Menu Close

Prabowo pilih Sandiaga, Jokowi pilih Ma'ruf, kompromi politik? Ini analisis para ahli

Sandiaga Uno (kiri) akan bertarung melawan Ma'ruf Amin untuk merebut kursi wakil presiden di pemilihan presiden tahun 2019. Wikimedia commons, diedit oleh Triasa/The Conversation, CC BY

Kandidat presiden Indonesia yang akan bertarung pada pemilihan presiden tahun depan baru-baru ini mengumumkan siapa pendamping mereka, setelah berbulan-bulan penuh spekulasi.

Para ahli mengatakan, nama yang muncul adalah hasil kompromi politik para elite politik yang mengabaikan harapan publik dan hasil survei.

Petahana Joko “Jokowi” Widodo, yang mendukung isu pluralisme dan pergerakan hak asasi manusia dalam pemilu 2014, secara dramatis justru memilih calon wakil presiden dari golongan konservatif yakni Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin.

Pengangkatan Ma'ruf mengejutkan banyak orang karena banyak yang mengira Jokowi akan memilih Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga pluralis Islam.

Di sisi lain, lawan Jokowi, mantan anggota militer Prabowo Subianto akan maju bersama pengusaha yang terjun ke politik yakni Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno.

Penunjukan Sandiaga tidak kalah mengejutkan. Sebelumnya, Prabowo bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono tentang kemungkinan membentuk koalisi dan memasangkan anak SBY, Agus Yudhoyono sebagai pendamping Prabowo.

Kami menanyakan para ahli untuk menjelaskan apa yang terjadi di balik keputusan mendadak ini.


Kompromi elite partai

Burhanuddin Muhtadi — Pengajar bidang pemilihan umum (Pemilu) dan perilaku pemilih di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jokowi memilih Ma'ruf sebagai kompromi atas tuntutan partai-partai koalisinya. Saat ini Jokowi didukung koalisi yang terdiri dari sembilan partai, termasuk di dalamnya para pemain lama seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Ma'ruf yang telah berumur 75 tahun dipilih karena sosoknya yang mungkin diterima oleh partai koalisi. Mengingat usia tuanya, Ma'ruf tidak akan menjadi ancaman bagi mereka pada pemilihan presiden 2024 mendatang.

Sementara itu, Mahfud yang berusia lebih muda—61 tahun—dapat menjadi ancaman potensial bagi partai politik besar. Pencalonan Mahfud sebagai wakil presiden dapat membuka jalan baginya untuk maju sebagai presiden dalam pemilu 2024 mendatang, sesuatu yang ingin dihindari oleh beberapa parpol.

Jika Jokowi memilih Mahfud, dia akan menanggung risiko kehilangan dukungan Golkar.

Sementara itu, Prabowo memilih Sandiaga sebagai jalan keluar dari kebuntuan antara partai koalisinya. Sandiaga adalah pilihan aman di tengah ketegangan antara Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera.

PD ingin anak SBY jadi pendamping Prabowo, sementara PAN dan PKS menawarkan calon lain di luar partai politik yang lebih netral demi mendapatkan suara lebih banyak.

Calon wakil presiden yang tepat untuk Jokowi sebenarnya Mahfud. Hasil survei menunjukkan, elektabilitasnya lebih tinggi dari kandidat lainnya. Sosoknya diterima semua pemilih muslim. Pengalaman Mahfud dalam pemerintahan juga mampu menambal kekurangan pemerintahan Jokowi dalam agenda hukum dan antikorupsi.

Sementara itu, pasangan sempurna untuk Prabowo seharusnya Agus. Ia dapat menarik para pemilih muda. Berdasarkan hasil survei, elektabilitasnya lebih tinggi dari Sandiaga.

Tetapi, pada akhirnya, para elite politiklah yang menentukan calon pendamping Jokowi dan Prabowo.

Hal positif utama dari Ma'ruf bagi Jokowi adalah bahwa ia menghancurkan kemungkinan koalisi ketiga yang dapat mengurangi kemungkinan Jokowi menang.

