkan kepada buruh. </p>
<p>Tingginya ketidakpatuhan terhadap kewajiban membayar upah lebih tinggi dari upah minimum juga merupakan masalah yang harus dituntaskan. Pada tahun 2016, <a href="https://www.adb.org/publication/indonesia-enhancing-productivity-quality-jobs">47% dari karyawan</a> di sektor formal mendapatkan upah yang lebih rendah dari upah minimum. </p>
<p>Meskipun masalah tingkat kepatuhan yang rendah dengan upah minimum telah terdengar begitu lama, hukuman pidana terhadap pelanggaran upah minimum baru terjadi pertama kali pada <a href="https://ekonomi.kompas.com/read/2013/04/25/08215445/Bayar.Karyawan.di.Bawah.UMR.Pengusaha.Dijatuhi.Hukuman?page=all">2013</a>. Ketika itu, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 1 tahun dan denda Rp 100 juta kepada seorang pengusaha asal Jawa Timur yang membayar karyawannya di bawah upah minimum regional.</p>
<p>Putusan itu dapat dilihat sebagai dasar untuk memperkuat penegakan hukum mengenai kebijakan upah minimum.</p>
<p>Salah satu alasan tingginya tingkat upah minimum dibandingkan upah rata-rata di Indonesia adalah karena negosiasi upah minimum merupakan satu-satunya sarana bagi serikat pekerja melakukan peran dalam melindungi anggotanya. Sehingga, serikat pekerja cenderung menuntut upah yang sangat tinggi. </p>
<p>Dengan demikian, perlu dibuka ranah perundingan bersama untuk melindungi hak-hak lain pekerja di luar upah, seperti tunjangan atau keamanan dan kelayakan tempat kerja. Perbaikan yang diminta - dan kemudian harus dilakukan - tidak melulu hanya soal upah.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/137407/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tifani Husna Siregar tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kenaikan upah minimum tidak serta-merta membawa perubahan positif secara merata pada pekerja.Tifani Husna Siregar, Ph.D. candidate at the Graduate School of Economics., Waseda UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1260302019-10-30T09:05:50Z2019-10-30T09:05:50ZDi balik toko ‘online’ ada kerja perempuan yang terabaikan<p>Transaksi belanja daring (<em>online</em>) di Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir dan membuktikan bahwa kegiatan ini adalah bagian gaya hidup baru. </p>
<p>Lima tahun lalu, total nilai transaksi belanja daring tercatat <a href="https://inet.detik.com/business/d-2897117/orang-indonesia-rata-rata-habis-rp-825-ribu-buat-belanja-online">Rp 21 triliun</a>, dan pada 2017, angka itu sudah meningkat menjadi <a href="https://bisnis.tempo.co/read/898638/gubernur-bi-transaksi-belanja-online-capai-rp-75-triliun">Rp 75 triliun</a>. </p>
<p>Secara global, tahun lalu, diperkirakan ada 1,8 miliar orang di seluruh dunia yang membeli barang secara daring, dengan total nilai transaksi 2,8 triliun dolar AS dan diperkirakan akan terus tumbuh hingga <a href="https://www.statista.com/topics/871/online-shopping/">4,8 triliun dolar pada 2021</a>. </p>
<p>Selain <a href="https://www.amazon.com/">toko besar</a> <a href="https://www.ebay.com/">milik</a> <a href="https://shopee.com/">perusahaan besar</a>, ada juga toko daring berbasis media sosial (TDMS) seperti Instagram atau Facebook.</p>
<p>Bisnis berbasis media sosial ini menawarkan kemudahan karena hanya dengan gawai, akses internet, dan akun media sosial, ia dapat dijalankan dari mana saja, kapan saja. Ini lantas menarik banyak perempuan untuk terlibat di dalamnya. </p>
<p>Menurut survei pemantau lalu lintas internet <a href="https://nasional.kompas.com/read/2011/05/20/13024473/belanja.dan.jualan.online.dunianya.perempuan">Alexa</a> pada 2011, bisnis toko daring lebih diminati perempuan daripada laki-laki. Selain itu, survey oleh lembaga riset <a href="https://lifestyle.kompas.com/read/2018/03/22/155001820/80-persen-konsumen-belanja-online-orang-muda-dan-wanita?page=all">Snapcart </a> pada Januari 2018 di Indonesia menunjukkan bahwa 65% konsumen toko-toko daring ialah perempuan.</p>
<p>Selain menjadi konsumen, perempuan juga memiliki peran di sisi produksi, baik sebagai pemilik maupun pekerja.</p>
<p><a href="https://suedostasien.net/frauen-im-onlinegeschaeft-zwischen-hausarbeit-und-zweitjob/">Penelitian saya di enam kota di Indonesia pada 2018</a> menunjukkan bahwa para pekerja perempuan toko <em>online</em> ini berada di dalam kondisi kerja yang penuh kerentanan. </p>
<p>Perlu ada peraturan untuk melindungi mereka, dan perlu dibangun kesadaran para perempuan untuk meningkatkan posisi tawar dan perlindungan pada diri mereka sendiri.</p>
<h2>Kerentanan yang dihadapi</h2>
<p>Dalam pengamatan saya, ada tiga kategori pelaku ekonomi yang terlibat di dalam toko daring di media sosial. </p>
<p>Pertama, pemilik TDMS sekaligus produsen dari produk-produk yang dijual. Mereka membuat produk sendiri dan mendistribusikannya melalui TDMS milik mereka sendiri. Kedua, mereka yang bekerja sebagai <em>reseller</em> (membeli untuk menjual kembali) di TDMS yang mereka miliki. Ketiga, mereka yang memiliki TDMS dan merekrut pekerja serta bekerja sama dengan pihak lain seperti konveksi garmen rumahan.</p>
<p>Dari luar, bisnis ini sepertinya mudah dikerjakan, namun fleksibilitas dalam toko <em>online</em> menyembunyikan masalah besar. </p>
