Menu Close

Polarisasi politik tak melulu buruk—asalkan dua syarat terpenuhi

Kecenderungan polarisasi politik di Indonesia efek dari kampanye ketat dan brutal selama pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu antara Presiden Joko Widodo (kiri) dan Prabowo Subianto. REUTERS/Darren Whiteside/Beawiharta

Polarisasi politik di masyarakat, saat warga terbelah ke dalam dua kutub yang berseberangan atas sebuah isu, kebijakan, atau ideologi, telah membentuk wajah politik Indonesia belakangan ini.

Kecenderungan itu merupakan efek dari kampanye ketat dan brutal selama pemilihan presiden (pilpres) 2014 lalu antara Joko Widodo (Jokowi) yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Prabowo Subianto, mantan jenderal di era Soeharto yang mendirikan Partai Gerindra.

Tren polarisasi itu berlanjut pada pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017, dan tampaknya akan berlanjut pada pilpres 2019 nanti jika koalisi partai politik yang bertarung tidak banyak berubah.

Ada kekhawatiran besar bahwa menguatnya polarisasi politik akan merusak kepercayaan (trust) di masyarakat. Sikap saling percaya merupakan elemen dasar dari modal sosial bagi demokrasi.

Banyak penelitian telah membuktikan bahwa sikap saling percaya antarwarga adalah fondasi mikro yang akan mendorong anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Lewat berbagai saluran sukarela, partisipasi politik itu pada akhirnya akan menyuburkan demokrasi.

Karena itu, terkikisnya sikap saling percaya warga dikhawatirkan akan berpengaruh pada keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Rendahnya partisipasi politik, seperti rendahnya penggunaan hak pilih dan keterlibatan warga dalam kampanye maupun pengambilan kebijakan publik, berpengaruh pada rendahnya mutu demokrasi.

Apakah polarisasi politik benar-benar mengkhawatirkan?

Polarisasi massa

Politik Amerika Serikat adalah contoh elite dan warganya terbelah antara kaum liberal dan konservatif, Partai Republik dan Partai Demokrat. Inggris adalah contoh lain yang mengalami polarisasi politik dalam spektrum kiri-kanan, terutama direpresentasikan oleh Partai Buruh dan Partai Konservatif.

Namun, polarisasi tidak hanya dibentuk oleh ideologi. Menurut ilmuwan politik James Q. Wilson (2012), komitmen kuat terhadap kandidat dalam pemilu dapat berpengaruh pada terbentuknya polarisasi di kalangan pemilih.

Polarisasi politik adalah fenomena baru dalam perpolitikan Indonesia. Setidaknya, sejak rezim Soeharto menjalankan politik deideologisasi dan massa mengambang, di antaranya lewat kebijakan partai politik tidak boleh memiliki cabang di bawah tingkat kabupaten, indoktrinasi wajib Pancasila, dan undang-undang yang mewajibkan organisasi masyarakat berasas tunggal Pancasila, perdebatan dan kontestasi ideologis atas sebuah kebijakan absen dalam politik kita.

Keterbukaan di era demokrasi, sesudah lengsernya Soeharto, tak serta merta mendorong debat ideologis di masyarakat. Presidensialisme multi-partai yang kita anut pasca-reformasi justru mendorong munculnya pragmatisme politik: partai-partai politik berkoalisi berdasarkan kepentingan jangka pendek, seperti memperoleh kursi kabinet, tanpa mempertimbangkan ideologi.

Dalam banyak kasus, polarisasi umumnya merupakan perpanjangan perbedaan garis politik yang tumbuh di kalangan elite di legislatif, yang kemudian mempengaruhi perilaku politik warga. Misalnya, perbedaan posisi elite Partai Demokrat dan Republik di Amerika atas isu aborsi pada era 1990-an membuat publik Amerika terbelah dan mengadopsi posisi elite yang mereka dukung.

Namun, dalam politik mutakhir Indonesia, polarisasi lebih merupakan fenomena populer yang berkembang di tingkat massa, ketimbang elite politik.

Kecenderungan non-ideologis politik kepartaian Indonesia membuat elite politik bisa bermanuver ke segala arah. Umumnya mereka bergerombol di kutub koalisi yang berkuasa. Tentu banyak motifnya, tapi mudah untuk menemukan dorongan keuntungan ekonomi dan politik di baliknya.

Misalnya, tidak lama setelah Jokowi memenangkan kursi presiden pada pilpres 2014, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan mengubah haluan koalisi menjadi pendukung Jokowi, yang membuat mereka memperoleh kursi di kabinet. Partai-partai ini meninggalkan Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera di kubu oposisi.

