Menu Close
Sports Programs.

Piala Dunia U-20: Penolakan terhadap Israel menunjukkan kurangnya pemahaman Indonesia tentang lex sportiva dalam olahraga

Per 29 Maret 2023 lalu, status Indonesia sebagai tuan rumah perhelatan Piala Dunia U-20 resmi dicabut. Berdasarkan rilis resmi FIFA, keputusan tersebut diambil berdasarkan “kondisi saat ini” yang dianggap tidak memungkinkan Indonesia tetap berperan sebagai tuan rumah.

Meski FIFA tak eksplisit menyebutkan alasan mencabut status tuan rumah Indonesia, diduga kuat penolakan atas kedatangan Tim Nasional Israel merupakan sebab utama.

Penolakan ini awalnya muncul dari surat Gubernur Bali, I Wayan Koster, yang menolak kedatangan delegasi Israel dalam rangka drawing (pembagian grup) Piala Dunia U-20 di Bali. Alasan penolakan Koster adalah karena Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.

Keputusan FIFA ini lantas menuai pro dan kontra. Di satu sisi, pencabutan tersebut dinilai mengecewakan bagi sebagian kalangan, khususnya bagi Tim Nasional Indonesia U-20 yang terpaksa dibubarkan setelah tiga tahun mempersiapkan diri.

Namun, bagi sebagian lainnya, pencabutan status Indonesia sebagai tuan rumah dianggap sebagai konsistensi menjaga haluan politik luar negeri yang sejauh ini menolak kedaulatan Israel.

Polemik ini kembali membuka perdebatan mengenai keterkaitan ajang olahraga dengan hubungan politik internasional. Benarkah olahraga dan politik dapat dipisahkan? Jika bisa, maka sejauh mana kita harus menarik garis?

Lex sportiva: asas universal olahraga internasional

Ada satu faktor yang menyebabkan kerap dibenturkannya sentimen politik dan dunia olahraga: kurangnya pemahaman bahwa olahraga memiliki logika operasionalnya tersendiri, yang dalam hal ini disebut lex sportiva.

Dalam dunia olahraga, lex sportiva adalah sebuah asas bahwa olahraga memiliki hukum yang bersifat otonom, independen, dan berlaku secara universal. Maka dari itu, federasi olahraga internasional berhak untuk mengelola aturannya sendiri tanpa adanya intervensi.

Dalam penyelenggaraan kompetisi olahraga internasional, lex sportiva inilah yang menjadi acuan.

Dalam sepak bola, sebagai sebuah cabang olahraga, maka lex sportiva ada dalam wujud Statuta FIFA. Artinya, seluruh hal terkait penyelenggaraan ajang sepak bola harus didasarkan pada prinsip yang tercantum dalam statuta tersebut, salah satunya adalah prinsip non-diskriminasi.

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Ketentuan Umum Statuta FIFA, setiap anggota federasi tidak boleh melakukan “diskriminasi terhadap negara, individual, atau kelompok atas dasar etnis, gender, bahasa, agama, maupun politik”. Sehingga, meskipun berstatus negara berdaulat, Indonesia dalam lex sportiva FIFA harus ditempatkan pada konteks sebagai anggota federasi.

Lex sportiva memang cenderung lebih inklusif dibandingkan politik internasional yang sarat akan pertimbangan dan kepentingan. Logika yang berjalan antara keduanya pun berbeda – olahraga memiliki hierarki sementara politik internasional berjalan dalam sistem yang anarkis. Inilah juga yang kemudian berpotensi memunculkan benturan, karena tak semua yang diakui sebagai subjek lex sportiva diakui pula sebagai negara dalam pergaulan internasional.

Misalnya, untuk menjadi anggota dalam rezim FIFA, sebuah asosiasi sepak bola nasional hanya disyaratkan untuk mampu mengelola dan mengawasi penyelenggaraan olahraga tersebut di wilayahnya.

Tak hanya itu, wilayah dependensi (yang belum merdeka atau belum memiliki kedaulatan sebagai negara) pun berhak diakui dan memiliki tim nasional asalkan diizinkan oleh negara induknya. Inilah mengapa wilayah-wilayah tak berdaulat seperti Hong Kong, Makau, Kepulauan Faroe, dan Guinea Prancis pun berhak diakui sebagai anggota.

Secara keseluruhan, FIFA memiliki 211 anggota federasi, 18 lebih banyak dibandingkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang hanya memiliki 193 anggota. Pun, di antara 193 anggota itu tak semuanya saling mengakui, contohnya Indonesia yang tidak mengakui Israel.

Tim Nasional Kepulauan Faroe, wilayah Kerajaan Denmark yang diakui FIFA sebagai anggota. Wikimedia

Olahraga dan politik: hubungan penuh kontestasi

Memang naif untuk memisahkan olahraga sepenuhnya dari politik. Tak dimungkiri, olahraga dapat menjadi alat untuk membuat pernyataan politis, karena kemampuannya dalam menyebarluaskan pesan kepada publik dan meyakinkan masyarakat.

Sepanjang sejarah, ada beberapa kasus aksi boikot dalam ajang olahraga internasional atas dasar prinsip politik luar negeri.

