Menu Close
Pengunjung memindai kode QR aplikasi PeduliLindungi sebelum masuk pusat perbelanjaan di Manado, Sulawesi Utara, 1 Oktober 2021. ANTARA FOTO/Adwit B Pramono/rwa

PeduliLindungi baru wajib setelah 1,5 tahun pandemi: kisah Cina, Singapura, dan India pakai aplikasi serupa lebih awal

Setelah satu setengah tahun pandemi dan gelombang lonjakan COVID-19 menghajar Indonesia pada Juni-Agustus, mulai akhir Agustus lalu, pemerintah baru mewajibkan penduduk menggunakan aplikasi PeduliLindungi di ponselnya untuk melacak kontak COVID-19 saat mereka akan masuk mal dan tempat publik.

Peraturan wajib itu datang saat kasus COVID telah mencapai angka 4 juta kasus dengan kematian lebih dari 140 ribu.

Sebenarnya, pemerintah merilis aplikasi tersebut sekitar tiga pekan setelah kasus COVID-19 pertama di Indonesia diumumkan pada 2 Maret tahun lalu. Kala itu penggunaan aplikasi di ponsel itu mengandalkan kesukarelaan penduduk.

Sementara, laporan fungsi “pelacakan” dari PeduliLindungi baru terpublikasi pada September 2021 saat Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyatakan sekitar 1.600 orang positif COVID-19 berkeliaran di mal dan terdeteksi saat lapor masuk (check-in) di mal.

Padahal, jika pemasangan aplikasi ini diwajibkan sejak awal dan diumumkan secara reguler, maka pemerintah punya kesempatan lebih banyak membuat keputusan dengan basis data yang kuat untuk mencegah keadaan lebih buruk.

Sebuah kajian dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (kini Badan Riset dan Inovasi Nasional), yang laporannya sedang saya tulis, menunjukkan penggunaan aplikasi pelacak serupa sebenarnya efektif untuk membantu pelacakan (tracing) di Cina, India, dan Singapura dan mengendalikan pandemi. Penerapannya bisa menjadi pembelajaran bagi Indonesia.

Pelacakan COVID via ujung jari

Aplikasi pelacak kontak COVID-19 PeduliLindungi dan sejenisnya memanfaatkan teknologi Bluetooth dan internet pada ponsel pintar. Aplikasi ini mengandalkan partisipasi masyarakat dengan cara memindai kode QR di ponselnya di pusat belanja, restoran, perusahaan dan tempat publik lainnya.

Saat pemindaian kode QR dalam proses check-in di pintu masuk gedung, aplikasi akan menunjukan warna hijau (boleh masuk), dan kuning (pengecekan lebih lanjut). Ada juga indikator warna merah (tidak boleh masuk karena belum vaksin), dan hitam (tidak boleh masuk karena terkonfirmasi positif).

Di Indonesia, kewajiban pemindaian ini tidak luput dari kritik. Misalnya, selain dianggap menyulitkan pemerintah dan dunia usaha akibat tingkat vaksinasi nasional yang masih di bawah 50%, masyarakat masih menemui banyak kendala teknis. Para pakar juga mengkritisi keamanan datanya.

Sebagai episentrum awal munculnya COVID-19, Cina juga menjadi yang pertama memanfaatkan aplikasi pelacak COVID-19 pada awal pandemi. Pelacakan dilakukan dengan memanfaatkan kode QR atau Jian Kang Ma (kode kesehatan) pada perangkat ponsel warga.

Teknologi ini menggunakan aplikasi pembayaran digital yang telah dipakai mayoritas warga seperti AliPay dan WePay. Dengan sistem politik Cina yang ketat mengontrol penduduk, sistem pelacakan di sana berjalan lebih mudah.

Setiap aktivitas harus diawali dengan pemindaian kode QR pada ponsel warga. Hasil pemindaian dan data riwayat perjalanan akan terintegrasi dalam big data pemerintah Cina dan menghasilkan kode warna untuk mengatur pergerakan warga.

Kode hijau memungkinkan pergerakan bebas, kode kuning membutuhkan karantina mandiri selama tujuh hari, dan kode merah membutuhkan karantina di fasilitas pemerintah atau mandiri selama 14 hari. Kode QR tersebut juga menjadi “kode identitas” personal sehingga mempermudah saat pelacakan suspek.

India juga memiliki aplikasi pelacakan bernama Aarogya Setu dan wajib digunakan oleh seluruh penduduk India sejak Mei 2020.