Perubahan koalisi ini tidak serta merta diikuti pendukungnya. Komitmen pemilih terhadap kandidat yang mereka dukung tampak lebih kuat ketimbang pragmatisme elite.

Komentar dan perdebatan politik para pengguna media sosial memperlihatkan jelas bagaimana polarisasi politik terus berlangsung. Para pendukung masing-masing calon presiden pada pilpres 2014 lalu tetap mempertahankan sikap antagonisme mereka hingga kini.

Partisipasi politik

Studi terbaru tentang polarisasi politik mengungkap bahwa polarisasi justru mendorong peningkatan partisipasi politik masyarakat. Sarjana politik Alan Abramowitz (2010), misalnya, menemukan bukti selama pemilihan presiden Amerika pada 2004 dan 2008, para pemilih termotivasi oleh polarisasi politik yang terjadi saat itu. Jumlah pemilih yang lebih tinggi dan keterlibatan dalam kegiatan kampanye adalah hasilnya. Abramowitz menyimpulkan bahwa mereka yang berpartisipasi adalah mereka yang terpolarisasi.

Banyak yang menyaksikan bahwa pilpres Indonesia 2014 telah membelah banyak ikatan keluarga dan teman. Namun, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih mencapai 70%. Angka partisipasi itu cukup tinggi dibandingkan misalnya pengguna hak pilih di Amerika pada pilpres 2016 yang hanya 55%.

Begitu juga dengan pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta. Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih dalam pilgub DKI 2017 mencapai 78% sementara pada 2012 66.7%**

Selain itu, ada fakta penting lain yang muncul: banyak orang menjadi lebih sadar akan politik, ingin tahu tentang kandidat dan kebijakan yang mereka tawarkan, dan berpartisipasi dalam melakukan kampanye untuk kandidat yang mereka dukung. Singkatnya, polarisasi telah mengaktifkan mereka yang sebelumnya tidak terlibat dalam politik untuk lebih aktif dalam politik.

Para pemilih juga menjadi lebih aktif mengawasi kinerja pemerintah. Sementara pendukung Presiden Jokowi terus mendukung setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah, mereka yang sebelumnya tidak mendukungnya terus-menerus mengkritik setiap kebijakan yang diambil pemerintah.

Dengan bantuan media sosial, mudah bagi kedua kelompok untuk menyebarkan opini terkait kebijakan yang mereka setujui atau tidak setujui. Efeknya, pemerintah tidak hanya dituntut lebih transparan dan akuntabel, namun juga harus memiliki justifikasi yang rasional untuk tiap kebijakannya jika tidak ingin dikritik habis-habisan.

Posisi kandidat

Dampak lain dari menguatnya polarisasi massa adalah para kandidat terdorong untuk membedakan kebijakan yang mereka tawarkan kepada para pemilih. Bagi kandidat, itu penting untuk mempertahankan pendukung setia mereka. Bagi pemilih, polarisasi semacam itu akan membantu mereka memilih kandidat yang tepat.

Geoffrey C. Layman dkk menegaskan bahwa perbedaan kebijakan yang lebih jelas antara kandidat akan memungkinkan warga untuk melihat perbedaan posisi kandidat atas suatu kebijakan, sehingga mendorong mereka memberi suara berdasarkan kebijakan.

Pendeknya, polarisasi politik tak melulu berefek buruk. Ia justru berpotensi meningkatkan partisipasi pemilih dan memperkuat dukungan partisan para kandidat.

Tentu saja, polarisasi politik akan memperkuat demokrasi dengan dua kondisi. Pertama, para elite tidak terdorong untuk terus mengeksploitasi politik identitas dan menggunakan kampanye negatif untuk menyerang kelemahan lawan. Upaya-upaya tersebut, seperti tampak pada pilpres 2014 dan pemilihan gubernur Jakarta 2017 lalu, hanya melahirkan kompetisi yang tidak sehat.

Kedua, publik tidak terus-menerus saling menebar kabar bohong dan ujaran kebencian lewat media sosial. Ini kontraproduktif bagi proses demokrasi. Penegakan hukum oleh aparat kepolisian boleh jadi satu cara mengurangi penyebaran kabar bohong dan ujaran kebencian. Kita berharap media massa, sebagai salah satu pilar demokrasi, juga institusi pendidikan dan keagamaan, dapat turut menanamkan kesadaran publik tentang perlunya bersikap etis dan kritis dalam politik. Bukan malah sebaliknya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now