<p>Hasil penelitian kualitatif saya dalam bentuk wawancara mendalam terhadap 20 informan menunjukkan bahwa para perempuan yang bekerja di dalam bisnis TDMS bekerja dengan penuh kerentanan; mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang dan tidak memiliki standar upah. </p>
<p>Bukan tanpa sebab perempuan yang paling banyak terlibat dalam bisnis ini. Bukan tanpa sebab pula kenapa rumah jadi tempat kerja utama dalam bisnis ini. </p>
<p>Agar tetap dapat mengurus keluarganya dengan baik, para perempuan mencoba mencari cara untuk menambah pendapatan bagi keluarga. Di sinilah mereka ‘menemukan’ bisnis TDMS. Mereka dapat tetap mengurus keluarga sambil menambah pemasukan keluarga. </p>
<p>Nancy Fraser, pengajar filsafat dan politik di New School for Social Research, AS, <a href="https://newleftreview.org/issues/II100/articles/nancy-fraser-contradictions-of-capital-and-care">menganalisis</a> soal penempatan perempuan sebagai penanggung jawab utama kerja-kerja reproduksi sosial (seperti merawat anak dan mengurus rumah).</p>
<p>Dengan kata lain, yang terjadi adalah <a href="https://indoprogress.com/2013/08/ruth-indiah-rahayu-feminisasi-dunia-kerja-menguntungkan-kapitalisme/">feminisasi kerja</a>, yaitu dorongan keterlibatan perempuan dalam toko bisnis <em>online</em> karena kebutuhan ekonomi yang menyatu dengan norma-norma patriarki.</p>
<p>Masalah lain: menyeimbangkan kerja domestik dan kerja untuk bisnis <em>online</em> itu sulit. Hal ini terutama saya temukan pada mereka yang bekerja sebagai <em>reseller</em>. Kesulitan ini terjadi karena mereka mengerjakan kerja domestik dan dagang, misalnya berkomunikasi dengan pelanggan, secara bersamaan. </p>
<p>Hal itu juga terjadi pada para pekerja yang direkrut oleh pemilik TDMS kategori ketiga. Para perempuan pemilik TDMS yang bekerja sama dengan pihak lain, seperti konveksi-konveksi garmen rumahan, biasanya merekrut pekerja perempuan dari daerah pedesaan atau pinggiran. </p>
<p>Feminisasi kerja terjadi ketika mereka direkrut karena mereka miskin dan karena mereka perempuan, sehingga dianggap memiliki fleksibilitas dan bekerja hanya untuk mencari ‘penghasilan tambahan’. </p>
<p>Di bawah sistem bisnis yang informal, para pekerja yang direkrut oleh pemilik TDMS kategori ketiga ini bekerja tanpa kontrak yang jelas dan tanpa perlindungan seperti asuransi kesehatan. </p>
<p>Mereka yang bekerja sebagai pengecek kualitas produk, pembungkus produk, administrator media sosial, atau pengirim produk ke perusahaan jasa pengiriman logistik ini menerima upah yang rendah dengan jam kerja yang panjang. </p>
<p>Selain feminisasi kerja, kondisi yang penuh kerentanan ini juga disebabkan karena kerja mereka tidak diakui sebagai kerja dalam arti sesungguhnya. </p>
<p>Seorang narasumber yang bekerja sebagai <em>reseller</em>, misalnya, mengaku tidak yakin kerjanya di TDMS adalah kerja sungguhan, meski dia setiap hari menghabiskan hingga delapan jam dalam mengoperasikan TDMS. Ia lebih melihat dirinya sebagai seorang ‘istri yang membantu suami’. </p>
<p>Ditarik lebih jauh, kesadaran ini muncul karena pada dasarnya kerja reproduksi sosial di rumah tangga tidak pernah diakui sebagai kerja. </p>
<p>Karena kerja reproduksi sosial di dalam rumah tangga tidak dianggap sungguhan, maka kerja-kerja reproduktif lainnya –termasuk kerja reproduktif di dalam TDMS– juga tidak diakui sebagai kerja sungguhan. Karena itu pula hak-hak pekerja dalam bisnis <em>online</em> cenderung diabaikan.</p>
<h2>Perlindungan dan pemberdayaan</h2>
<p>Karena kondisi kerja yang penuh kerentanan, maka perlu ada peraturan untuk melindungi mereka, misalnya memasukkan hak-hak mereka ke dalam regulasi ketenagakerjaan yang sudah ada, yaitu <a href="http://eodb.ekon.go.id/download/peraturan/undangundang/UU_13_2003.PDF">Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan</a>. </p>
<p>Para pekerja toko daring sendiri juga perlu mulai mengorganisir diri dan membentuk serikat pekerja. Di Amerika Serikat, <a href="https://www.cnbc.com/2019/08/22/how-amazon-is-fighting-back-against-workers-efforts-to-unionize.html">para pekerja perusahaan toko daring Amazon sudah mulai mengorganisir diri untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai pekerja</a>. Serikat dibutuhkan untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak mereka sebagai pekerja.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/126030/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fathimah Fildzah Izzati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Para pekerja perempuan di balik toko online berada di dalam kondisi kerja yang penuh kerentanan.Fathimah Fildzah Izzati, Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1199282019-07-08T11:10:49Z2019-07-08T11:10:49ZHak untuk bekerja dapat memberdayakan para pengungsi di Malaysia<p>Ada lebih dari <a href="https://www.unhcr.org/en-au/figures-at-a-glance-in-malaysia.html">170.000</a> pengungsi di Malaysia - <a href="https://www.unhcr.org/id/">jauh lebih tinggi dari Indonesia yang hanya menampung 14.000 pengungsi</a>. Pemerintahan baru Malaysia, yang dipilih pada Mei 2018, telah berjanji untuk <a href="https://www.malaysiakini.com/letters/42649">meratifikasi konvensi pengungsi internasional</a> dan <a href="https://www.thestar.com.my/news/nation/2019/07/01/wan-azizah-job-opportunities-for-refugees-will-not-be-made-at-expense-of-malaysians/">mengizinkan para pengungsi untuk bekerja</a>. Tapi sampai saat ini, hal itu belum dilakukan.</p>
