Menu Close

Pendidikan trans-ASEAN mengajak mahasiswa mengalami wawasan regional yang sesungguhnya

Mahasiswa dari berbagai negara ASEAN melakukan pertukaran di universitas di Thailand. Thiranun Kunatum/Shutterstock

Perayaan ulang tahun ke-50 ASEAN pada Agustus tahun lalu mulai meredup, dan sekarang justru perhatian tertuju pada pelbagai tugas demi mencapai visi ambisius untuk menciptakan masyarakat ekonomi, sosial budaya, dan politik yang terintegrasi. Pendidikan adalah satu bidang yang dianggap berperan penting dalam proses pembentukan masyarakat ASEAN ini.

Rencananya adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan membentuk identitas regional, sambil menyumbang pada pertumbuhan ekonomi. Dari sekian banyak rencana aksi yang disusun pada ASEAN Summit ke-14 di Cha-Am Hua-in pada 2009, regionalisasi pendidikan tinggi mendapat tempat penting dalam agendanya.

Inisiatif berpusat pada memupuk kerja sama antara lembaga pendidikan dengan meningkatkan daya banding mereka melalui jaminan kualitas dan kerangka kualifikasi. ASEAN juga berencana mendorong proyek-proyek riset bersama dan mendorong mobilitas mahasiswa dan staf melalui sistem transfer kredit bersama dan mekanisme lain yang sejenis.

Pembentukan “Ruang Bersama ASEAN untuk Pendidikan Tinggi” melibatkan 6.500 lembaga pendidikan dan sekitar 12 juta mahasiswa. Tantangannya memang banyak dan rumit, sebagaimana diungkapkan dalam diskusi November lalu pada acara tentang topik ini yang diadakah oleh SEA Junction dan kantor Asia TenggaraHeinrich Boell Foundation di Bangkok, Thailand.

Lingkungan yang kompleks

Sebagai awalan, mahasiswa di kawasan ini masih cenderung mengikuti pola lama yaitu belum menimbang universitas di Asia Tenggara ketika memilih universitas untuk kuliah di luar negeri, walau ada perubahan tempat tujuan.

Dulu, universitas-universitas pilihan kebanyakan di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia dan sebagian di Jepang. Sekarang Cina dan India juga dipertimbangkan. Memang universitas-universitas di luar Asia Tenggara cukup bersemangat memelihara preferensi ini sehingga rekrutmen mahasiswa mereka cukup luas dan semakin meluas.

Misalnya, data dari International Education Expo pada November 2017 di Bangkok menunjukkan para pengunjung (kebanyakan orang Thailand) masih memfavoritkan Inggris, AS, dan Australia sebagai tujuan kuliah luar negeri mereka. Dari 20 tujuan terfavorit, hanya ada dua negara ASEAN: Singapura di posisi ke-9 dan Malaysia ke-20.

Dalam hal lembaga pendidikan yang hadir di pameran, sekali lagi universitas dari Inggris dan AS yang paling banyak, diikuti oleh Cina, sebagai negara yang berambisi menjadi pusat pendidikan. Tidak ada lembaga pendidikan tinggi di Indonesia yang berpameran di pameran ini.

Persaingan antara lembaga pendidikan lebih jauh diperketat dengan semakin banyaknya universitas internasional dari luar kawasan yang masuk ke Asia Tenggara. Dalam tren baru ini, tak mau ketinggalan pasar yang menarik dan berkembang, kampus-kampus hadir di Asia Tenggra dalam bentuk “glokal” (global sekaligus lokal). Mereka membuka kampus luar negeri dan kerja sama program akademis seperti Yale-NUS College di Singapura untuk menyebut satu contoh saja.

Contoh lain adalah program “double degree” dan program jalur ke universitas luar negeri (pathway). Mahasiswa akan belajar di negara mereka sendiri untuk satu atau dua tahun, lalu menyelesaikan gelar mereka di Australia, Inggris, dan seterusnya. Saat ini, pilihan semacam ini terutama tersedia di Malaysia dan Singapura, yang memang sudah ada di posisi kuat sebagai pusat pendidikan di ASEAN. Tapi program semacam ini juga semakin banyak ditemui di negara lain, termasuk di Indonesia.

“Glokalisasi” pendidikan juga menyentuh dunia pendidikan maya. Ketersediaan dan akses ke platform digital mengubah bentuk pendidikan di kawasan ini secara mendalam. Platform digital menyediakan akses, yang tak terbayangkan sebelumnya, bagi anak-anak muda untuk mendapat pendidikan dan universitas dunia tanpa perlu meninggalkan negara mereka.

Generasi muda saat ini sadar dan senang dengan kemungkinan belajar yang lebih jauh dari sekadar di kelas biasa. Hal ini terlihat nyata dari penggunaaan platform pembelajaran online seperti Massive Open Online Course (MOOC), Khan Academy, edX, Coursera dan banyak lagi.

Lebih jauh, jiwa kreatif dan wirausaha mereka menginginkan ekosistem pendidikan dan kerja yang bisa memberi mereka otonomi sekaligus mendukung penjelajahan mereka atas kesempatan bisnis atau karier di masa depan.

