Menu Close

Petisi “THR PNS” tunjukkan reformasi birokrasi yang parsial dan diskriminatif

Sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan aktivitas kerja. ANTARA FOTO/Reno Esnir/nz/16.

Belum lama ini, sebuah petisi daring yang menuntut pembayaran penuh tunjangan hari raya (THR) pegawai negeri sipil (PNS) viral di media sosial. Pada saat artikel ini ditulis, petisi ini telah berhasil mengumpulkan lebih dari 20.000 tanda tangan dan mendapat simpati dari banyak pihak khususnya pegawai negara dan keluarganya.

Petisi ini muncul karena pemerintah mengingkari janjinya untuk membayarkan THR penuh tahun ini, setelah setahun sebelumnya mereka tidak mendapatkan THR sebagai dampak dari pandemi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengumumkan bahwa tahun ini pemerintah akan membayar penuh THR, tapi kenyataannya besaran yang dibayarkan tidak termasuk tunjangan kinerja. Padahal tunjangan kinerja memiliki porsi yang signifikan dalam mengatrol gaji pokok yang sangat kecil. Besaran tunjangan kinerja biasanya mencapai satu hingga dua kali gaji pokok.

Selain respons terhadap ketidakkonsistenan pemerintah, kami melihat bahwa petisi terkait THR tersebut mengungkap sisi gelap dari reformasi birokrasi di Indonesia.

Reformasi birokrasi yang parsial dan diskriminatif

Reformasi birokrasi di Indonesia dimulai sejak awal 2000-an menyusul tekanan internasional khususnya dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia untuk mendorong sektor publik yang lebih akuntabel. Reformasi yang dilakukan salah satunya berupa pemberlakuan kebijakan remunerasi atau tunjangan kinerja yang layak.

Namun, setelah hampir dua dekade, pada praktiknya, penerapan kebijakan remunerasi bagi pegawai negeri masih parsial dan menunjukkan ketimpangan kekuasaan antarinstitusi pemerintah.

Hingga saat ini, misalnya, ada beberapa pos kementerian, seperti Kementerian Keuangan, yang memiliki besaran penghasilan yang lebih besar dari yang lainnya. Kesenjangan ini yang kemudian mendorong banyak orang menjuluki kementerian keuangan sebagai “Kementerian Sultan”.

Hal ini karena sistem remunerasi Kementerian Keuangan sebagai instansi pemegang anggaran dan yang paling paham desain keuangan kelembagaan memiliki keistimewaan.

Kementerian Keuangan memberikan insentif pendapatan untuk pegawainya di luar dari tunjangan kinerja yang berlaku umum karena keberhasilannya menjadi lembaga yang mampu menghabiskan anggaran terbanyak di 2020 (98,22% dari total anggaran). Kementerian ini mengembangkan sistem remunerasi mereka sendiri yang berdasarkan indek efektivitas sebagai patokan dalam membagikan insentif untuk pegawainya di luar tunjangan kinerja pegawai negeri yang telah ditentukan.

Sementara itu, kementerian-kementerian dan lembaga lainnya hanya menerima besaran remunerasi berdasarkan indikator-indikator yang berlaku universal.

Selain indikator-indikator tersebut, pemerintah memberlakukan kelas jabatan atau yang disebut dengan job grading atau sederhananya kelas jabatan, yang menciptakan kesan rasional dan objektif atas proses distribusi gaji yang sesungguhnya politis dan diwarnai kepentingan yang saling kontradiktif.

Alhasil, besaran yang diterima untuk tiap kelas jabatan di masing-masing instansi bergantung pada kemampuan instansinya mengamankan alokasi anggaran sehingga penghasilan yang diterima staf dari kelas jabatan yang sama bisa berbeda-beda tergantung instansinya.

Sebagai ilustrasi, pegawai negeri di kementerian dan lembaga golongan III (lulusan S1 hingga S3) rata-rata menerima gaji pokok pada rentang Rp 3 hingga Rp5,9 juta per bulan.

Namun, tunjangan kinerja untuk golongan yang sama di Kementerian Keuangan dipatok sangat tinggi bisa mencapai Rp 46 juta perbulan. Sementara untuk instansi lainnya, maksimal Rp 9 juta rupiah per bulan.

Penyebab reformasi birokrasi yang parsial dan diskriminatif

Sistem remunerasi yang tidak seragam di atas menunjukkan proses reformasi yang parsial dan diskriminatif hingga saat ini.

Kami melihat penyebabnya karena sejak reformasi pemerintah menjalankan manajemen birokrasi layaknya manajemen korporasi.