<p>Meratifikasi konvensi pengungsi bisa jadi sangat sulit, apalagi di negara seperti Malaysia. Pemerintahan yang baru ini saja sudah <a href="https://thediplomat.com/2019/06/will-refugees-be-allowed-to-work-in-new-malaysia/">menghadapi serangan politik</a> dari oposisi ketika berusaha untuk meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial tahun lalu.</p>
<p>Meskipun demikian, memberikan hak untuk bekerja pada para pengungsi <a href="https://www.thestar.com.my/news/nation/2019/07/01/wan-azizah-job-opportunities-for-refugees-will-not-be-made-at-expense-of-malaysians">bisa bermanfaat</a> bagi semua pihak. Dalam kebijakan yang sedang dipertimbangkan pemerintah, pemberian hak untuk bekerja tidak berarti para pengungsi bisa tinggal tetap di Malaysia, apalagi menjadi warga negara.</p>
<p>Komisi Tinggi <a href="https://www.unhcr.org/en-au/labour-mobility-for-refugees.html">Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pengungsi (UNHCR)</a> telah mengusulkan hak untuk bekerja diberikan untuk melengkapi tiga solusi berkelanjutan bagi para pencari suaka: pemulangan sukarela (kembali ke negara asal mereka jika keadaan memungkinkan), integrasi di masyarakat lokal, dan pemukiman kembali.</p>
<p>Hak untuk bekerja secara legal akan membantu para pengungsi untuk mengumpulkan sumber daya sosial dan modal mereka, sehingga nantinya dapat membantu mereka menemukan solusi yang sesuai dengan keadaan masing-masing.</p>
<h2>Keberadaan pengungsi di Malaysia</h2>
<p>Malaysia belum menandatangani <a href="https://www.unhcr.org/en-au/1951-refugee-convention.html">Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951</a> dan protokol 1967 terkait. Malaysia tidak memiliki kerangka hukum atau administrasi untuk menangani pengungsi. Selama ini Malaysia telah menampung para pengungsi berlandaskan kemanusiaan pada kasus per kasus.</p>
<p>Menurut <a href="https://www.unhcr.org/en-au/figures-at-a-glance-in-malaysia.html">UNHCR</a>, sampai akhir Mei 2019, ada 173.730 pengungsi dan pencari suaka dari berbagai negara terdaftar di Malaysia. Dari jumlah tersebut, 68% adalah laki-laki dan 32% perempuan. Ada juga 44.130 anak di bawah usia 18 tahun.</p>
<p>Tanpa status hukum, pengungsi <a href="https://www.freemalaysiatoday.com/category/opinion/2019/02/25/time-for-a-comprehensive-policy-for-refugees/">tidak diperbolehkan bekerja</a> dan tidak dapat mengakses layanan pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.</p>
<p>Dalam sejarahnya, Malaysia bisa mengeluarkan izin kerja sementara (dikenal sebagai IMM13). Izin ini ada berdasarkan Pasal 55 (1) <a href="http://www.agc.gov.my/agcportal/uploads/files/Publications/LOM/EN/Act%20155.pdf">Undang-Undang Keimigrasian 1959/1963 (Undang-Undang 155)</a>, yang memberikan wewenang penuh kepada menteri dalam negeri untuk mengecualikan sekelompok orang agar tidak menjadi sasaran hukum.</p>
<p><a href="https://www.freemalaysiatoday.com/category/opinion/2019/02/25/time-for-a-comprehensive-policy-for-refugees">Izin ini diberikan</a> untuk beberapa pengungsi orang Moro dari Filipina, orang Aceh dari Indonesia, dan baru-baru ini pengungsi Suriah, untuk alasan kemanusiaan serta untuk mengisi kekurangan tenaga kerja.</p>
<h2>Manfaat hak untuk bekerja</h2>
<p>Hak bekerja memberikan perlindungan tambahan bagi para pengungsi lewat status “pekerja”. Memiliki status hukum adalah berarti memiliki jalan ke pekerjaan yang layak. Hal ini sejalan dengan agenda <em>Sustainable Development Goals</em>, karena ada perlindungan serius seperti akses terhadap keadilan dan dukungan yang relevan jika ada hak-hak pekerja yang dilanggar.</p>
<p>Seperti kita, para pengungsi juga perlu mencari nafkah untuk mendukung penghidupan mereka. Terutama mengingat mereka telah kehilangan sebagian besar atau bahkan seluruh aset produktif setelah meninggalkan negara asal.</p>
<p>Jika pengungsi mendapat cukup penghasilan, orang tua dapat mengirim anak-anak mereka ke <a href="https://www.unhcr.org/en-au/education-in-malaysia.html">pusat pembelajaran berbasis masyarakat</a>. Saat ini, hanya sekitar 30% pengungsi anak menghadiri sekolah-sekolah yang kekurangan sumber daya ini. Sekolah-sekolah ini membebankan biaya mulai 30-150 ringgit(Rp 100-500 ribu) per bulan, menurut data dari aktivis di lapangan.</p>
<p>Dengan memiliki akses pendidikan, anak-anak bisa dilindungi dari kerja paksa dan ilegal. Ini juga sejalan dengan semangat Konvensi PBB tentang Hak Anak, yang sudah <a href="https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=IND&mtdsg_no=IV-11&chapter=4&clang=_en#EndDec">diratifikasi</a> oleh Malaysia.</p>
<p>Pekerjaan juga akan membantu para pengungsi mendapat martabat. Ini memberdayakan para pengungsi. Mereka dapat berkontribusi pada negara yang menampung mereka alih-alih menjadi korban pasif yang bergantung pada bantuan dan amal. Keberdayaan juga membantu memperbaiki anggapan bahwa pengungsi itu beban bagi negara yang menanggung. </p>