Kedua, latar belakang kuat Ma'ruf sebagai pemimpin muslim diharapkan dapat melindungi Jokowi dari kampanye hitam menggunakan agama. Pada 2014, kubu Prabowo melabeli Jokowi sebagai pemimpin yang kurang Islami karena agenda pluralismenya.

Jokowi dikenal tidak populer di kalangan pemilih muslim karena pendekatan otoriternya terhadap kaum konservatif muslim selama pemerintahannya kemarin. Untuk itu, penunjukan Ma'ruf diharapkan dapat mempengaruhi para pemilih muslim.

Meskipun demikian, Ma'ruf mungkin juga dapat merusak elektabilitas Jokowi di kalangan pendukung dari kelompok minoritas. Ma'ruf adalah salah seorang tokoh yang menyebabkan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dipenjara karena kasus penodaan agama.

Sementara itu, kekuatan Sandiaga terletak pada usia yang relatif muda yang diharapkan dapat mempengaruhi para pemilih milenial. Sebagai pengusaha sukses, Sandiaga mungkin juga menguntungkan Prabowo dalam hal dukungan keuangan untuk kampanye.

Antisipasi dari Jokowi

Nyarwi Ahmad — Direktur Presidential Studies di Departemen Pusat Penelitian Media Digital dan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada

Pencalonan Ma'ruf adalah bagian langkah taktis Jokowi untuk menarik pemilih muslim. Tampaknya Jokowi ingin mencegah terulangnya perang yang sama yang dilakukan Prabowo pada pemilihan sebelumnya.

Ma'ruf dipilih karena dia telah dianggap sosok yang paling aman oleh pihak lain dalam koalisi Jokowi. Partai politik lainnya menerima pencalonan Ma'ruf karena ia tidak akan menjadi ancaman baru dalam pemilihan 2024.

Pengalaman Ma'ruf yang banyak di lembaga legislatif, pemerintahan dan organisasi muslim diharapkan dapat memaksimalkan mesin politik Jokowi.

Meski begitu, latar belakang Ma'ruf tampaknya tidak cocok dengan figur nasionalis Jokowi. Dengan kata lain, co-branding Jokowi dan Ma'ruf tidak cukup solid. Jokowi mungkin perlu membuat strategi meyakinkan pemilih bahwa dia dan pasangannya mendukung agenda yang sama.

Penunjukan Sandiaga juga merupakan kompromi politik. Itu adalah strategi Prabowo memastikan koalisinya akan tetap utuh.

Prabowo melihat Sandiaga sebagai sosok yang bertolak belakang dengan Ma'ruf. Sandiaga adalah seorang pemuda dan pebisnis profesional. Hal ini bisa mendongkrak popularitas Prabowo di kalangan pemilih muda.

Para pemilih muda dengan jumlah total 70 juta (atau sepertiga dari pemilih Indonesia) adalah kunci kemenangan pemilihan.

Penunjukan Sandiaga juga dapat memperkuat kampanye politik di belakang #2019GantiPresiden yang diluncurkan kubu Prabowo. Citra muda dan profesional Sandiaga akan menjadi antitesis sempurna bagi citra lama dan birokrat Jokowi.

Koneksi bisnis Sandiaga juga dapat menjadi sumber keuangan yang besar untuk mendukung kampanye.

Ma'ruf sasar pemilih muslim, Sandi incar milenial

Arya Fernandes — Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS)

Perubahan skenario politik dalam pencalonan wakil presiden menunjukkan upaya pasangan calon untuk menjawab tantangan politik eksternal saat kampanye nanti.

Jokowi dihadapkan pada situasi harus berkompromi dengan partai politik dan kekuatan politik eksternal, seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Posisi beberapa partai politik, terutama PKB, yang tidak menerima nama Mahfud MD membuat Jokowi berpikir ulang.

PKB mengancam keluar dari koalisi bila nama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar tidak dipilih. Selain itu desakan PBNU agar Jokowi memilih kader NU dan memberikan peringatan keras bahwa Mahfud bukanlah representasi NU juga membuat Jokowi bimbang.