Pemerintah membagikan tunjangan kinerja kepada pegawai negeri sebagai penghargaan atas tercapainya indikator kinerja layaknya di perusahaan swasta, namun tanpa memperhatikan aspek pemenuhan hak atas penghidupan yang layak bagi pekerja sesuai amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara untuk membayar gaji yang adil dan layak.

Dari analisis kami, pegawai negeri eselon III di luar kementerian keuangan hanya menerima total pendapatan rata-rata Rp 6 hingga Rp 13,9 juta per bulan. Padahal, biaya hidup satu keluarga dengan dua anak di Jakarta, sebagai contoh, adalah sekitar Rp 27 juta per bulan.

Selain itu, pemberian remunerasi juga berdasarkan kemampuan institusi dalam menghasilkan uang dan menyerap anggaran. Hal ini menormalisasi persepsi bahwa pekerjaan di area keuangan lebih penting dari area lain. Akibatnya, meski semua pegawai negeri di berbagai sektor menerima gaji pokok yang sama, namun tunjangan kinerja antarsektor bisa terpaut sangat jauh.

Padahal, riset menunjukkan, persepsi atas pentingnya sebuah pekerjaan bukan ukuran yang objektif atau bebas kepentingan.

Ketidakpuasan PNS

Pendekatan korporat pemerintah dalam menjalankan reformasi birokrasi juga menimbulkan ketidakpuasan pegawai negeri. Di satu sisi, PNS dituntut profesional, melalui penerapan sistem merit dan balanced scorecard untuk mengukur kinerja pegawai, layaknya di korporasi, namun kerja keras mereka tidak dihargai dengan penghasilan yang sepadan.

Kritik atas manajemen birokrasi di masa lampau dikenal lewat istilah PGPS, yang merupakan singkatan dari pintar goblok pendapatan sama.

Namun saat ini PGPS memiliki makna baru yaitu “pendapatan government (pemerintah) pemikiran swasta” karena diterapkannya pendekatan korporat namun tidak memberi remunerasi yang sepadan.

Remunerasi yang tidak layak mendorong ‘korupsi’

Hanya sebagian kecil instansi yang telah mengalami lompatan remunerasi yang signifikan seperti Kementerian Keuangan. PNS di luar Kementerian Keuangan masih diimajinasikan sebagai entitas yang digaji murah sehingga berkontribusi pada langgengnya praktik-praktik pemberian uang “terima kasih” maupun praktik “bagi-bagi” oleh pelaku bisnis.

Riset penulis pertama membuktikan bahwa remunerasi yang buruk berkontribusi pada langgengnya praktik-praktik yang lazim disebut sebagai korupsi.

Belajar dari serikat pegawai negeri di negara lain

Wacana yang tertangkap di media sosial jelas menggambarkan bagaimana reformasi birokrasi yang berjalan saat ini telah mengabaikan keadilan remunerasi bagi sebagian besar PNS.

Keadilan remunerasi dapat dicapai jika proses formulasi kebijakan dilakukan dengan melakukan pendekatan konsultatif yang melibatkan pegawai negeri itu sendiri.

Mereka juga perlu mengawal wacana pembayaran gaji tunggal dengan besaran yang layak yang tidak lagi memisahkan komponen gaji pokok dan tunjangan yang telah digaungkan sejak 2019.

Untuk memfasilitasi hal ini, pegawai negeri di Indonesia perlu mengorganisasi diri mereka agar lebih berdaya.

Di negara seperti Australia dan India, pegawai sektor publik tergabung dalam serikat yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka.

Lewat serikat, mereka dapat menyuarakan hal-hal yang perlu diperbaiki terkait kondisi kerja seperti jam kerja, hak cuti, termasuk soal penghasilan.

Sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) melakukan halal bilhalal usai mengikuti apel gabungan hari pertama masuk kantor setelah cuti bersama Idul Fitri 1439 Hijriah di Aceh. ANTARA FOTO/Rahmad/ama/18.

Hak berserikat adalah hak warga negara yang dilindungi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Praktik berserikat bukan hal yang aneh di negara-negara yang pekerjanya telah memiliki kesadaran bahwa proses formulasi kebijakan bersifat dinamis dan seharusnya partisipatif dan inklusif.

Tanpa didampingi kemampuan memperjuangkan hidup layak dan komitmen pemerintah sendiri untuk memperkuat birokrasi, maka cita-cita reformasi menghasilkan birokrasi yang bersih, profesional, dan berkelas dunia adalah bak pungguk merindukan bulan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now