<p>Jika pemerintah Malaysia memberikan hak kepada pengungsi untuk bekerja, mereka bisa berkontribusi lebih dari 3 miliar ringgit (sekitar Rp 10 triliun) terhadap PDB (produk domestik bruto) Malaysia dalam lima tahun ke depan dengan lebih dari 50 juta ringgit (sekitar Rp 170 miliar) pendapatan pajak meningkat setiap tahun, sebagaimana dilaporkan <a href="http://www.ideas.org.my/policy-paper-no-60-economic-impact-of-granting-refugees-in-malaysia-the-right-to-work/">oleh IDEAS</a>. Para pengungsi juga bisa melengkapi pekerja lokal, alih-alih menggantikan, dan justru menciptakan hingga 4.300 pekerjaan bagi warga Malaysia.</p>
<p>Malaysia juga dapat mengurangi biaya penegakan hukum terkait dengan penangkapan dan penahanan para pengungsi yang bekerja secara ilegal. Hak bekerja juga dapat membantu menghilangkan kerja paksa dan ikatan utang yang mencekik komunitas pengungsi. Ini dapat memperbaiki peringkat Malaysia di <a href="https://www.state.gov/reports/2019-trafficking-in-persons-report-2/malaysia/">Laporan Perdagangan Orang</a> (TIP). Malaysia saat ini menjadi negara tingkat ke-2 pada daftar pengawasan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat</p>
<p>Hak bekerja juga memastikan praktik bisnis yang transparan, termasuk mencegah hilangnya pendapatan pajak dalam perekonomian informal, dan meningkatkan posisi Malaysia sebagai negara yang ramah investasi.</p>
<h2>Syarat penting</h2>
<p>Georgina Ramsay, antropolog dari University of Delaware, Amerika Serikat, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0308275X19840417">telah memperingatkan agar tidak menempatkan pengungsi sebagai unit ekonomi produktif</a> karena dapat menghilangkan perlindungan mereka di bawah kerangka kemanusiaan global. Hal ini dapat menjadi celah negara tuan rumah untuk menghindari tanggung jawab mereka dalam memberikan dukungan dan layanan bagi para pengungsi.</p>
<p>Terlepas dari kekhawatiran ini, saya berpendapat bahwa hak untuk bekerja penting bagi para pengungsi di Malaysia karena tidak adanya tindakan negara yang nyata dalam masalah ini.</p>
<p>Agar kebijakan ini bisa dilakukan dengan baik, saya mengusulkan beberapa syarat. Pertama, pengungsi tidak boleh dikategorikan sebagai “pekerja migran”. Kedua, tidak boleh ada konflik antara melayani “kebutuhan pengungsi” dan “kebutuhan migran” di pasar tenaga kerja.</p>
<p>Kondisi ini untuk memastikan insentif ekonomi tidak menghalangi kepentingan kemanusiaan. Mereka juga akan membantu mencegah xenophobia (kebencian terhadap orang-orang dari negara lain) dan sikap rasisme yang mungkin muncul.</p>
<p>Memberikan hak untuk bekerja bukan solusi utama untuk tantangan yang dihadapi oleh para pengungsi.</p>
<p>Namun, ini merupakan langkah penting yang dapat dilakukan segera, bahkan tanpa Malaysia menandatangani konvensi pengungsi. Hak hukum untuk bekerja dapat memberdayakan para pengungsi untuk tidak hanya bertahan, tapi juga hidup layak dan berkembang. Ini akan menguntungkan Malaysia dalam jangka pendek maupun panjang.</p>
<p><em>Amira Swastika menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/119928/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Aslam Abd Jalil tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Hak untuk bekerja bagi pengungsi di Malaysia akan berguna untuk memberdayakan mereka, memberi kesempatan untuk mengakumulasi sumber daya sosial dan modal, serta memberi manfaat bagi mereka dan negara.Aslam Abd Jalil, PhD candidate, The University of QueenslandLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/922142018-03-13T09:09:06Z2018-03-13T09:09:06ZKepingan pengalaman hidup pekerja perempuan rumahan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/209696/original/file-20180309-30986-1k8sn42.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=6%2C1%2C719%2C463&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seorang perempuan penganyam alat panggang bekerja di rumah sambil melakukan tugas rumah tangganya, menjaga anak</span> <span class="attribution"><span class="source">Dari mampu.or.id</span></span></figcaption></figure><p>Pekerja rumahan berada di sekitar kita dan lekat dengan keseharian kita. Mereka menjahit baju atau tas yang kita pakai, memproduksi peralatan dapur yang kita gunakan untuk memasak makanan favorit, hingga merangkai komponen elektronik gawai kesukaan kita. Mereka bekerja tidak hanya untuk industri skala rumahan tapi juga perusahaan multinasional.</p>
<p>Namun, informasi mengenai jumlah mereka masih berupa estimasi. Pemerintah Indonesia belum memasukkan pekerja rumahan dalam data statistik resmi negara, baik dalam sensus penduduk, maupun survey angkatan kerja nasional (Sakernas). </p>
<p>Dalam <a href="https://www.bps.go.id/statictable/2009/04/16/971/penduduk-15-tahun-ke-atas-menurut-status-pekerjaan-utama-1986---2017.html">data ketenagakerjaan BPS</a>, posisi pekerja rumahan berada di antara kategori “pekerja bebas di nonpertanian” dan “pekerja keluarga/tak dibayar”. Pada tahun 2017 jumlah pekerja di dua kategori ini mencapai lebih dari 22 juta jiwa atau 18% dari total 121 juta penduduk Indonesia yang bekerja.</p>
<iframe id="datawrapper-chart-WZ3Xi" src="https://datawrapper.dwcdn.net/WZ3Xi/1/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" style="width: 0; min-width: 100% !important;" height="527" width="100%"></iframe>
