Menu Close
Konsumen harus bertanya: “siapa yang membuat pakaianku” supaya mereka teringat akan perbudakan modern yang dialami oleh pekerja garmen. Shutterstock

Produksi fashion bentuk perbudakan modern: 5 cara untuk mengatasinya

Kita seharusnya tidak perlu mengorbankan nyawa dan lingkungan kita untuk menjadi modis. Namun inilah yang terjadi saat ini. Globalisasi, sistem produksi pakaian yang cepat di negara yang tenaga kerjanya murah untuk merespons tren terkini (fast fashion), dan media sosial telah mendorong terciptanya budaya konsumsi busana yang murah, mudah, dan berlimpah. Budaya ini terlihat semakin kuat dan ditunjukkan dengan jumlah produksi pakaian yang hampir dua kali lipat dalam 15 tahun terakhir.

Pecinta fashion perlu merenungkan bagaimana kebiasaan berbelanja mereka memiliki dampak negatif baik bagi Bumi maupun manusia.

Perilaku yang tidak mengakui kesetaraan gender, merusak lingkungan, melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) semua ada di dunia fashion. Sebuah Kampanye Revolusi Fashion dimulai karena dunia fashion diam saja terhadap tragedi yang terus-menerus terjadi dalam proses produksi mereka, seperti kematian 1.138 buruh garmen ketika Pabrik Rana Plaza runtuh di Dhaka, Bangladesh, pada 24 April 2013.

Produksi fashion penuh dengan perilaku yang tidak mengakui kesetaraan gender. Shutterstock

Kampanye Revolusi Fashion bertujuan untuk menyadarkan kita atas ketidakadilan ini dengan mengungkap keberadaan orang-orang di balik pakaian yang kita kenakan.

Fashion: perbudakan modern yang padat karya

Fashion adalah salah satu industri yang memperkerjakan banyak orang. Di seluruh dunia, setidaknya 60 juta orang bekerja di industri ini.

Produksi kerajinan tangan adalah industri terbesar kedua di negara-negara berkembang. Di India ada sekitar 34 juta pengrajin kerajinan tangan. Mayoritas perajin dan buruh garmen saat ini adalah perempuan. Indeks Perbudakan Global memperkirakan ada 40 juta orang yang hidup dalam perbudakan modern saat ini. Banyak di antara mereka yang tinggal di negara-negara berkembang tapi bekerja memproduksi pakaian merek fashion dari Barat.

Perbudakan modern meliputi kerja paksa, hutang yang mengikat, pernikahan paksa, praktik perbudakan maupun yang menyerupai perbudakan, serta perdagangan manusia.. Contohnya ketika seseorang dipaksa bekerja lembur tanpa dibayar, anak-anak dipaksa memetik kapas oleh pemerintah Uzbekistan padahal mereka seharusnya bersekolah, pekerja perempuan diancam dengan kekerasan jika mereka tidak menyelesaikan pesanan tepat waktu, dan buruh yang paspornya ditahan hingga mereka dapat membayar biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mendatangkan buruh tersebut ke negara tempatnya bekerja.

Organisasi-organisasi advokasi menyatakan industri fashion adalah satu dari lima sektor industri yang terlibat dalam perbudakan moderni. Negara-negara maju G20 mengimpor produk fashion senilai $US127,7 miliar yang diduga hasil dari perbudakan modern.

Kampanye Revolusi Fashion menyoroti tenaga kerja di industri fashion. Revolusi Fashion

Kita harus mengatasi isu kolonialisme dan rasisme terhadap lingkungan harus diatasi jika kita ingin menangani masalah di industri fashion, seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan gender, perusakan lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Orang-orang yang paling miskin dieksploitasi dan dibayar murah untuk membuat pakaian-pakaian modis.

Para pekerja ini adalah orang-orang yang bekerja lembur tanpa upah dan pulang ke rumah yang saluran airnya terkontaminasi oleh limbah pabrik. Mereka juga menderita penyakit yang disebabkan karena tinggal di daerah yang sangat tercemar.

Ketika negara-negara Barat sudah bosan mereka mengekspor kembali pakaian yang sudah tidak diinginkan ke negara-negara berkembang tadi. “Donasi” ini lantas menghancurkan komunitas-komunitas lokal dengan memenuhi tempat pembuangan sampah mereka dan memperburuk ekonomi lokal karena membuat perajin dan bisnis lokal tidak dapat bersaing dengan harga murah pakaian “sumbangan” tadi.

