Menu Close

Pentingnya ASEAN melibatkan masyarakat sipil untuk memecahkan persoalan regional

Para pemimpin negara-negara ASEAN semakin sering beretorika mengutamakan masyarakat ASEAN, tapi mereka sulit berubah untuk mengakomodasi keterlibatan komunitas sipil. Reuters/Erik de Castro

ASEAN perlu memperbaiki proses akreditasi organisasi masyarakat sipil untuk mendukung lebih banyak kegiatan berbasis komunitas yang dapat membantu memecahkan masalah regional.

Hal ini penting karena persyaratan berbelit untuk mendapatkan akreditasi resmi dan aturan ketat soal akses untuk berpartisipasi di pertemuan-pertemuan regional membatasi masyarakat sipil untuk “mempertanyakan kebijakan dan memberi sumbangsih dalam proses pengambilan kebijakan”.

Dengan mengundang kelompok pemangku kepentingan yang lebih luas ke dalam kegiatan regional, ASEAN akan dapat mendengar dan menanggapi suara masyarakat sipil mengenai persoalan yang dihadapi bersama dengan lebih baik.

Persoalan kontemporer ASEAN

Memasuki setengah abad ASEAN, wilayah Asia Tenggara menghadapi sejumlah persoalan. Kekerasan di Myanmar memaksa ribuan masyarakat Rohingya mengungsi. Media independen di Kamboja ditekan oleh pemerintah. Buruh migran dari wilayah Asia Tenggara tidak memiliki perlindungan yang layak.

Untuk menemukan solusi, penting bagi ASEAN untuk mendengarkan suara-suara dari masyarakat sipil. Mereka merepresentasikan kekhawatiran yang layak didengar oleh pemerintah negara-negara anggota ASEAN dan memiliki potensi sumbangsih ide-ide yang lebih tepat untuk memecahkan masalah kompleks di tingkat lokal. Keterlibatan mereka juga akan menguatkan legitimasi ASEAN di wilayah Asia Tenggara.

Mengutamakan masyarakat

Sayangnya, tidak mudah bagi masyarakat sipil untuk mendapatkan akreditasi. ASEAN memberi syarat adanya perwakilan di setiap negara anggota. Maka, organisasi yang bergerak di bidang yang “tidak kontroversial”, seperti di bidang akuntansi atau hobi layangan, mendapat akses pendirian yang mudah di negara-negara yang lebih tertutup. Proses akreditasi ASEAN bagi mereka juga lebih mudah dibandingkan dengan organisasi yang fokus pada isu hak asasi manusia dan keadilan sosial. Sampai Januari 2017, ASEAN telah memberikan akreditasi kepada 52 organisasi.

Komisi HAM Antar-pemerintah ASEAN, badan ASEAN yang menangani isu hak asasi manusia, telah berupaya menyepakati aturan mereka sendiri untuk menciptakan ruang interaksi formal dengan organisasi masyarakat sipil yang tidak memiliki perwakilan di setiap negara. Namun, ini tetap harus disetujui oleh semua perwakilan negara dalam komisi tersebut.

Beberapa pengalaman positif bisa menjadi contoh, seperti hubungan antara ASEAN yang bekerja erat dengan organisasi masyarakat sipil terkait untuk mengembangkan deklarasi regional tentang hak penyandang disabilitas.

Dalam nafas yang sama, ASEAN seharusnya menyambut dan bekerja sama dengan masyarakat sipil untuk mencari solusi untuk melindungi kelompok minoritas dan rentan di wilayah Asia Tenggara, seperti masyarakat Rohingya yang mengalami persekusi di Myanmar.

Pengungsi Rohingya berdiri di atas penampungan mereka di daerah tak bertuan antara perbatasan Bangladesh-Myanmar border di Maungdaw, Myanmar September 9, 2017. Reuters/Danish Siddiqui

Terjebak dalam kerangka lama ASEAN

Pada 2015, negara-negara ASEAN menekankan kembali semangat untuk bekerja sama menciptakan komunitas ASEAN yang mengutamakan masyarakat (warga negara)-tak hanya perwakilan pemerintah negara-negara anggota—memiliki peran dalam pengambilan keputusan di ASEAN.

ASEAN mengalami krisis legitimasi ketika tidak mampu berbuat banyak dalam menghadapi krisis ekonomi Asia. Krisis legitimasi ini mendorong ASEAN untuk bertransformasi menjadi organisasi yang lebih inklusif dan terbuka kepada partisipasi masyarakat sipil.


Baca juga: Indonesia lamban menerapkan kesepakatan ASEAN tentang asap


Namun saat ini, proyek “poros-masyarakat” ASEAN tetap terjebak di antara mimpi mengikutsertakan semua bagian masyarakat negara-negara ASEAN—termasuk masyarakat sipil-terlibat dalam pembangunan masyarakat ASEAN dan praktik kelembagaan lama yang didominasi oleh negara-negara anggota.

Pada 2011, mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menggarisbawahi bahwa:

pembangunan masyarakat ASEAN harus terus melibatkan semua pemangku kepentingan di wilayah ASEAN

dan

mengecilkan makna masyarakat ASEAN dengan menjadikannya sebatas asosiasi antar-pemerintah negara-negara anggota, atau hanya menekankan pada kerja sama ekonomi, meski penting, merupakan sebuah kesalahan.

Meski para pemimpin negara-negara Asia Tenggara semakin sering menggunakan retorika mengutamakan masyarakat ASEAN, nyatanya mereka kerap enggan mengubah kerangka regional yang telah lama memberikan kekuasaan besar pada kelompok elit negara-negara anggotanya.

Para pemimpin tersebut sering kali sibuk dengan kebutuhan untuk mendapatkan keuntungan politik yang cepat, sehingga mereka hanya menganggap ASEAN relevan jika isu di dalam ASEAN cocok dengan kepentingan jangka pendek mereka. Ini juga menghambat munculnya semangat untuk betul-betul mendukung perubahan dalam ASEAN.

ASEAN memang berawal dari sebuah organisasi tanpa badan maupun mekanisme yang mapan untuk mengelola persoalan regional. Seorang peneliti ASEAN ternama, Carolina Hernandez secara tepat menggambarkan, ASEAN lebih senang memilih “deklarasi dibandingkan piagam”, serta, “keputusan yang tak mengikat dan ketaatan pada kesepakatan bersama yang bersifat sukarela” dengan harapan untuk meraih konsensus dan menjaga kesatuan di wilayah Asia Tenggara.

Meski demikian, pendekatan negara anggota ASEAN tidak statis. ASEAN secara bertahap telah menata diri. Keinginan ASEAN untuk merombak organisasi ini dipicu demokratisasi di sejumlah negara Asia Tenggara, ditambah dengan kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan ASEAN mengatasi ancaman regional (termasuk aspek keamanan di luar bidang pertahanan).

Puncak dari proses reformasi ini adalah diadopsinya Piagam ASEAN pada 2007, serta penerapan serangkaian proyek membangun masyarakat ASEAN.

Dalam proses reformasi ini, dukungan Indonesia terhadap demokrasi dan pentingnya mendorong partisipasi masyarakat, secara bertahap diterima oleh negara-negara anggota. Namun, ini hanya bisa diterima setelah nilai-nilai tersebut diselaraskan dengan kerangka institusional ASEAN yang ingin tetap mempertahankan hak-hak elit politiknya.

ASEAN perlu berusaha lebih keras untuk mengembangkan kerangka institusionalnya sehingga organisasi ini dapat tanggap terhadap persoalan yang dihadapi bersama di wilayah Asia Tenggara.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now