<p>Di antara jumlah ini, diperkirakan ada sekitar <a href="http://buruh-online.com/2017/12/turc-pekerja-rumahan-akibat-lambannya-penciptaan-lapangan-kerja.html">12 juta perempuan</a> yang menggeluti pekerjaan rumahan. <a href="http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_438251/lang--en/index.htm">Hasil studi di enam provinsi di Indonesia</a> juga menunjukkan bahwa pekerja rumahan didominasi oleh perempuan. </p>
<p>Luputnya pekerjaan rumahan dalam data statistik membuat profesi ini menjadi lebih berisiko. Karena tidak masuk dalam hitungan, posisi mereka tidak diakui dan tidak dilindungi pemerintah. Keterbatasan akses di ruang publik untuk bersuara dan berserikat membuat mereka semakin rentan dieksploitasi. </p>
<p>Saya bersama rekan satu tim melakukan <a href="http://www.smeru.or.id/id/content/penghidupan-perempuan-miskin-dan-akses-mereka-terhadap-pelayanan-umum">penelitian untuk program MAMPU</a>, sebuah kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia untuk mendorong pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) melalui pemberdayaan perempuan dan pengembangan kepemimpinan perempuan. Dari <a href="http://www.smeru.or.id/id/content/dinamika-penghidupan-perempuan-miskin-studi-kasus-ketika-terjadi-perubahan-harga-bbm">penelitian tersebut</a>, saya akan menceritakan pengalaman tiga perempuan pekerja rumahan untuk membantu kita memahami kondisi kerja yang mereka hadapi sehari-hari. Nama mereka saya samarkan untuk menjaga privasi. </p>
<p>Setidaknya ada tiga permasalahan yang diemban oleh perempuan pekerja rumahan: upah yang rendah, waktu kerja yang tidak terbatas, dan ketiadaan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.</p>
<h2>Upah yang rendah</h2>
<p>Indonesia belum memiliki regulasi tentang standar minimal upah bagi pekerja rumahan. Negosiasi upah minimum dalam forum kerjasama tripartit tidak berjalan karena pekerjaan rumahan belum diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Konsekuensinya, pekerja perempuan rumahan harus menerima upah yang rendah tanpa adanya ruang negosiasi dengan pemberi kerja.</p>
<p>Mawar (35) di Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, menerima Rp2.500 untuk setiap kilogram biji mente yang ia kupas. Upah ini turun dari sebelumnya Rp3.500 per kilogram di tahun 2014. Mawar tidak mengetahui dengan jelas apa alasannya. Ia dan rekan-rekan sesama pekerja tidak memprotes penurunan upah tersebut karena takut tidak dapat lagi mengupas biji mente, pekerjaan yang menjadi tumpuan pendapatan keluarganya selama lima tahun terakhir. </p>
<p>Sementara itu, Melati (54), seorang janda di Deli Serdang, Sumatra Utara, menerima Rp2.300 untuk setiap 1 bal (1000 lembar) kertas sembahyang umat Konghucu (Kertas Kimcua) yang ia rapihkan, lipat, dan kemas satu persatu. Dalam satu hari, ia bisa menyelesaikan sekitar 5 bal kertas, sehingga dalam sebulan upah yang didapat mencapai Rp300.000. Upah yang minim ini tidak berubah sejak awal ia terlibat dalam pekerjaan ini di tahun 2012. </p>
<p>Bagi Dahlia (37), di Cilacap, Jawa Tengah, upah menjahit gendongan bayi bagi sangat berharga untuk menambah pemasukan keluarga, selain kiriman suaminya yang menjadi buruh bangunan di Jakarta. Ia menerima Rp2.000 untuk setiap potong gendongan bayi yang ia selesaikan. Setiap minggu, ia bisa memproduksi sekitar 50 gendongan bayi dengan total upah berkisar Rp100.000 - Rp150.000. Dari jumlah ini, ia masih harus membeli benang dan membayar listrik mesin jahit yang ia tanggung sendiri. </p>
<p>Selama ini, upah pekerja rumahan ditentukan <a href="http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_438251/lang--en/index.htm">satu arah oleh pemberi kerja</a> (atau makelar). Persepsi patriarki bahwa pekerjaan perempuan adalah sumber penghasilan sekunder bagi rumah tangga juga turut berkontribusi atas rendahnya upah yang diberikan. <a href="http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Penelitian/article/view/365/573">Sebuah studi</a> menemukan bahwa sebagian pemilik industri batik beranggapan bahwa pekerjaan membatik (oleh perempuan di rumah) hanya pekerjaan sampingan dan tidak membutuhkan keahlian khusus, sehingga wajar jika upahnya sedikit.</p>
<h2>Waktu kerja yang tidak terbatas</h2>
<p>Sementara para pekerja di sektor formal memiliki waktu kerja yang jelas dan berbatas, alokasi waktu kerja pekerja rumahan sepenuhnya <a href="http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.610.2434&rep=rep1&type=pdf">menjadi kuasa para pekerja sendiri</a>. Meskipun terdengar menguntungkan tapi pada kenyataannya sistem jam kerja seperti ini justru menambah beban buat pekerja perempuan rumahan karena mereka juga mengurusi pekerjaan rumah.</p>
<p>Empat tahun lalu, pekerjaan mengacip biji mente masih terpusat di rumah koordinator dari pukul 08.00 hingga 17.00 WITA. Namun, para pekerja, termasuk Mawar, meminta pekerjaan dilakukan di rumah masing-masing agar mereka tetap bisa mengerjakan tugas rumah tangga. Saat ini, Mawar biasa mengupas biji mente dari pukul 09.00 hingga 16.00 WITA. Durasi bisa lebih panjang, jika biji mente yang diterima ukurannya terlalu kecil. Pekerjaan mengacip biji mente selalu diselingi kegiatan mencuci, membersihkan rumah, dan menyiapkan makan bagi suami dan anak-anaknya.</p>