Mata kuliah dan pendekatan tradisional mungkin tak lagi cukup. Lembaga pendidikan di kawasan ini mendapati bahwa mereka harus cepat beradaptasi untuk merespons tuntutan mahasiswa yang berubah cepat jika mereka ingin para mahasiswa kuliah dan tetap bersekolah di sana. Pergeseran dalam ketertarikan mahasiswa pada mata kuliah termasuk perubahan dari “Pemasaran” ke “Pemasaran Digital”, dari “Pembangunan Sosial” ke “Kewirausahaan Sosial”, dan dari “Ilmu Komputer” ke “Pengembangan Aplikasi”.

Kasus Thailand

Dengan latar belakang perubahan serba cepat inilah negara-negara Asia Tenggara mesti menampilkan diri sebagai opsi pendidikan yang layak dipertimbangkan generasi baru mahasiswa. Mahasiswa baru ini fokus pada mewujudkan aspirasi mereka dan sibuk mencari pekerjaan di dunia yang sangat kompetitif. Dalam memilih, mahasiswa tak hanya menghargai ijazahnya tetapi juga, bahkan mungkin lebih menghargai, pengalaman bersekolah di luar negeri.

Contohnya, pemerintah Thailand telah mempromosikan negaranya sebagai pilihan pendidikan tinggi di kawasan Asia Tenggara terutama bagi negara tetangganya yang memiliki kesempatan pendidikan kurang dari mereka.

Dalam satu dekade terakhir, ada pertambahan jumlah program sarjana, master, dan doktor internasional dalam bahasa Inggris yang melayani baik mahasiswa internasional maupun Thailand yang ingin mengakses pendidikan internasional secara lokal.

Statistik terakhir dari Komisi Pendidikan Tinggi di Thailand pada 2013 menunjukkan Thailand cukup sukses menarik semakin banyak mahasiswa dari negara-negara tetangga. Hal ini, ironisnya, terjadi di tengah laporan bahwa kualitas pendidikan Thailand sedang menurun dan kapasitas pengajaran bahasa Inggris yang terbatas.

Sekarang ini, negara lima besar sumber mahasiswa internasional di Thailand adalah Cina (7.405 mahasiswa), Myanmar (2.252), Kamboja (1.317), Vietnam (910), dan Laos (909). Semakin banyak dari mahasiswa-mahasiswa ini yang membayar sendiri kuliahnya dan bukannya penerima beasiswa seperti dahulu.

Motivasi para mahasiswa ini beragam seperti diceritakan oleh ketua Aliansi Cendekiawan Indonesia-Thailand, sebuah asosiasi mahasiswa Indonesia di Thailand, dan diperlihatkan oleh satu survei informal oleh penulis utama yang mewawancarai mahasiswa ASEAN dan orang tuanya.

Pertama, Thailand disukai karena dekat dengan negara mereka, memungkinkan mereka mudik dengan mudah selama kuliah. Kedua, uang kuliah untuk program internasional di Thailand secara relatif lebih murah dibandingkan Malaysia dan Singapura, apalagi pilihan di luar kawasan.

Selanjutnya, mereka ingin belajar bahasa ASEAN lain, selain Inggris dan atau bahasa Cina. Keempat, para mahasiswa menyukai kesempatan untuk menjadi diri sendiri dan mengekspresikan gaya hidup dan orientasi gender mereka di lingkungan yang lebih terbuka di Thailand.

Terakhir, tapi yang paling penting, adalah keinginan membangun jaringan dengan teman-teman Asia Tenggara yang dianggap bisa menjadi aset di masa depan untuk bisnis dan peluang kerja dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Alasan-alasan ini juga yang dikemukakan Lia, mahasiswi S3 asal Indonesia, tentang mengapa ia memilih studi di Thailand.

Menciptakan pengalaman regional yang sungguh-sungguh

Untuk melayani aspirasi personal para mahasiswa dan kepentingan ASEAN, maka perlu memperkuat tautan-tautan pada berbagai tingkatan sistem pendidikan sehingga kurikulum pendidikan dari negara-negara anggota bisa saling melengkapi dalam membekali sumber daya manusia di kawasan dengan lebih baik.

Mengurangi kesenjangan pendidikan di dalam kawasan juga penting untuk mencegah regionalisasi pendidikan ini menjadi ajang terjadinya “brain drain” (kepergian banyak mahasiswa berkualitas ke luar negara). Risikonya, sebagai contoh, Singapura menarik siswa-siswa terbaik dari Vietnam, Myanmar, dan negara lain, dengan beasiswa lalu merekrut mereka di perusahaan di sana.

Dalam panel yang diadakan SEA Junction dan Heinrich Boell Foundation, para peserta menyampaikan keprihatinan bahwa belajar di negara tetangga akan menjadi pengganti sehingga negara-negara dengan sumber daya yang lebih terbatas justru tidak terpacu untuk memperbaiki sistem pendidikannya. Ini bisa mengorbankan mayoritas siswa yang tidak sanggup untuk pergi ke luar negeri.

Juga ditekankan kebutuhan untuk mengatasi halangan birokratis dan menjadikan pendidikan trans-ASEAN suatu pengalaman regional yang sungguh-sungguh dengan mata kuliah yang memungkinkan siswa untuk belajar di lebih dari satu negara di Asia Tenggara. Program gelar yang multi negara Asia Tenggara akan membantu siswa memahami kawasan lebih baik, belajar mengenai proses regional dan irisannya dengan kenyataan global dan lokal.

Ini hanya beberapa tantangan kunci yang perlu dihadapi dalam rangka “meng-ASEAN-kan” pendidikan tinggi dan merangsang semangat ASEAN pada 2018 dan seterusnya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now