Contohnya adalah Commonwealth Games 1986. Ajang olahraga internasional antarnegara persemakmuran yang berlokasi di Edinburgh, Inggris, ini diboikot oleh 32 negara yang mengecam kedekatan Perdana Menteri Margaret Thatcher (1979–1990) dengan rezim apartheid Afrika Selatan. Akibat boikot ini, hanya 27 negara berpartisipasi dalam Commonwealth Games 1986, sehingga penyelenggara mengalami kerugian besar.

Contoh lain adalah Swedia dan Finlandia yang menolak berpartisipasi dalam Kejuaraan Bandy Internasional 2022 di Rusia demi solidaritas terhadap Ukraina. Kompetisi tersebut akhirnya dibatalkan karena terlalu sedikit negara yang berpartisipasi.

Indonesia sendiri sebenarnya bukan kali ini saja menolak delegasi Israel. Pada gelaran Asian Games 1962 di masa pemerintahan Sukarno, penolakan serupa juga terjadi. Meskipun pada akhirnya sukses digelar, sempat ada insiden di mana Sukarno menolak memberikan visa kepada delegasi Israel.

Langkah Sukarno tersebut tersebut dibayar mahal dengan dibekukannya keanggotaan Indonesia dalam Komite Olimpiade Internasional (KOI) dari 1962 hingga 1964. Merespons hal tersebut, Indonesia membuat kompetisi tandingan bernama Games of the Emerging Forces (GANEFO).

Haruskah selalu berseberangan?

Sejatinya, arah politik luar negeri dan keanggotaan olahraga internasional tak selamanya harus bergesekan.

Ketika mengedepankan lex sportiva, negara sebenarnya tak serta-merta mengabaikan politik luar negerinya, tapi lebih kepada menempatkan diri sebagai anggota dari komunitas olahraga internasional yang bersifat universal.

Mengompromikan lex sportiva dan politik luar negeri sebenarnya sudah umum di dalam dunia olahraga, salah satunya adalah pada kasus Palestina. Negara yang baru diakui oleh 138 anggota PBB ini merupakan anggota resmi KOI dan secara rutin berpartisipasi dalam 7 edisi olimpiade internasional sejak 1996.

Uniknya, dari 7 olimpiade itu, hanya satu edisi yang tuan rumahnya memiliki hubungan diplomatik dengan Palestina, yakni Cina pada Olimpiade 2008. Sisanya, yaitu Amerika Serikat (1996), Australia (2000), Yunani (2004), Inggris (2012), Brasil (2016), dan Jepang (2020), tak ada yang secara resmi berdiplomasi dengan Palestina.

Kasus lain yang tak kalah menarik adalah keterlibatan Korea Utara dalam Asian Games 2014 di Incheon, Korea Selatan. Tak hanya dibolehkan berlaga, para atlet Korea Utara pun berhak menampilkan bendera maupun lagu kebangsaan mereka di podium setelah memenangkan 11 medali emas. Padahal, secara de jure, Korea Selatan bahkan tak mengakui Korea Utara sebagai negara.

Kim Un Hyang, atlet senam Korea Utara peraih medali emas Asian Games 2014. Wikimedia

Ada pula kisah dari Kosovo, wilayah yang memisahkan diri sepihak dari Serbia pada 2008. Setelah bergabung dengan FIFA pada 2015, tim nasionalnya berhak mengikuti kompetisi-kompetisi Eropa dan berhadapan dengan negara-negara yang secara diplomatik tak mengakuinya. Salah satunya adalah laga UEFA Nations League pada Juni 2022 melawan Yunani, negara yang secara diplomatik justru amat dekat dengan Serbia.

Soft power tuan rumah

Di era modern sekarang ini, negara tak hanya didefinisikan oleh kekuatan militernya. Jauh pada dekade 1980-an silam, seorang ilmuwan politik bernama Joseph Nye mencetuskan konsep bernama soft power. Konsep ini menggambarkan kekuatan suatu negara untuk melakukan persuasi terhadap negara lain tanpa melalui paksaan, melainkan melalui hal-hal seperti budaya, pariwisata, dan ideologi.

Dengan kekuatannya yang masif, olahraga juga dapat menjadi sumber soft power yang efektif bagi negara. Menggelar ajang olahraga dengan sukses adalah salah satu opsi. Inilah mengapa kian banyak negara berlomba-lomba menjadi tuan rumah kompetisi olahraga internasional. Suksesnya suatu negara menggelar kompetisi internasional akan berdampak pada citranya sebagai negara yang kompeten.

Namun, menjadi tuan rumah pun lebih daripada sekadar memastikan adanya infrastruktur atau jalannya kegiatan. Lebih dari itu, ini menjadi sebuah simbol bahwa negara tersebut siap untuk berkomitmen terhadap filosofi olahraga yang diusung.

Kembali kepada lex sportiva, keputusan untuk melakukan bidding tuan rumah harusnya menyiratkan bahwa negara tersebut sudah selesai dalam menyikapi segala polemik yang berpotensi hadir di depan. Inilah yang mengakibatkan keputusan menolak Israel di tengah jalan terasa janggal.

Pemerintah Indonesia memang perlu melakukan mitigasi risiko secara komprehensif agar preseden seperti ini tak terulang kembali. Namun, penting juga bagi kita untuk memahami bahwa olahraga dan politik luar negeri memiliki hubungan yang amat kompleks. Memang keduanya tak selamanya harus sejalan, namun bukan berarti tak ada jalan keluar.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now