Menu Close

Pengelolaan perikanan berbasis hak berpotensi mengurangi penangkapan ikan berlebihan

Perahu nelayan diistirahatkan di pantai Pacitan, Jawa Timur, 17 Agustus 2017. Utik Margarini/Shutterstock.com

Mengkhususkan wilayah penangkapan ikan untuk kelompok masyarakat termasuk masyarakat adat atau menentukan kuota tangkapan ikan untuk kelompok nelayan bisa mengatasi masalah penangkapan ikan berlebihan di Indonesia.

Pengelolaan perikanan semacam ini dikenal dengan sebutan Hak Pengelolaan Perikanan (HPP) atau rights-based fisheries management, yang memadukan kearifan lokal dan sains perikanan.

Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu memastikan bahwa HPP diadopsi ke dalam revisi Undang-Undang Perikanan yang saat ini sedang dibahas.

Penangkapan ikan berlebihan

Salah satu penyebab utama terjadinya penangkapan ikan berlebihan (overfishing) di perairan laut dunia, termasuk Indonesia, adalah akses terbuka perikanan (fisheries open access). Akses terbuka perikanan terjadi bila aturan pengelolaan yang diterapkan belum mampu mencegah terjadinya perlombaan menangkap ikan (race to fish). Nelayan terus termotivasi untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya karena jika tidak, maka nelayan lain yang akan menangkapnya. Jika dibiarkan, hal ini dapat berujung pada kepunahan sumber daya laut milik bersama (tragedy of the commons).

Padahal di wilayah perairan laut Indonesia, apalagi di dekat pantai, banyak nelayan skala kecil yang menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari yang notabene saat ini dibebaskan dari aturan pengelolaan perikanan.

Ada lebih dari 2 juta nelayan kecil di Indonesia. Mereka sangat penting dalam keberhasilan pengelolaan perikanan Indonesia. Jika tonase seluruh kapal ikan yang berukuran di bawah 10 Gross Tonnage (GT)—kategori nelayan kecil—dijumlahkan, secara nasional total tonasenya hampir sama dengan total tonase armada perikanan skala menengah dan besar yang beroperasi dengan kapal di atas 10 GT.

Kementerian Kelautan dan Perikanan di bawah Menteri Susi Pudjiastuti telah berhasil mengatasi sebagian besar masalah penangkapan ikan ilegal, termasuk juga open access di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, — diukur tidak lebih dari 200 mil laut dari garis dasar—yang luasnya 2,7 juta kilo meter persegi melalui kebijakan pemberantasan penangkapan ikan ilegal dan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan yang tegas.

Tapi tugas berat lainnya adalah mengatasi masalah open access di perairan teritorial Indonesiadiukur tidak lebih dari 12 mil laut dari garis dasar— yang lebih luas yakni 3,2 juta kilo meter persegi.


Baca juga: Dilema penggunaan rumpon: kepentingan ekonomi versus konservasi tuna


Hak pengelolaan perikanan

Ada dua jenis implementasi Hak Pengelolaan perikanan. Pertama, berdasarkan wilayah penangkapan (territorial use rights in fishing) yang berwujud wilayah penangkapan dengan batas-batas yang jelas di laut. Kedua, berdasar kuota penangkapan yang berwujud besaran kuota tangkapan sumberdaya ikan tertentu (catch share).

Hak pengelolaan perikanan (HPP) telah diterapkan di negara-negara yang memiliki data perikanan yang baik (seperti di kawasan utara benua Amerika) maupun data perikanan yang sangat terbatas (seperti di perairan Indo-Pasifik).

Praktik sasi

Di Indonesia, praktik serupa HPP yang didasarkan pada wilayah penangkapan ikan, seperti sasi di Maluku dan Papua, sudah diterapkan sejak ratusan tahun lalu.

Dalam praktik sasi, kelompok-kelompok masyarakat adat yang bermukim di sekitar Kepulauan Maluku menguasai wilayah-wilayah ulayat (adat) di pesisir laut. Wilayah ulayat yang dimiliki kelompok masyarakat adat tertentu dikenal sebagai Petuanan Laut.

Wilayah yang dapat dimanfaatkan bersama disebut wilayah Petuanan Umum. Praktik sasi menunjukkan bahwa konsep hak milik terhadap sumber daya alam, termasuk sumber daya ikan di wilayah tertentu, oleh kelompok masyarakat adat bukan hal yang baru di Indonesia.

Sayangnya, pengelolaan sumber daya laut dengan instrumen sasi terlihat belum maksimal dan masih terbatas pada sumber daya laut yang menetap -merayap didasar laut- seperti teripang dan lola.

Sayangnya, Sasi juga sering dijadikan sebagai alat oleh individu atau kelompok tertentu untuk mempertahankan kekuasaan yang menguntungkan mereka.