<p>Bagi Melati menjadi pelipat Kertas Kimcua adalah pilihan terbaik di usianya yang tidak lagi muda seperti saat dirinya masih menjadi buruh tani. Pekerjaan ini menurutnya juga ringan karena dirinya masih bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Sejak pagi hingga sore hari, Melati harus mengurus pekerjaan rumah tangga, termasuk menyiapkan bekal bagi tiga anaknya yang bekerja sebagai buruh bangunan. Ia baru mulai melipat kertas pada malam hari ketika perempuan lain seusianya beristirahat. </p>
<p>Begitu juga Dahlia yang awalnya menjahit gendongan bayi di rumah pengepul. Namun, karena ia harus merawat anaknya yang berkebutuhan khusus, semua pekerjaannya dibawa ke rumah. Menurutnya itu lebih baik, karena ia bisa tetap mengawasi anaknya yang sekarang berusia 12 tahun dan mengalami gangguan pertumbuhan. Semua kegiatan rumah sehari-hari, harus ditangani olehnya sendiri karena suaminya berada di Jakarta dan hanya pulang dua bulan sekali.</p>
<p>Perempuan pekerja rumahan seringkali berasumsi bahwa waktu kerja yang fleksibel adalah keuntungan, padahal dalam banyak kasus pekerjaan mereka berujung pada: eksploitasi diri yang memberikan mereka beban ganda. Dalam upaya mencapai target produksi, mereka tetap harus menjalankan peran sebagai pengurus rumah tangga.</p>
<h2>Ketiadaan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja</h2>
<p>Perempuan miskin terlibat dalam kegiatan ekonomi cenderung memiliki status <a href="http://www.ilo.org/employment/Whatwedo/Publications/WCMS_117993/lang--en/index.htm">kesehatan yang lebih rendah</a>. Selain minimnya waktu untuk para pekerja perempuan itu sendiri, tidak adanya standar kesehatan dan keselamatan dalam pekerjaan rumahan membuat para pekerja dan anggota keluarganya memiliki <a href="http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_438251/lang--en/index.htm">risiko kesehatan yang tinggi</a>. </p>
<p>Risiko bekerja mengupas biji mente bagi Mawar adalah gatal-gatal akibat getah biji mente dan luka karena terkena alat pengupas mente. Oleh karena itu, ia harus menggunakan kapur dan sarung tangan yang ia sediakan sendiri. Apabila gatal, Mawar tidak mendapat bantuan dari pemberi kerja maupun koordinatornya. Membeli minyak gosok sendiri menjadi satu-satunya jalan untuk berobat. </p>
<p>Sementara itu, melipat Kertas Kimcua relatif tidak memiliki risiko kerja yang besar. Namun demikian, kelelahan akibat padatnya kegiatan sehari-hari, membuat Melati seringkali mengalami rematik dan anemia. Karena tidak memiliki jaminan kesehatan, ia harus mengeluarkan Rp100.000 untuk mendapatkan sebotol obat rematik <em>Propolis</em> yang telah dikonsumsinya selama satu tahun belakangan.</p>
<p>Sedangkan Dahlia mengaku tidak pernah mengalami sakit atau kecelakaan selama bekerja sebagai penjahit rumahan. Dirinya juga mengaku tidak pernah mendapatkan jaminan kesehatan maupun ketenagakerjaan dari pemberi kerjanya. Bahkan, Dahlia mengaku tidak begitu paham tentang jaminan ketenagakerjaan dan semacamnya.</p>
<p>Tidak adanya perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja merupakan konsekuensi bagi mereka yang bekerja di ranah informal, termasuk para pekerja perempuan rumahan. Di tengah risiko kerja dan kemiskinan yang tinggi, mereka yang tidak mendapat perlindungan cenderung tidak mengakses fasilitas kesehatan untuk berobat.</p>
<h2>Apa solusinya?</h2>
<p>Pekerja perempuan rumahan rentan terhadap risiko kerja yang mereka geluti. Kita bisa melihat bagaimana pentingnya bagi mereka untuk berserikat dan menyuarakan kepentingannya melalui kelompok advokasi dan organisasi pekerja. </p>
<p>Sementara itu, mempromosikan kesetaraan gender dalam rumah tangga juga penting untuk dilakukan, terutama terkait pembagian peran gender. Selain itu, program-program yang dapat membantu perempuan untuk meningkatkan kualifikasi serta akses mereka terhadap pekerjaan di luar rumah juga diperlukan untuk memperkuat posisi perempuan di dunia kerja.</p>
<p>Di sisi lain, pemerintah pusat maupun daerah perlu melakukan langkah tegas untuk memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kontribusi perempuan pekerja rumahan bagi pembangunan. Status mereka selayaknya disejajarkan dengan para pekerja di sektor formal yang lain dengan konsekuensi memenuhi hak-hak mereka, yang diantaranya adalah hak akan penghasilan yang layak, hak mengambil cuti, dan hak mendapatkan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Memasukkan para pekerja perempuan rumahan ke dalam kerangka legal formal seperti UU Ketenagakerjaan dapat menjadi tindakan awal yang harus diikuti dengan penyediaan data yang akurat untuk memahami prevalensi dan kondisi pekerjaan pekerja rumahan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/92214/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dinar Dwi Prasetyo terafiliasi dengan The SMERU Research Institute. Riset yang disebutkan dalam artikel adalah bagian dari program MAMPU (2012-2020), kemitraan antara pemerintah Australia dan Indonesia yang diimplementasikan oleh Cowater Sogema International Inc. atas nama Pemerintah Australia.</span></em></p>Pekerja rumahan menerima banyak beban risiko kerja disebabkan keterasingan mereka dari data statistik, pengakuan, dan regulasi pemerintah.Dinar Dwi Prasetyo, Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/845992017-09-26T10:30:32Z2017-09-26T10:30:32ZCerita pengemudi menguak eksploitasi di Gojek, Grab, dan Uber<p>Uber, Gojek, dan Grab telah membanjiri pasar transportasi urban dengan citra sebagai penghubung antara pengemudi dan penumpang. Pengemudi disebut sebagai <a href="http://www.bbc.com/news/business-36330006">“mitra” atau “wirausahawan mikro”</a> yang dapat menentukan berapa banyak uang yang ingin mereka hasilkan, kapan pun mereka mau. </p>