Transparansi dan keterlacakan adalah kuncinya

Perusahaan mode yang transparan dan dapat dilacak adalah salah satu kuncinya. Transparansi melibatkan keterbukaan, komunikasi dan akuntabilitas. Sebagai sesama warga Bumi; kita perlu menuntut transparansi dan akuntabilitas.

Kita tidak lagi mampu menjalani gaya hidup yang selama ini kita jalani. Menurut sebuah laporan dari Ellen MacArthur Foundation, industri fashion memproduksi 53 juta ton serat setiap tahun dan lebih dari 70% berakhir di tempat pembuangan akhir atau tempat pembakaran sampah. Kurang dari satu persen digunakan untuk membuat pakaian baru.

Fast fashion sering berakhir di tempat pembuangan sampah. New York, Times Square, toko H&M, Maret 2016. Shutterstock

Lebih dari setengah fast fashion yang diproduksi dibuang dalam waktu kurang dari satu tahun. Satu truk penuh pakaian terbuang sia-sia setiap detiknya di seluruh dunia.

Jumlah rata-rata berapa kali garmen dikenakan sebelum akhirnya tidak lagi dipakai telah menurun sebanyak 36% dalam 15 tahun. Poliester adalah serat yang paling umum digunakan saat ini, akibatnya setengah juta ton serat poliester yang rontok ketika pakaian dicuci mencemari lingkungan, jumlah ini 16 kali lebih banyak dari microbeads plastik yang berasal dari alat kosmetik dan mengakibatkan polusi laut.

Lima hal yang dapat Anda lakukan sekarang

Kita tidak bisa terus mengejar tenaga kerja yang paling murah dan mengeksploitasi sumber daya alam selamanya. Cara berbisnis seperti itu bukan lagi menjadi pilihan. Untuk mengatasi perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang adil bagi semua orang, berikut adalah lima hal yang dapat Anda lakukan:

Siapa yang membuat pakaianku?

1. Tanyakan: #siapapembuatpakaianku?

Ajukan pertanyaan, didik diri Anda sendiri, dan bertindaklah secara sadar. Siapa yang membuat pakaianmu? Bagaimana produk ini akan berakhir? Berapa lama saya akan menggunakan produk ini? Apakah saya benar-benar membutuhkannya? Terbuat dari apa pakaian itu? Apakah harga mencerminkan upaya dan sumber daya yang dibutuhkan untuk membuatnya?

2. Kenakan apa yang Anda miliki

Jangan buang pakaian, sepatu, dan aksesori Anda. Ada cara untuk mencegah barang-barang ini berakhir di tempat pembuangan sampah (menggunakan kembali, menjual kembali, menukarnya dengan orang lain, memperbaiki, menyesuaikan, menyumbang, atau mewariskannya). Apakah bisa diperbaiki? Disesuaikan? Belajarlah untuk merawat pakaian Anda, semakin lama kita terus memakai barang, semakin banyak emisi yang dapat kita kurangi dari lemari kita.

3. Temukan cara alternatif untuk menjadi modis

Beli barang bekas, kurangi jumlah barang yang Anda beli, sewa, jual kembali, gunakan kembali, tukar, perbaiki, sesuaikan atau bagikan. Pikirkan dampak yang ingin Anda buat dan apakah Anda bisa mempertahankannya? Misalnya dengan mengurangi penggunaan plastik, menggunakan lebih sedikit produk hewani atau dengan mendukung bisnis lokal.

4. Ciptakan gaya personal

Mengetahui apa yang cocok untuk tubuh dan gaya hidup Anda akan membuat Anda merasa luar biasa setiap saat, terlepas dari apa yang sedang “tren”.

5. Mendukung produsen yang menjalankan bisnisnya secara etis.

Konsumsi yang berlebihan berdampak pada ekosistem. Kita perlu mempertimbangkan kembali apa yang benar-benar kita butuhkan dan apa yang kita inginkan. Pilihan yang ditawarkan kepada konsumen melimpah ruah dari apa yang sebenarnya mereka butuhkan.

Pertimbangkan kampanye pakaian #30wears oleh Livia Firth yang mendorong konsumen untuk bertanya: Apakah saya akan memakai barang ini minimal 30 kali? “Jika jawabannya adalah ya, maka belilah. Tapi Anda akan terkejut berapa kali Anda mengatakan tidak.”

Las Asimi Lumban Gaol menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now