Dampak sistem hak pengelolaan perikanan

Penerapan pengelolaan perikanan berbasis hak di berbagai negara terbukti mampu menghentikan dan bahkan membalikkan kecenderungan laju penurunan sumber daya ikan, mengurangi peluang terjadinya penangkapan berlebihan (overfishing), meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan termasuk batasan jumlah tangkapan, dan menjamin ketersediaan lapangan kerja dan keuntungan bagi nelayan.

Dari telaah pustaka dan pengalaman praktisi hak pengelolaan perikanan di Indonesia dan negara lain, ada tiga elemen kunci HPP kontemporer.

1. Eksklusifitas. Pemerintah memberikan hak dan kewajiban eksklusif kepada kelompok masyarakat yang memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya ikan tertentu di suatu wilayah kelola tertentu. Hak dan kewajiban tersebut harus dilindungi oleh undang-undang dan diberikan dalam jangka waktu yang cukup panjang agar kelompok masyarakat pengelola dapat menikmati manfaat dari pengelolaannya.

2. Dapat dipindahkan kepada orang lain. HPP dapat dialihkan kepada orang lain secara terbatas sesuai peraturan perundang-undangan dan selama aturan atau kebiasaan setempat membolehkannya.

3. Dapat dibatalkan. HPP dapat dibatalkan oleh pemerintah bila pemegang HPP tidak memenuhi dan melaksanakan persyaratan yang disepakati atau terbukti melanggar undang-undang dan atau kesepakatan. HPP harus menyertakan mekanisme penerapan evaluasi atas capaian pengelolaan sumber daya ikan secara berkala dan mekanisme perbaikan yang dilakukan bersama antara pemerintah dan pemegang HPP.


Baca juga: Berburu ikan purba di perairan Indonesia Timur


Syarat penerapan

Untuk mendukung penerapan hak pengelolaan perikanan di Indonesia perlu dukungan legal melalui undang-undang dan studi perikanan—seperti dinamika populasi ikan, termasuk di antaranya pendugaan kondisi stok sumber daya ikan yang hendak dikelola.

Elemen eksklusifitas dalam HPP harus didukung oleh undang-undang karena implikasinya tidak membolehkan orang lain yang bukan anggota kelompok masyarakat penerima (pemegang) HPP menangkap ikan tertentu di wilayah pengelolaan yang telah ditentukan.

Status stok sumber daya ikan yang hendak dikelola, yang bisa menjadi indikator keberhasilan penerapan HPP, harus dapat diduga dengan menggunakan metode yang dapat diterima secara ilmiah dan mudah diterapkan untuk kondisi perikanan dengan data yang terbatas seperti di Indonesia.

Indonesia mampu menerapkan HPP

Dukungan pemangku kepentingan perikanan di Indonesia untuk konsep hak pengelolaan perikanan serta sains untuk mendukung pelaksanaannya di Indonesia telah ada dan tersedia.

Setahun belakangan di kalangan akademisi, lembaga non-pemerintah, praktisi perikanan, pemerintah, dan parlemen telah mengemuka wacana tentang hak pengelolaan perikanan sebagai opsi instrumen pengelolaan perikanan, khususnya untuk perikanan skala kecil di wilayah pesisir di Indonesia.

Baru-baru ini sebuah kelompok diskusi informal yang tertarik dengan HPP, Rights-based Fisheries Management (RBFM) Interest Group telah beberapa kali berdialog dengan pemerintah dan anggota parlemen tentang peluang menyertakan HPP ke dalam revisi Undang-Undang Perikanan yang sedang berlangsung. Interest Group beranggotakan individu dengan berbagai bidang keahlian dan profesi terkait pengelolaan perikanan, termasuk akademisi, praktisi perikanan dan konservasi, serta peneliti.

Dari sisi sains perikanan, pendugaan stok untuk perikanan dengan data yang sangat terbatas seperti di Indonesia, juga telah mengalami kemajuan pesat. Saat ini telah dikembangkan model pendugaan status stok jenis ikan berdasarkan informasi Rasio Potensi Pemijahan (Spawning Potential Ratio, SPR) yang dapat diduga hanya berdasarkan data panjang ikan (length frequency) dan informasi parameter pertumbuhan ikan (growth parameters).

Data panjang ikan dapat diperoleh dengan mengukur panjang ikan. Sedangkan parameter pertumbuhan ikan dapat diperoleh melalui penelusuran pustaka tentang ikan sejenis atau yang memiliki kedekatan erat dari negara lain.

Pekerjaan besar institusi pemerintahan, dipimpin oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan dibantu oleh pemangku kepentingan perikanan adalah mentransformasi sasi dan kearifan lokal lainnya yang berbasis adat ke dalam aturan pengelolaan perikanan modern untuk menyelamatkan laut dari eksploitasi berlebihan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now