Pilihan kepada Ma’ruf Amin bisa dilihat dalam dua perspektif. Pertama, akomodasi politik Jokowi kepada partai koalisi dan kekhawatiran berubahnya dukungan partai, terutama kemungkinan terbentuknya poros ketiga, yang bisa saja menganggu suara Jokowi dalam pemilu.

Kedua, respons terhadap kondisi politik eksternal terutama kekhawatiran Jokowi pada menguatnya politik identitas. Ketakutan bahwa dirinya dipersepsikan tidak ramah terhadap kelompok pemilih muslim juga membuat Jokowi akhirnya harus menerima nama Ma’ruf.

Sebagai Ketua Umum MUI, Ma’ruf diharapkan Jokowi dapat menetralkan isu negatif terkait politik identitas.

Sementara, pilihan Prabowo Subianto kepada Sandiaga Uno juga menunjukkan awal perubahan narasi kampanye Prabowo. Bila Prabowo masih menggunakan narasi lama, sepertinya dia akan susah bersaing.

Bila narasi kampanye Prabowo-Sandiaga berubah, misalnya pro-investasi, pro-pasar, pro-toleransi, Jokowi akan kesulitan memenangi pemilihan.

Nama Sandiaga yang menguat pada menit akhir menunjukkan kemampuannya berunding dan lobi politik pada waktu yang krusial di tengah deadlock politik internal.

Sandiaga mampu membaca kebuntuan politik menjelang penetapan calon wakil presiden, karena beberapa partai koalisi tidak sepenuhnya menyetujui nama Salim Assegaf dan Agus Yudhoyono.

Pertimbangan Prabowo memilih Sandiaga, selain sebagai jalan tengah, juga karena mewakili elite politik baru yang berasal dari kalangan pengusaha-profesional, yang diharapkan mampu mengelola isu-isu ekonomi.

Pertimbangan lainnya adalah Sandiaga diharapkan bisa menarik suara dari kelompok milenial, pemilih pemula, perempuan, dan ibu rumah tangga.

Mengabaikan pemilih perempuan dan pemuda

Ella S. Prihatini — Penerima beasiswa Endeavour dan kandidat PhD dari University of Western Australia

Kandidat presiden dan wakil presiden menunjukkan gagalnya regenerasi dalam proses demokrasi di Indonesia. Petahana berdampingan dengan ulama yang berusia 75 tahun. Prabowo juga memilih tokoh politik yang sudah memegang kekuasaan di pemerintahan sebagai wakil gubernur DKI Jakarta.

Pilihan-pilihan yang dibuat kandidat presiden jelas menunjukkan bahwa para kandidat mengabaikan kelompok-kelompok besar di populasi pemilih tapi sering tidak terwakili: perempuan dan generasi muda.

Jumlah perempuan setengah dari populasi nasional. Tetapi mereka tidak diwakili dalam pasangan calon saat ini. Pemilu saat ini masih didominasi oleh laki-laki, lebih khusus lagi laki-laki di atas usia 45 tahun.

Pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden ini menunjukkan pentingnya revisi aturan syarat minimal usia untuk menjadi caleg (calon legislator). UU Pemilu mengatur seseorang minimal berusia 21 tahun untuk bisa maju menjadi caleg, sedangkan syarat jadi pemilih adalah 17 tahun.

Kenapa ada jurang pemisah ini? Bila usia 17 tahun dianggap sudah cukup bertanggung jawab atas pilihan politik—maka diizinkan untuk memilih—lantas kenapa tidak dianggap pantas untuk dipilih?

Jika kita lihat batas minimal usia caleg di negara lain seperti Australia dan Jerman, mereka yang berusia 18 tahun] sudah bisa mendaftarkan dirinya untuk maju dan turut serta dalam pencalonan anggota parlemen tingkat nasional.

Hal ini bisa menjadi salah satu strategi memupuk bibit-bibit politisi yang lebih muda dan lebih mewakili populasi pemilih.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now