Menu Close

Pakar Menjawab: ini dampak ekonomi yang mungkin dirasakan Indonesia dari konflik Rusia-Ukraina

Photo by Matti from Pexels

Perang Rusia dan Ukraina telah menelan ribuan korban dan menimbulkan aliran pengungsi semenjak dimulai sejak 24 Februari.

Krisis humaniter yang terjadi di Ukraina perlu menjadi prioritas utama masyarakat dunia. Namun demikian, ekonom juga telah mewanti-wanti agar negara-negara lain mengantisipasi potensi dampak ekonomi global dari konflik tersebut.

Walaupun berada jauh dari pusat konflik, bukan berarti cipratan dampak ekonomi dari perang tidak akan dirasakan Indonesia.

Berikut adalah rangkuman pendapat para ahli mengenai potensi dampak yang mungkin harus dihadapi Indonesia.

1. Perlambatan ekonomi

Shofwan Al-Banna Choiruzzad, pakar ekonomi politik internasional dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa walaupun perdagangan langsung antara Indonesia dengan Ukraina atau Rusia relatif terbatas, bukan berarti dampak dari perang tidak akan terasa.

Salah satu dampak yang mungkin harus dihadapi Indonesia adalah potensi perlambatan ekonomi.

“Perang Rusia-Ukraina jelas memberikan dampak sistemik pada ekonomi global yang bahkan sebelum konflik outlook-nya (prospek) pun tidak terlalu menggembirakan karena pandemi COVID-19,” tutur Shofwan

“Ekonomi dunia yang masih tertatih karena pandemi akan semakin melambat, dan itu tentu berdampak pada Indonesia.”

Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memperkirakan bahwa pertumbuhan global akan melambat dari 5,9% pada 2021 menjadi 4,4% pada 2022.

Selain pandemi, angka ini mencerminkan penurunan kondisi di dua ekonomi terbesar dunia yaitu Amerika Serikat (AS) dan Cina.

Walaupun belum ada estimasi pasti seberapa besar pengaruh perang tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi global, The Wall Street Journal menyatakan bahwa melonjaknya harga komoditas, meluasnya sanksi finansial, dan potensi pelarangan impor energi dari Rusia setelah menginvasi Ukraina akan melumpuhkan ekonomi global yang masih melemah akibat pandemi COVID-19.

Di era globalisasi dan liberalisasi ekonomi, perlambatan ekonomi global dapat berpengaruh negatif terhadap perekonomian nasional. Mohamad D. Revindo dari Universitas Indonesia menjelaskan bahwa perlambatan ekonomi global dapat berpengaruh ke Indonesia melalui tiga jalur, yaitu jalur perdagangan, jalur investasi, dan jalur keuangan dan pasar modal. Investor dari negara-negara besar, misalnya, akan kesulitan untuk menanam modal atau menarik investasi mereka di tengah perlambatan ekonomi global.

Sementara, awal tahun ini, IMF telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2022. Perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini sebesar 5,6%, atau lebih rendah 0,3% poin dari perkiraan sebelumnya yang mencapai 5,9%.

2. Pangan

Ukraina dan Rusia masing-masing merupakan penghasil gandum besar dunia.

Shofwan mengungkapkan bahwa hal ini akan berdampak pada keamanan pangan global, terutama di negara-negara yang sumber pangannya dari kedua negara tersebut.

“Sayangnya, banyak negara-negara berkembang dan bahkan negara yang masih dalam krisis yang bergantung pada gandum dari kedua negara tersebut, seperti Mesir, Lebanon, atau Yaman,” ujarnya.

“Hal ini mungkin juga akan menghadirkan dampak ikutan yang bisa terasa ke Indonesia.”

Pakar dari Universitas Bina Nusantara, Paramitaningrum, menekankan bahwa konflik di Ukraina akan mempengaruhi pasokan dan distribusi gandum ke negara pembeli dan di pasar internasional.

“Kita tahu, masyarakat Indonesia konsumen gandum dalam bentuk roti, kue, dan mi dalam jumlah besar,” tegasnya.

Sebagai salah satu produsen mi instan terbesar di dunia, Indonesia mengimpor gandum dengan jumlah yang signifikan.

Tercatat, sepanjang 2021 impor tepung gandum Indonesia mencapai 31,34 ribu ton dengan nilai total US$11,81 juta (Rp 169 miliar).