Selain berfungsi memberikan notifikasi jika pengguna kontak erat dengan kasus positif, aplikasi ini juga memberikan informasi COVID-19 terkini di area lokasi pengguna berada.

Aplikasi tersebut menyimpan data riwayat lokasi dari pengguna dengan menggunakan global positioning system/GPS dan Bluetooth. Ketika berada di zona merah, maka aplikasi akan memberikan peringatan. Aplikasi ini juga mampu menghitung risiko infeksi pengguna berdasarkan riwayat perjalanan dan merekomendasikan pengetesan lebih lanjut.

Singapura juga sukses memanfaatkan aplikasi pelacak bernama TraceTogether. Aplikasi ini bekerja dengan menukar informasi antarpengguna yang berkontak dengan menggunakan Bluetooth ponsel atau token yang disediakan pemerintah.

Meski awalnya pemasangan bersifat sukarela, per Mei 2021 pemerintah Singapura mewajibkan pengunjung pusat keramaian untuk lapor masuk dengan pindai kode QR atau token.

Pada akhir April 2021, tercatat 90% populasi Singapura telah berpartisipasi.

Pembelajaran untuk Indonesia

Penerapan aplikasi pelacak di Cina, India, dan Singapura tidak jauh berbeda dengan aplikasi PeduliLindungi. Namun, hal yang perlu digarisbawahi adalah tindak lanjut dari data yang telah terkumpul.

Pemberlakukan kode warna Jian Kang Ma di Cina terintegrasi dengan big data pemerintah. Sehingga, peta persebaran COVID-19 dapat terbentuk.

Di India, meski diterpa kritik tentang keterbukaan data, aplikasi tersebut tetap diwajibkan oleh pemerintah. Kebijakan tersebut berbuah hasil pelacakan yang masif.

Berdasarkan studi awal Mei 2020, di antara pengguna Aarogya Setu yang direkomendasikan dites COVID, sekitar 24% dinyatakan positif COVID-19. Angka tersebut mencapai lima kali lipat lebih tinggi dibanding tingkat positivitas nasional kala itu.

Penggunaan TraceTogether juga dinilai efektif dalam pelacakan di Singapura. Berdasarkan data Mei 2021, TraceTogether berhasil mempermudah pelacakan dari empat hari hanya menjadi dua hari saja.

Adanya peranti token juga mempermudah warga Singapura yang enggan atau kesulitan memasang aplikasi di ponsel, misalnya untuk lanjut usia.

Tetap digunakan, tapi perlu perbaikan

Berkaca dari negara lain, seharusnya penggunaan PeduliLindungi dapat lebih dimaksimalkan.

Penggunaan token untuk lapor masuk seperti di Singapura juga seharusnya ditiru Indonesia yang penetrasi ponsel pintar masih 58%. Misalnya, pemerintah dapat memanfaatkan KTP elektronik atau modifikasi dari kartu uang elektronik yang sudah marak dipakai masyarakat.

Upaya terbaru dari Menteri Kesehatan untuk mempermudah lapor masuk (check-in) perlu diapresiasi yaitu mengandalkan nomor induk kependudukan (NIK) yang telah terdaftar di basis data PeduliLindungi sehingga tidak perlu proses pindai ponsel.

Hal yang penting lainnya adalah masa penyimpanan data di bank atau server data pemerintah. Batasan waktu penyimpan data harus jelas dan sementara. Pemerintah India menyimpan data pelacakan selama 60 hari, Singapura 25 hari, Cina tidak diketahui, dan Indonesia menyimpannya selama pemerintah belum mencabut status pandemi.

Terkait kritik terhadap privasi data, selain harus melindungi data pribadi masyarakat, pemerintah perlu mencermati tindak lanjut dari data tersebut. Apakah data tersebut bisa dimanfaatkan untuk mempercepat pelacakan kontak, akses peta persebaran COVID, atau integrasi dengan fasilitas kesehatan jika pengguna terkonfirmasi positif?

Jika bisa, tingkat kepercayaan masyarakat akan meningkat karena besarnya manfaat aplikasi tersebut.

Sejatinya regulasi pemerintah, peran tenaga pelacak, serta partisipasi masyarakat adalah kunci utama dari penerapan pelacakan kontak COVID. Aplikasi PeduliLindungi pada akhirnya hanya teknologi yang bertujuan membantu pelacakan menjadi lebih mudah dan cepat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now