Menu Close

Pendekatan humanis gereja Katolik pada tahanan politik terduga komunis pasca 1965

Demonstran melakukan unjuk rasa menolak PKI di depan Istana Merdeka, Jakarta. Protes serupa dari kalangan agama juga pernah terjadi pada tahun 1965. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/aww/16.

Pada dini hari 1 Oktober 1965, enam jenderal Angkatan Darat dibunuh. Partai Komunis Indonesia (PKI) ditengarai berada di balik plot perencanaan pembunuhan tersebut.

Tak heran, seminggu setelah pembunuhan tersebut, Ibu Kota Jakarta dipenuhi unjuk rasa antikomunisme.

Relatif banyak kelompok agama terlibat dalam gerakan antikomunis ini. Beberapa di antara mereka adalah kelompok pemuda Islam dari Nahdlatul Ulama yang tergabung dalam Forum Aksi Mahasiswa Indonesia, yang nantinya dikenal dengan sebagai Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan beberapa pendeta di Flores, Nusa Tenggara Timur.

Telegram Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta kepada Washington melaporkan bahwa kelompok Muslim memotori unjuk rasa antikomunis dengan menyerang semua yang dicurigai berafiliasi dengan PKI. Tak hanya itu, mereka juga merangsek rumah-rumah pribadi.

Meski ada beberapa kelompok Katolik yang juga terlibat dalam gerakan antikomunis ini, seperti Pemuda Katolik dari PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), penelitian doktoral saya menunjukkan bagaimana gereja Katolik memiliki cara yang berbeda dalam menanggapi isu 1965 ini dengan menggunakan pendekatan yang humanis.

Pendekatan humanis sangat terlihat dalam pelaksanaan Program Sosial Kardinal yang digagas beberapa pastor untuk membantu tahanan politik terduga komunis dengan memberikan pakaian, makanan, bahkan pendampingan kerohanian tidak hanya buat mereka tapi juga keluarga mereka.

Pendekatan humanis

Hingga kini, gereja Katolik masih menolak komunisme, khususnya terkait dimensi ateisnya. Ketika itu, gereja Katolik juga menolak paham komunisme di Indonesia.

Namun, gereja masih tetap berusaha membantu mereka yang dituduh komunis.

Pada 22 Oktober 1965, Vicar Jenderal P. Carri dari Serikat Yesuit (SJ), yang merupakan sekretaris dari Keuskupan Agung Semarang mengeluarkan Surat Gembala, semacam surat pemberitahuan, yang menyerukan kepada umat Katolik untuk tidak terlibat aksi kekerasan pergerakan antikomunisme yang sedang marak.

Pihak gereja mengeluarkan imbauan ini karena mengingat bahwa sebagian besar umatnya, khususnya pemuda dan pelajar, terlibat dalam pergerakan antikomunisme.

Selain mengeluarkan imbauan tersebut, pada 1969, Kardinal Darmoyuwono - Paus Paulus VI menunjuknya sebagai kardinal yang pertama dari Indonesia - mengusulkan pembentukan Program Sosial Kardinal untuk menolong para tahanan politik yang mengalami kekerasaan dan pemenjaraan yang tidak manusiawi.

Ide program tersebut tanggapan terhadap laporan yang disusun oleh beberapa pastur bersama tim dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Laporan tersebut menunjukkan bahwa proses pemenjaraan dengan penyiksaan, pembiaran kelaparan, dan bahkan pemiskinan justru akan mempermudah orang-orang komunis untuk mengumpulkan pengikut mereka.

Laporan Romo Paul Chauvigny de Blot terkait kondisi para tahanan politik terduga komunis. Rémy Madinier

Program Sosial Kardinal ini memberikan bantuan tidak hanya bagi tahanan politik tapi keluarganya. Hal ini karena penangkapan masif dan pembunuhan massal terhadap simpatisan komunis mengakibatkan banyak orang kehilangan anggota keluarga: perempuan-perempuan menjadi janda, anak-anak terlantar karena yatim-piatu.