Walau Ukraina tidak termasuk dalam lima teratas pemasok bulir ataupun tepung gandum Indonesia, kita tetap perlu waspada dengan potensi kenaikan harga komoditas tersebut akibat gangguan pada rantai pasokan global.

3. Energi

Rusia dan Ukraina merupakan produsen minyak dan gas yang penting. Banyak negara di Eropa yang bergantung pada pada pasokan gas dari Rusia, yang disalurkan melalui beberapa pipa penting.

Sarah Schiffling dari Liverpool John Moores University dan Nikolaos Valantasis Kanellos dari Technological University Dublin menyebutkan bahwa, walaupun penghentian aliran gas dari Rusia ke Eropa sepenuhnya sangat tidak mungkin dilakukan, gangguan suplai yang kecil dapat menimbulkan dampak yang signifikan.

Saat ini, cadangan gas global cukup rendah akibat pandemi dan berujung pada lonjakan harga energi yang berdampak bagi konsumen dan industri.

Harga gas alam (UK spot, pence per satuan termal energi panas)

Natural gas price chart
Trading Economics

Schiffling dan Kanellos menegaskan bahwa dengan posisi gas sebagai komoditas penting dalam rantai pasokan global, timbulnya gangguan dapat mengakibatkan konsekuensi ekonomi yang cukup luas.

Suplai energi Indonesia berasal dari impor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor minyak dan gas (migas) Indonesia mencapai US$196,20 miliar (Rp 2.805 triliun) atau meningkat 38,59 persen dibandingkan 2020. Kenaikan harga energi global dapat memperdalam defisit neraca perdagangan migas Indonesia dan memicu inflasi.

4. Komoditas non-migas

Rusia dan Ukraina merupakan produsen terbesar logam seperti nikel, tembaga, dan besi. Keduanya juga terlibat dalam ekspor dan pembuatan bahan baku penting lainnya seperti neon, paladium, dan platinum.

Schiffling dan Kanellos menyatakan bahwa kekhawatiran terhadap sanksi ekonomi terhadap Rusia mendorong kenaikan harga komoditas logam ini.

Harga paladium, contohnya, mengalami kenaikan 80% dari pertengahan Desember hingga kini menyentuh kisaran US$2,700 per ons. Paladium merupakan komponen dari berbagai macam barang seperti sistem pembuangan otomotif, telepon seluler, hingga tambalan gigi.

Sementara, harga nikel dan tembaga, yang masing-masing digunakan dalam produksi manufaktur dan bangunan, juga mulai membumbung.

Produsen perlu mengantisipasi gangguan dan kelangkaan pasokan material-material ini, yang kemungkinan akan mengarah pada kenaikan harga pada berbagai produk barang dan jasa.

Di luar larangan dan batasan ekspor bahan mentah, sebagai produsen nikel terbesar dan salah satu penghasil tembaga top dunia, Indonesia bisa saja diuntungkan oleh potensi lonjakan harga ini.

Akan tetapi, Indonesia juga harus waspada akan naiknya harga barang dan jasa yang terimbas disrupsi distribusi komoditas logam.

Apalagi, Indonesia tercatat masih mengimpor total US$506,2 juta besi dan baja dari Rusia dan Ukraina sepanjang 2020.

5. G20

Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan G20 - kelompok negara yang merepresentasikan 85% ekonomi - pada tahun ini.

Menurut Shofwan, meskipun dampak langsung mungkin masih terbatas, ada berbagai potensi kesempatan yang terancam.

Salah satunya misalnya rencana untuk memanfaatkan presidensi G20 Indonesia untuk mendorong pembangunan dan pemulihan ekonomi akibat pandemi, yang mungkin akan meningkatkan tensi diskusi karena forum tersebut melibatkan Rusia sekaligus negara-negara anggota aliansi militer negara-negara Atlantik Utara North Atlantic Treaty Organization (NATO).

Ukraina sempat mendesak untuk dapat menjadi bagian dari NATO, yang awalnya terbentuk di awal Perang Dingin untuk melindungi negara-negara sekutu dari Uni Soviet.

Presiden Rusia Vladimir Putin dikabarkan geram dan tidak ingin Ukraina bergabung dengan NATO. Belakangan, NATO memang berkembang ke timur dan mengambil negara-negara bekas blok Soviet hingga membuat marah Pemerintah Rusia.

Negara-negara anggota NATO yang juga menjadi anggota G20 antara lain adalah AS, Italia, Jerman, Kanada, Prancis, dan Inggris.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now