<p>Namun, <a href="http://www.isrsf.org/files/download/442">penelitian saya</a> menunjukkan bagaimana citra seperti itu mengecoh, bahkan mengelabui pengemudi dan penumpang. Selama enam bulan, dari November 2016 hingga April 2017, saya menganalisis narasi dan testimoni pengemudi dalam berbagai forum di Facebook dan Google+ yang diikuti lebih dari 80.000 anggota. Saya juga berbincang dengan sepuluh pengemudi di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Makassar pada pertengahan 2017. </p>
<p>Saya menemukan bahwa, alih-alih menjalani hubungan kemitraan, pengemudi mengalami relasi eksploitatif. Mereka diperlakukan seperti buruh informal dengan perlindungan kerja yang minim atau bahkan tak ada sama sekali. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/transportasi-online-di-indonesia-sukses-tapi-kerja-pengemudi-rawan-80686">Transportasi online di Indonesia sukses, tapi kerja pengemudi rawan</a></em></p>
<hr>
<p>Menggunakan teknologi dan retorika, perusahaan transportasi daring berhasil mendikte pengemudi dan dalam waktu yang sama menciptakan ilusi hubungan yang setara. Sistem tersebut menciptakan ketimpangan akses dan kuasa yang membuat perusahaan mampu memaksa pengemudi terus memeras keringat. Di saat yang sama, perusahaan mengeliminasi hak-hak pengemudi sebagai pekerja dan membebankan biaya dan risiko kepada mereka. </p>
<h2>Otomatisasi kontrol</h2>
<p>Memang benar bahwa pengemudi dapat memutuskan untuk mematikan aplikasi kapan pun mereka mau. Namun, kenyataannya tak sesederhana itu. Sesudah masuk ke dalam <em>app</em>, program tersebut mengontrol pengemudi – ke mana mereka pergi, pesanan apa yang mereka ambil. Pilihan pekerjaan datang dalam hitungan detik. Pengemudi hanya memiliki waktu 10 detik untuk memilih “terima” atau “menolak” order yang ditujukan pada mereka.</p>
<p>Gojek, Grab, dan Uber mengatur jumlah minimum penerimaan pesanan yang membuat pengemudi harus terus-menerus mengambil penumpang. Jumlah order yang dijalankan sangat menentukan dalam pendapatan bonus bagi pengemudi. Tarif pengemudi (Rp 1.000-2.000 per kilometer untuk ojek) tidak cukup menutupi kebutuhan hidup. Akibatnya, kebanyakan pengemudi bergantung pada bonus harian sebagai pendapatan utama.</p>
<p>Bonus diberikan berdasarkan poin. Mengantar penumpang untuk jarak jauh dan pesanan tertentu seperti pengantaran makanan dihargai dengan poin lebih tinggi. Namun pesanan jenis ini juga memakan lebih banyak biaya bagi pengemudi karena mereka harus menanggung bahan bakar dan parkir. </p>
<p>Jumlah bonus dan poin berbeda di tiap-tiap perusahaan. Untuk Gojek contohnya, <a href="https://driver.go-jek.com/hc/id/articles/235509348-Perhitungan-Point-dan-Bonus-Driver-GO-JEK-NON-JABODETABEK">bonus harian maksimum sekitar Rp 90.000</a> untuk motor - jumlah ini terus menurun dari bulan ke bulan. </p>
<p>Agar bisa mengambil bonus, pengemudi harus meraih 60-75% rata-rata tingkat penerimaan pesanan (persentase pekerjaan yang tuntas dari seluruh pesanan, atau persentase performa) dan mendapat rating 4,5 dari penumpang. </p>
<p>Sistem semacam ini membentuk pola yang saya sebut “<a href="http://burawoy.berkeley.edu/Books/MC/Three.pdf">gamification of work</a>” atau kerja yang dibuat menyerupai permainan. Perusahaan menentukan target pencapaian penghasilan yang mendorong pengemudi untuk bekerja lebih lama dan lebih keras. Kerja pengemudi tidak hanya sesederhana memberikan tumpangan tapi juga permainan matematika: pengemudi harus terus mengkalkulasi poin, bonus, persentase performa, dan rating agar mendapatkan upah yang cukup. </p>
<p>Namun, aturan permainan tidak jelas. Seringkali persentase kinerja pengemudi tidak bertambah meski mereka telah menyelesaikan pesanan. Sebaliknya, jika order dibatalkan–baik oleh pengemudi maupun pelanggan–persentase performa mereka jatuh drastis. </p>
<p>Seorang pengemudi yang menjadi informan saya mengekspresikan keheranannya: </p>
<blockquote>
<p>“Performa itu kayak rupiah: naiknya susah, tapi gampang banget terjun bebas.” </p>
</blockquote>
<p>Ketika pengemudi mencoba melaporkan masalah teknis ini ke perusahaan, mereka mendapat jawaban standar, “Memang sudah begitu diatur oleh sistem”. Namun bagi para pengemudi tidaklah masuk akal bahwa mesin bisa mencurangi mereka. “Pasti manusia yang curang pada kami.”</p>
<p>Bonus sebagai insentif ditunjang dengan pengenaan skors (<em>suspend</em>) sebagai alat mendisiplinkan pengemudi. Sistem skors adalah strategi utama untuk memaksa pengemudi mengikuti aturan. </p>
<p>Pengemudi tidak dapat menolak atau membatalkan terlalu banyak pesanan. Risikonya, pengemudi dapat dikenai sanksi mulai dari <em>suspend</em> sementara sampai putus mitra. </p>
<p>Sebagai gambaran, Gojek memiliki <a href="https://driver.go-jek.com/hc/id/articles/115000020907-Jenis-jenis-Pelanggaran-GO-JEK">daftar yang panjang pelbagai aturan</a> yang dapat berakibat pengenaan sanksi yang pada akhirnya dapat menyebabkan putusnya kerja sama (putus mitra). </p>