Beberapa tahun sebelum Program Sosial Kardinal terbentuk, Romo Stanislaus Sutopanitro atau yang kerap dipanggil Romo Suto, seorang pastor tentara, bercerita bahwa saat mengunjungi penjara-penjara sebagai bagian dari pelayanan gereja kala itu ia pernah menyaksikan seorang bayi dibiarkan sendiri di bawah terik matahari. Sementara itu pada saat yang sama, petugas menginterogasi ibunya.

Romo Suto. Gloria Truly Estrelita

Akhirnya, gereja Katolik memutuskan supaya program juga melibatkan keluarga dari para tapol.

Bantuan yang diberikan berupa pangan, sandang, layanan kesehatan termasuk kesehatan mental, pelatihan ketrampilan atau kerja, korespondensi dengan keluarga, dan juga pendidikan bagi anak-anak tahanan politik.

Program ini melayani tahanan politik dari agama apa pun di seluruh Nusantara: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.

Relawan yang terlibat termasuk pekerja sosial, pengacara, dokter, dan mahasiswa. Mereka mencatat informasi tentang orang-orang yang meminta bantuan. Catatan ini mendokumentasikan informasi dari individu dan keluarga serta keadaan mereka.

Apresiasi dari para tapol

Pendekatan humanis yang dilakukan gereja Katolik mendapat apresiasi dari para tahanan politik.

Saya pernah mewawancarai salah seorang tapol yang pernah ditahan di Pulau Buru, Maluku. Di rumahnya di Klaten, Jawa Tengah, Pak Teguh - yang saat ini sudah meninggal - bercerita bagaimana para perwakilan agama lain kerap memaki, bahkan mengutuk para tahanan dengan mengatakan mereka sebagai pendosa yang pasti masuk neraka. Sedangkan, menurut dia, para pastor justru menunjukkan sikap sebaliknya, ramah dan terbuka.

Alkitab yang selalu menemani Pak Teguh selama hidup di Pulau Buru. Karena para tapol dilarang memiliki alat tulis, ia menjadi tempat catatan Pak Teguh mengulaskan perasaan dan pikirannya. Gloria Truly Estrelita

Akibatnya, tidaklah mengherankan bila relatif banyak tapol, termasuk yang non-Kristiani, mendekatkan diri kepada para pastor dan suster Katolik untuk berkonsultasi.

Aktivis dan seniman Tedjabayu Soedjojono, putra pertama dari pelukis S. Soedjojono, yang juga dikirim ke Pulau Buru, pernah berkata dalam sebuah wawancara langsung: “Susteran Namlea adalah surga bagi para tapol di tengah-tengah gulag yang bernama Pulau Buru!”

Susteran Namlea yang dimaksud adalah Paroki Santa Maria Bintang Laut, Kabupaten Buru, Maluku.

Tedjabayu Sudjojono dalam sebuah acara diskusi di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta, 2015. Stéphane Roland

Tedjabayu menambahkan bahwa kesusteran bukan hanya rumah bagi para tapol Kristiani, tapi juga tapol-tapol Muslim dan Budha.

“Suster-suster itu kerap memberikan bacaan, obat-obatan, hingga kacamata baca,” ujarnya.

Katolik yang lebih terbuka

Pelaksanaan Program Sosial Kardinal menunjukkan sikap gereja Katolik yang lebih membuka diri terhadap umat agama lain setelah reformasi gereja.

Reformasi gereja dimulai dengan berakhirnya Konsili Vatikan II pada Desember 1965.

Sebelum Konsili Vatikan II, gereja tampil sebagai institusi yang ekslusif dan pelayanan gereja hanya diperuntukkan bagi umat Katolik.

Ahli tentang Indonesia Rémy Madinier dari ENS Lyon menulis bahwa di Indonesia, Konsili Vatikan II membawa cara pandang baru terhadap peran gereja dalam mendukung keadilan.

Selain itu, pelayanan gereja yang mulanya hanya diperuntukkan bagi umat Katolik, kini terbuka bagi semua orang dari latar belakang apa pun.

Hal ini yang mungkin mendorong terbentuknya hubungan yang akrab antara para pastor, khususnya para Yesuit dengan para tahanan politik terduga komunis meski dengan latar belakang agama yang beragam.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now