Menu Close
(Markus Spiske/Unsplash)

Pakar: lembaga peradilan berperan besar “memaksa” peningkatan target iklim Indonesia

Sejak tujuh tahun silam, dunia mengalami “musim semi” gugatan iklim, yakni upaya suatu pihak dalam mengajukan gugatan terkait persoalan perubahan iklim dan lingkungan di pengadilan.

Sejak 2015, angka gugatan iklim tercatat naik dua kali lipat dibanding beberapa dekade sebelumnya. Angkanya mencapai lebih dari 2 ribu gugatan iklim yang diajukan di seluruh dunia – seperempatnya didaftarkan sejak 2 tahun silam.

Namun, sebagian besar perkara tersebut berlokasi di negara-negara maju. Hanya sedikit gugatan iklim yang diajukan di negara-negara berkembang.

Di Indonesia, lembaga penelitian dan advokasi hukum lingkungan, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mencatat ada sekitar 16 perkara gugatan untuk menuntut keadilan iklim. Mayoritas di antaranya diajukan oleh pemerintah untuk menuntut ganti rugi atas ke perusahaan yang diduga merusak lingkungan. Hanya terdapat lima gugatan yang didaftarkan oleh warga maupun organisasi lingkungan hidup.

Gugatan iklim di Indonesia. (ICEL)

Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo Sembiring, mengemukakan bahwa warga Indonesia memiliki kesempatan besar untuk mendaftarkan gugatan iklim di lembaga peradilan. Harapannya, gugatan ini dapat menjadi pertimbangan pengadilan agar mendorong target pemerintah supaya kebijakan untuk meredam perubahan iklim bisa lebih ambisius.

“Ini peluang yang cerah untuk gugatan iklim di indonesia,” ujar Raynaldo dalam diskusi Peran Pengadilan untuk Mengatasi Perubahan Iklim: Update Kasus Lingkungan antara Indonesia dan Belanda, di Jakarta, pekan lalu.

Peluang besar gugatan warga

Suasana persidangan Walhi melawan Pemerintah Provinsi Jawa Barat menuntut pembatalan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A di Cirebon. (LBH Jakarta)

Raynaldo menuturkan, besarnya peluang gugatan iklim oleh warga dipicu oleh dua kebijakan: Undang Undang (UU) 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019.

UU Administrasi Pemerintahan mengatur perlindungan hak asasi manusia (HAM) sebagai salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan Perma 2/2019 memuat kewenangan pengadilan tata usaha negara mengadili gugatan atas tindakan pemerintahan – sebelumnya merupakan kewenangan pengadilan umum.

Gugatan iklim, kata Raynaldo, dapat diajukan terhadap tindakan pemerintah yang dianggap tidak cukup mengatasi persoalan perubahan iklim. Gugatan dapat menyasar dokumen tertentu, seperti komitmen iklim Indonesia yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Dokumen ini merupakan janji tertulis negara peserta Perjanjian Paris untuk berkontribusi dalam menahan pemanasan suhu bumi ke angka maksimum 1,5C pada 2030 mendatang.

“UU 30/2014 dan Perma 2/2019 memberikan peluang bagi warga negara untuk meminta pemerintah melakukan tindakan pemerintahan. Salah satunya untuk mengetatkan NDC kita,” ujar Raynaldo dalam keterangan lanjutannya kepada The Conversation.


Read more: Berkaca dari kasus sebelumnya, putusan terkait polusi udara di Ibukota berpotensi terabaikan


Di Indonesia, sejumlah pihak mengkritik NDC pemerintah yang belum ambisius. Ini tercermin dalam analisis Climate Action Tracker (CAT), organisasi tingkat global yang memeriksa komitmen iklim setiap negara berdasarkan analisis ilmiah.

Indonesia, menurut analisis CAT per November 2021, memiliki komitmen dan kebijakan iklim yang “highly insufficient” atau jauh dari memadai untuk meredam laju perubahan iklim. Artinya, jika NDC seluruh negara memiliki peringkat ini, maka pemanasan suhu global pada 2030 bisa mencapai 3-4C.