<p>Beberapa kasus di <a href="https://metro.tempo.co/read/news/2017/02/17/064847641/gaji-ditahan-perusahaan-pengemudi-go-jek-lapor-polisi">Gojek</a> dan <a href="https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20170704120912-185-225623/ratusan-sopir-grabcar-demo-kembalikan-uang-kami/">Grab</a> menunjukkan bahwa pengemudi tidak dapat menarik uang di akun deposit mereka jika mereka diberhentikan. </p>
<h2>Ilusi “kemitraan”</h2>
<p>Perusahaan menutupi praktik ekploitasi tenaga kerja dalam bingkai retorika kebebasan, fleksibilitas, dan kemitraan. Retorika ini bertumpu pada konsep konvensional hubungan kerja yakni pemberi kerja memiliki alat produksi dan membayar upah per jam. Kenyataan bahwa perusahaan hanya menyediakan aplikasi selalu ditekankan untuk menciptakan kesan bahwa <a href="https://m.tempo.co/read/news/2015/11/11/078717793/soal-kasus-go-jek-ini-pendapat-menaker-hanif-dhakiri">pengemudi bukanlah pekerja</a>. </p>
<p>Jauh dari sebuah platform yang netral, aplikasi ini menciptakan hierarki antara penumpang-perusahaan-pengemudi. Perusahaanlah yang berada di puncak kekuasaaan, dengan kontrol pada teknologi, modal, dan akses. Sementara itu, “<a href="https://hbr.org/2016/04/the-truth-about-how-ubers-app-manages-driversple.com/">penumpang bertindak sebagai manajer</a>” karena rating mereka menentukan bonus yang diterima pengemudi. </p>
<p>Walau rating membantu memastikan kualitas pelayanan, penumpang yang tidak memahami standar rating bisa merugikan pengemudi. Seorang teman saya enggan memberikan lima bintang karena menurutnya “kesempurnaan hanya milik Tuhan.” Sementara bagi pengemudi, bintang empat sudah menjatuhkan rata-rata rating mereka. </p>
<p>Jika ada perselisihan, perusahaan hampir pasti membela penumpang. Salah seorang narasumber saya mengatakan temannya diblok aksesnya selama tiga hari oleh Grab karena seorang penumpang salah mengirimkan komentar buruk kepadanya soal pengemudi lain. </p>
<p>Posisi sebagai “mitra” mengharuskan pengemudi untuk menyediakan alat produksi mereka sendiri (kendaraan) dan menanggung biaya bahan bakar, parkir, perawatan, asuransi kendaraan, dan komunikasi dari saku mereka sendiri. </p>
<p>Akibatnya, semakin banyak mereka bekerja, semakin mahal pengeluaran, semakin besar risiko kelelahan dan kecelakaan yang mereka hadapi.</p>
<p>Pada akhirnya, perusahaan memegang kendali dalam menentukan aturan tenaga kerja. Sesudah memotong subsidi bagi pengemudi, manuver terbaru adalah mengurangi jumlah bonus secara perlahan dan menambah persentase performa minimum. Perusahaan sangat sering mengubah dan menambah aturan, sementara pengemudi tidak memiliki kesempatan untuk bernegosiasi. </p>
<p>Pengemudi telah berupaya memperjuangkan hak mereka melalui aksi protes di jalanan. Namun pada 2017, <a href="https://driver.go-jek.com/hc/id/articles/115000020907-Jenis-jenis-Pelanggaran-GO-JEK">perusahaan mulai melarang pengemudi terlibat dalam aksi unjuk rasa apa pun</a>. </p>
<h2>Kekosongan hukum</h2>
<p>Temuan penelitian saya beririsan dengan <a href="http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2686227">riset</a> dan <a href="https://www.nytimes.com/interactive/2017/04/02/technology/uber-drivers-psychological-tricks.html?_r=0">investigasi</a> mengenai aturan tenaga kerja Uber di Amerika Serikat, <a href="https://www.theguardian.com/technology/2016/dec/09/uber-drivers-report-sweated-labour-minimum-wage">Inggris</a>, dan <a href="https://thewire.in/110022/factory-workers-uber-drivers-nature-exploitation-changed/">India</a>. Pengemudi Uber telah mengajukan berbagai tuntutan hukum di pengadilan Amerika dan Eropa untuk memperjuangkan hak-hak pekerja mereka. </p>
<p>Di Indonesia, perusahaan seperti Gojek, Grab dan Uber dapat mengekploitasi tenaga kerja tanpa adanya batasan hukum. Peraturan Menteri Perhubungan mengenai transportasi online hanya mengatur hal-hal teknis seperti batas tarif uji kelayakan kendaraan untuk taksi online. Aturan ini pun dibatalkan baru-baru ini oleh Mahkamah Agung. </p>
<p>Dalam hal perlindungan kerja, Undang-Undang Ketenagakerjaan saat ini belum mengatur hak dan perlindungan buruh dalam relasi kerja semi informal gaya baru, seperti yang ada di industri transportasi online. </p>
<p>Pola-pola eksploitasi yang terjadi secara global menyoroti pentingnya kehadiran regulasi yang tanggap dengan cara-cara kerja baru di era digital. Sudah saatnya kita mulai mendorong perdebatan agar lebih fokus pada hak-hak pengemudi sebagai pekerja.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/84599/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Aulia Nastiti menerima dana dari ISRSF (<a href="http://www.isrsf.org">www.isrsf.org</a>) untuk melakukan riset ini dalam kapasitas sebagai Arryman fellow. Ia terafiliasi dengan program Arryman di Equality Development and Globalization Studies, Buffett Institute, Northwestern University (<a href="http://www.edgs.northwestern.edu">www.edgs.northwestern.edu</a>). </span></em></p>Menggunakan teknologi dan retorika, perusahaan transportasi online berhasil mendikte pengemudi dan dalam waktu yang sama menciptakan ilusi hubungan yang setara.Aulia Nastiti, Ph.D Student in Political Science, Northwestern UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.