Menu Close

Perang dagang di era digital: Perlawanan dari negara berkembang

Inti dari perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina yang terjadi saat ini adalah adanya penerapan tarif atas impor seperti baja, sorgum dan chip silikon. Namun, dengan semakin meningkatnya peran teknologi data dan digital dalam perekonomian dunia, arena baru konflik perdagangan digital muncul.

Pertumbuhan pesat dalam e-commerce, komputasi awan (cloud computing), dan berbagai hal dalam perekonomian digital mendorong pergeseran penting dalam perekonomian global. Perusahaan-perusahaan digital saat ini termasuk dalam perusahaan-perusahaan unggul dalam perekonomian internasional. Sementara itu, proses digitalisasi dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di semua sektor.

Akan tetapi, pertumbuhan serta globalisasi ekonomi digital masih belum didukung oleh kerangka kerja peraturan global yang jelas. Meskipun ada aturan yang jelas yang mengatur perdagangan barang seperti buku dan DVD, masih belum jelas apa yang terjadi ketika barang-barang ini berbentuk digital dan dikirim melewati batas negara melalui platform digital seperti Netflix. Demikian pula, walaupun kita memiliki aturan yang jelas tentang komoditas seperti mobil, TV dan mesin industri, kita tidak memiliki peraturan yang jelas tentang data yang dikumpulkan dan dikirim oleh komoditas tersebut.

Sudah terbangun suatu momentum untuk memberlakukan aturan perdagangan digital. Momentum ini terbangun dengan adanya sejumlah negara, seperti Indonesia, Cina dan Nigeria, yang memberlakukan kebijakan pelarangan aliran data asing dan perdagangan elektronik. Larangan ini tentunya mempengaruhi model bisnis perusahaan digital global terkemuka. Dorongan untuk adanya aturan perdagangan digital semakin menguat pada Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) di Davos awal tahun ini ketika 76 negara mengumumkan rencana untuk memulai negosiasi mengenai perdagangan digital.

Kesenjangan digital

Di balik agenda untuk membuat aturan global tentang perdagangan digital, ada ketegangan hebat yang dapat mengarah pada konflik. Di satu sisi ada Amerika Serikat dan sejumlah negara dengan perusahaan digital terkemuka, yang didukung oleh kekuatan lobi yang luas dari Silicon Valley dan bisnis yang besar. Di sisi lain, sejumlah negara berkembang berusaha untuk menolak aturan baru yang mereka lihat menambah beban namun tidak memberikan manfaat yang jelas bagi mereka.

Perusahaan digital terkemuka, dan perusahaan besar lainnya yang menggunakan alat-alat digital, telah bergerak juga. Mereka mendorong aturan internasional tentang isu-isu seperti aliran data, bea masuk untuk e-commerce dan persyaratan yang mewajibkan perusahaan asing untuk mengungkapkan kode komputer mereka.

Kampanye ini paling terlihat di Amerika Serikat, lokasi perusahaan-perusahaan digital besar seperti Google, Facebook, dan Amazon yang memiliki kekuatan politik yang semakin besar. Mereka telah mendorong dibuatnya aturan perdagangan yang memungkinkan mereka untuk melakukan ekspansi global tanpa harus menghadapi aturan yang rumit dan membatasi kemampuan mereka untuk beroperasi dari jauh di berbagai negara. Inilah inti dari model bisnis mereka.

Selama pemerintahan Obama, kampanye-kampanye yang disebut di atas mendorong munculnya “agenda perdagangan digital” di Amerika Serikat. Aturan perdagangan digital dipandang penting untuk memberikan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang sedang berkembang sebuah pasar global yang dapat diprediksi. Agenda ini diupayakan melalui sejumlah cara, terutama melalui Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), yang digambarkan oleh perwakilan perdagangan Amerika Serikat pada saat itu sebagai “perjanjian perdagangan internet paling ambisius dan visioner yang pernah dicoba”.

Kemitraan Trans-Pasifik mencakup aturan mengenai perdagangan digital. EPA-EFE/Mario Ruiz

Pemerintahan Trump, yang menaruh fokus untuk mendukung bentuk industri tradisional, mengurangi perhatiannya pada perdagangan digital. Hal ini telah menyebabkan meningkatnya peran dari negara lainnya dengan ekonomi digital yang maju seperti Australia, Jepang, dan beberapa negara Eropa. Perubahan ini mendapatkan dukungan dari perusahaan digital global.

Namun ada oposisi kuat dari sejumlah negara berkembang. Banyak dari mereka merasa aturan-aturan ini akan memperluas kesenjangan digital yang sudah ada antara negara maju dan negara berkembang. Hal ini terjadi ketika perusahaan digital lokal dipaksa bersaing dengan perusahaan digital global. Sejarah menunjukkan, mengundang pesaing asing dalam ekonomi yang sedang berkembang berpotensi melemahkan mereka. Terlebih, beberapa negara berpendapat bahwa mereka mungkin perlu mengadopsi kebijakan yang lebih aktif untuk mengembangkan ekonomi digital mereka sendiri. Mereka berpikir peraturan yang dibuat secara global akan membatasi mereka.

Perlawanan negara-negara berkembang mengemuka selama diskusi tentang aturan perdagangan digital baru di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2017. India dan kelompok negara-negara Afrika di WTO memimpin perlawanan ini. Mereka menyoroti risiko penerapan aturan WTO pada perkembangan ekonomi di masa depan. Dengan membangun koalisi tersebut, mereka mampu menolak tuntutan pembuatan aturan baru. Hal ini menyebabkan buntunya pertemuan di WTO.

Penataan ulang global?

Keberhasilan negara-negara berkembang di forum WTO tersebut juga disebabkan oleh kurangnya konsensus yang kuat antara negara-negara maju. Uni Eropa, khususnya, ragu-ragu. Suara-suara utama di Eropa menyatakan keprihatinan tentang dampak peraturan baru terhadap ekonomi digital Eropa. Dampak yang dimaksud termasuk membatasi kemampuan untuk membangun perlindungan data online yang kuat di benua itu.

Namun, baru-baru ini terdapat indikasi yang menyoroti keselarasan yang tumbuh antara negara-negara maju ini. Draf terbaru dari bab perdagangan digital dalam “perjanjian perdagangan yang mendalam dan komprehensif” antara Uni Eropa dan Tunisia menunjukkan pergeseran Eropa menuju posisi yang lebih kuat pada perdagangan digital.

Meskipun demikian, didorong oleh keberhasilan mereka sebelumnya, beberapa aliansi negara berkembang sekarang mencoba untuk mengurangi komitmen perdagangan digital di WTO yang mereka anggap berbahaya. Khususnya, “moratorium e-commerce”–diadopsi pada tahun 1998 di WTO, yaitu kesepakatan antara negara-negara untuk sementara tidak mengenakan bea masuk pada transmisi elektronik. India dan Afrika Selatan mulai memprotes moratorium ini. Mereka melihat aturan ini bermasalah karenamembatasi kemampuan mereka untuk mengumpulkan tarif atas impor dari banyaknya barang yang dijual secara digital.

Posisi-posisi yang berbeda ini cenderung semakin mendorong terjadinya konflik di tahun-tahun mendatang. Taruhannya tinggi dan hasilnya akan membentuk arah ekonomi global di masa depan.

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Ariza Muthia

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now