Menurut Raynaldo, seluruh warga negara berhak mengajukan gugatan terhadap NDC. Warga dapat menggunakan ketentuan kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia yang diatur di tingkat UUD 1945 hingga UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Namun, jangan buru-buru mendaftarkan gugatan ke pengadilan. Warga atau pihak tertentu semestinya mengajukan proses keberatan dan banding administratif kepada pejabat pembuat NDC: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jika dalam tahap banding sang pejabat sudah setuju, maka warga bisa menghemat tenaga dan waktu untuk mengurus gugatan di meja hijau.

“Kalau pejabat enggak setuju, maka lanjut ke PTUN,” tutur Raynaldo.


Read more: Laporan terbaru IPCC: Dunia berada dalam kondisi terbaiknya untuk memangkas emisi, bagaimana caranya?


Hal lainnya yang perlu disiapkan dalam gugatan iklim adalah bukti-bukti ilmiah yang kuat. Warga dapat menggunakan dokumen seperti laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Laporan ini merupakan rangkuman dari puluhan ribu karya ilmiah tentang perubahan iklim di seluruh dunia yang disusun oleh para ilmuwan. Dokumen ini juga memiliki legitimasi politik lantaran publikasinya harus disetujui oleh negara-negara anggota UNFCCC.

Meski demikian, pemakaian alat bukti saintifik masih menjadi tantangan tersendiri di tanah air. Sebab, tak semua hakim memiliki kompetensi yang sama untuk menelaah dokumen-dokumen tersebut.

Hal ini disadari oleh Doktor bidang Hukum sekaligus Anggota Kelompok Kerja Lingkungan Hidup Nasional Mahkamah Agung, Bambang Heriyanto. Para hakim, kata dia, mesti mendapatkan pendidikan dan pelatihan untuk memperoleh sertifikasi khusus untuk menangani kasus-kasus lingkungan hidup.

Tantangan lainnya adalah terkait keterangan ahli di persidangan yang bisa jadi saling bertentangan. Menurut Bambang, sudah menjadi rahasia umum bahwa pendapat ahli yang dihadirkan di persidangan akan seirama dengan pihak yang menghadirkannya.

“Jalan keluarnya adalah menghadirkan ahli independen untuk acuan untuk hakim. Tapi masalahnya bagaimana pembiayaannya,” kata dia.

Sasaran gugatan yang luas

Gugatan iklim sebenarnya bukan hanya bisa menyasar dokumen NDC Indonesia. Menurut Guru Besar Ilmu lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana, gugatan iklim memiliki empat kategori:

1) Gugatan dengan persoalan iklim sebagai argumentasi utama; misalnya gugatan dari organisasi lingkungan Urgenda Foundation yang menyasar target iklim pemerintah Belanda

2) Gugatan dengan persoalan iklim sebagai argumentasi sampingan: misalnya gugatan yang diajukan organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia melawan Pemerintah Jawa Barat terkait izin Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tanjung Jati A Cirebon. Persidangan kasus ini masih berlangsung.

3) Gugatan dengan motivasi isu perubahan iklim, tapi tak menjadi isu utama: misalnya gugatan kepada perusahaan tambang batu bara yang merusak lingkungan

4) Gugatan tanpa motivasi perubahan iklim, tapi berdampak pada upaya pencegahan dan penanganannya: misalnya gugatan seputar aktivitas pertambangan minyak dan gas bumi

Andri mengatakan, sejauh ini gugatan iklim di Indonesia belum menyentuh kategori 1. Namun, berkaca dari kasus yang ada di tanah air, gugatan iklim di Indonesia tergolong unik dibandingkan perkara di negara lain.

Andi mencontohkan dalam kasus kebakaran lahan, gugatan iklim di Indonesia yang berfokus pada tuntutan untuk pembayaran biaya pengurangan emisi (yang timbul karena perbuatan tergugat). Tuntutan ini membebaskan penggugat, dalam perkara ini adalah pemerintah, untuk membuktikan sebab-akibat dari tindakan tergugat dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan.

“Meski ada juga sisi negatifnya yang menjadi tantangan tersendiri untuk ke depannya,” kata dia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now