Menu Close
Puluhan pipa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di lepas pantai.
Tanpa ada penurunan emisi yang ambisius, dampak krisis iklim berpotensi meningkat di masa depan. ANTARA FOTO/Fouri Gesang Sholeh/hp/07

Pidato iklim Jokowi : percaya diri tetapi tidak ambisius untuk hadapi krisis iklim

Bertepatan dengan Hari Bumi tanggal 22 April, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memulai pertemuan virtual dengan 40 kepala negara untuk menegaskan komitmen penurunan emisi demi mencegah dampak krisis iklim.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menjadi salah satu kepala negara yang hadir secara virtual dalam Leaders Summit on Climate 2021 tersebut.

Sayangnya, Presiden Jokowi tidak menyentuh sama sekali target penurunan emisi yang lebih ambisius, yang menjadi dasar pertemuan tingkat tinggi tersebut.

Belum ambisius

Secara nasional, Indonesia sudah memiliki target penurunan emisi 29% dan 41% dengan bantuan internasional dibandingkan dengan level emisi bisnis-seperti-biasa, di tahun 2030.

Namun, baik aktivis lingkungan dan peneliti iklim, mengatakan bahwa target tersebut belum membantu kontribusi penurunan angka emisi global secara signifikan.

Padahal, Indonesia masuk ke dalam Top 10 pengemiter di dunia karena perubahan tata guna lahan dan hutan serta konsumsi energi.

Linda Yanti Sulistiawati, dosen Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada dan Senior Research Fellow di Asia Pacific Centre for Environmental Law, NUS Singapura, mengatakan apabila negara-negara, apalagi pengemisi besar, tidak ambisius dalam menaikkan target emisi, maka suhu Bumi akan melebihi 2 derajat Celsius pada tahun 2050.

“Di dalam negeri jelas sama juga. Kalau pemerintah [Indonesia] tidak ambisius, apalagi stakeholders yang lain. Mereka bisa kurang bersemangat dan tidak tertarik kepada kegiatan penurunan emisi karbon,” jelas Linda yang pernah menjadi salah satu anggota delegasi Indonesia untuk perundingan iklim, di Paris, tahun 2015.

Tanpa ada target penurunan yang ambisius, maka negara-negara akan bertubi-tubi menghadapi bencana hidrometeorologi, seperti kekeringan, banjir, longsor, dan puting beliung, hingga penyakit akibat iklim, seperti DBD dan malaria.


Read more: Siklon tropis Seroja mungkin akan hantam Indonesia tiap tahun, tapi belum dimasukkan kluster bencana


“Indonesia memulai tahun 2021 ini dengan deretan bencana […] seperti banjir di Kalimantan Selatan, Jakarta, Semarang, dan siklon tropis Seroja baru-baru ini di Nusa Tenggara Timur,” tandas Adila Isfandiari, peneliti iklim dan energi Greenpeace Indonesia.

Adila menegaskan bahwa Presiden Jokowi belum sadar terhadap urgensi adanya krisis iklim saat ini.

“Padahal, Indonesia sebagai salah satu negara yang masuk dalam daftar 10 besar penghasil emisi karbon terbesar di dunia, sekaligus yang rentan terhadap berbagai dampak krisis iklim,” tandasnya.

“Seharusnya [Indonesia] dapat menggunakan kesempatan dalam KTT [konferensi tingkat tinggi] ini untuk menjadi pemimpin dari Global South [negara berkembang] dalam memerangi krisis iklim.”

Lima orang aktivis lingkungan membawa spanduk berwarna-warni berdiri di trotoar.
Protes para aktivis lingkungan hidup saat Hari Bumi 2021 mendesak pemerintah Indonesia untuk serius menanggulangi dampak krisis iklim, sebelum terlambat. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj

Berpotensi menaikkan target emisi

Secara politis, kehadiran negara-negara pengemisi karbon terbesar di dunia, seperti AS, Cina, India, Jepang, Rusia, bahkan Indonesia dalam Biden Summit menunjukkan bahwa perubahan iklim merupakan isu yang penting dan genting.

Tidak ada pilihan lain bagi para pemimpin dunia, selain memastikan bahwa target pemanasan suhu Bumi berada di bawah 1,5 derajat bisa tercapai.

Linda mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya bisa meningkatkan target penurunan emisi, lebih dari 29% dan 41% (dengan dana internasional).

“Indonesia bisa mencapai target NDC lebih tinggi, apabila dilakukan usaha-usaha di luar dari bisnis-seperti-biasa. Hanya saja, itu belum tercermin dalam pidato maupun NDC kita,” katanya.

Komitmen NDC, atau Nationally Determined Contributions, adalah komitmen penurunan emisi secara suka rela dari negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2030.

Dengan umur ekonomis PLTU batubara di Indonesia yang maksimal hanya sampai dengan 2060 (1 PLTU sekitar 20-30tahun), ia memprediksikan bahwa setidaknya Indonesia bisa mencapai net zero emission pada tahun tersebut.

Net Zero Emissions merupakan suatu kondisi di mana manusia harus menghilangkan sisa emisi dan tidak bisa lagi mengeluarkan emisi karbon ke atmosfer, yang idealnya harus tercapai pada tahun 2050.

Target ini untuk menjaga suhu Bumi berada di bawah 1,5 derajat Celsius, yang menjadi kesepakatan global di bawah Perjanjian Paris.

“Bahkan [bisa] sebelumnya [mencapai net zero emissions], [yaitu] tahun 2050 atau 2040, apabila kita bisa membalik kegiatan konvensional menjadi kegiatan yang menghasilkan energi terbarukan, tidak polutif. Ini tergantung niat dan usaha juga,” jelas Linda.


Read more: Narasi elektrifikasi rezim Jokowi 'menutupi' dugaan pelanggaran HAM di sektor batu bara


Sementara itu, Mahawan Karuniasa, ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia sekaligus dosen Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia, mengatakan Indonesia berpeluang melampaui target NDC tahun 2030, yaitu 29% dan 41%, apabila terus meningkatkan kemampuan pengendalian kebakaran.

Lebih lanjut, ia memberikan ilustrasi bahwa berdasarkan rata-rata pertumbuhan emisi tahun 2000 sampai dengan 2018, maka reduksi emisi pada 2030 dapat mencapai setidaknya 36%-45% dengan perhitungan jika emisi sektor kehutanan dan gambut berada pada 250.000-500.000 ton.


Read more: Tiga kerugian Indonesia bila tidak meningkatkan target penurunan emisi


Sementara itu, Adila mengatakan bahwa Indonesia mempunyai potensi dan kemampuan untuk mencapai komitmen emisi yang lebih tinggi dan cepat, yaitu target net zero emission tahun 2050, bahkan 2045 jika ada kemauan politik yang kuat dari Jokowi.

“Kunci dari hal ini juga adalah desakan publik secara luas, termasuk generasi muda, pemangku kepentingan seperti sektor swasta, ekonom, ilmuwan dan para elite politik, termasuk kepala daerah, kepada Presiden Jokowi,” tegasnya.

Terlalu percaya diri

Indonesia cukup percaya diri dalam memaparkan pencapaian nasional dan menuntut komitmen penurunan emisi dari negara-negara maju dalam pertemuan viral tersebut.

Dalam pidato singkatnya, Presiden Jokowi menyampaikan akan membangun proyek percontohan kawasan industri tanpa emisi karbon (net zero emission) di Kalimantan Utara, rehabilitasi 620 ribu hektare hutan mangrove hingga tahun 2024, dan terbuka bagi investasi untuk transisi energi, bahan bakar nabati (biofuel), industri baterai litium, dan kendaraan listrik.

“Namun, kelemahan posisi Indonesia dalam pernyataan tersebut adalah pada aspek substansi, khususnya terkait komitmen NDC [tahun] 2030 dan Net Zero Emission Global,” jelas Mahawan.

Lebih lanjut, Mahawan mengatakan bahwa Indonesia tidak meningkatkan target mitigasi dan hanya memperkuat isu adaptasi, serta persoalan Net Zero Emission yang belum tuntas di kalangan internal.

“Hal ini berimplikasi pada pernyataan Presiden yang menjadi kurang lugas dibandingkan negara lain,” tambahnya.


Adila Isfandiari, peneliti iklim dan energi Greenpeace Indonesia, telah diwawancarai via email untuk kelengkapan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now