Menu Close
Pembungkaman kebebasan berekspresi makin menjadi-jadi. Siam.pukkato/Shutterstock

Putusan Ahok dan minusnya kebebasan pers di Papua perburuk kebebasan berpendapat di Indonesia

Putusan bersalah dalam perkara penodaan agama dengan terdakwa calon Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan absennya kebebasan pers di Papua menjadi pemicu makin memburuknya kebebasan berekspresi di Indonesia tahun lalu.

Masyarakat main hakim sendiri, baik karena sentimen keagamaan maupun politik, juga berkontribusi pada makin buruknya kebebasan berekspresi.

Walau hampir 20 tahun kebebasan berpendapat dinikmati di Indonesia, setelah lewat perjuangan reformasi menumbangkan rezim otoriter Orde Baru, bangsa ini tampaknya belum sebebas yang kita bayangkan.

Setidaknya ada tiga data terkini yang memotret kenyataan ini. Dalam Indeks Demokrasi Global 2017 yang dirilis The Economist Intelligence Unit Februari lalu, Indonesia menempati posisi ke-68 dari 167 negara dengan skor 6,39. Posisi tersebut melorot dari posisi ke-48 pada tahun sebelumnya ketika Indonesia mencetak skor 6.97. Dengan capaian ini, demokrasi Indonesia masih masuk pada kategori cacat demokrasi. Keadaan ini secara konsisten dipegang oleh Indonesia selama enam tahun terakhir.

Indeks The Economist diukur melalui lima variabel yang salah satunya adalah variabel kebebasan sipil yang menjamin kebebasan berpendapat. Data terakhir menunjukkan nilai kebebasan sipil Indonesia terendah (skor 5,59) di antara lima variabel lain. Ini adalah rapor merah untuk Indonesia.

Dalam konteks Indonesia, The Economist beranggapan bahwa kejadian seputar pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun lalu adalah pemicu merosotnya skor kebebasan berpendapat di Indonesia. Pasal penistaan agama yang dituduhkan kepada calon Gubernur Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dianggap sebagai salah satu ancaman besar bagi kebebasan berpendapat di Indonesia.

Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) Indonesia juga menunjukkan kondisi serupa. Indeks Demokrasi Indonesia 2016 yang dirilis BPS pada September 2017 menunjukkan tren penurunan indeks demokrasi secara nasional. Jakarta dinyatakan sebagai provinsi dengan penurunan indeks terbesar, yakni turun 14,47 poin dari skor 85,32 pada 2015 menjadi 70,85 pada 2016. Lagi-lagi, pemilihan Gubernur Jakarta dianggap sebagai pemicunya.

Penghadangan kandidat dalam kampanye, intimidasi, saling lapor polisi di antara lawan politik adalah contoh-contoh kasus yang menunjukkan pengekangan terhadap kebebasan berpendapat dilakukan oleh anggota masyarakat.

Main hakim sendiri

Ketegangan politik yang terjadi di Jakarta juga berimbas ke daerah. Tak lama setelah pemilihan Gubernur Jakarta, Front Pembela Islam (FPI) mengekang dan mengintimidasi dua perempuan di Tangerang, Banten dan Solok, Sumatera Barat. Mereka mendatangi pengusaha Indrie Sorayya di Tangerang dan dokter Fiera Lovita di Solok dan memaksa keduanya untuk meminta maaf atas status mereka di Facebook yang dianggap melecehkan pemimpin FPI, Rizieq Shihab.

Aksi persekusi dan main hakim sendiri ini kerap dilakukan oleh FPI. Menurut catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network, kejadian serupa telah memakan 48 korban di seluruh Indonesia.

Persekusi juga dilakukan kelompok masyarakat atas dasar sentimen paham keagamaan yang berbeda. Penolakan dan pelarangan ceramah sejumlah tokoh agama terjadi, seperti terhadap Bachtiar Nasir, Felix Siauw dan Abdul Somad.

Bachtiar Nasir dilarang berceramah di Cirebon dan Garut, Jawa Barat oleh pimpinan Nahdatul Ulama setempat tahun lalu. Organisasi massa Islam terbesar di Indonesia ini menyatakan dalam surat resminya bahwa alasan pelarangan ini karena mereka khawatir Bachtiar akan menyebarkan paham radikal.

Felix Siauw juga dilarang berceramah di Bangil, Jawa Timur, dan Bogor, Jawa Barat. Salah satu institusi yang melarang Felix berceramah adalah Institut Pertanian Bogor yang merupakan almamaternya sendiri.

Kasus Abdul Somad lain lagi. Kedatangannya di Bali ditolak oleh sejumlah orang karena penceramah agama ini dianggap anti-nasionalisme. Mereka memaksa Abdul Somad untuk berikrar dan mencium bendera merah putih sebagai syarat untuk bisa berceramah di kota tersebut.

Minus kebebasan pers di Papua

Tahun 2017 juga diwarnai pengekangan terhadap kebebasan pers, khususnya di Papua. Hanya berselang dua hari menjelang peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun lalu, jurnalis Papua Yance Wenda mendapatkan perlakuan kekerasan dari aparat kepolisian hingga terluka. Kasus ini terjadi saat Yance meliput penangkapan para aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang berjuang untuk kemerdekaan Papua Barat.

Pemberangusan kebebasan pers di Papua tidak hanya menimpa jurnalis lokal. Pembatasan ketat terhadap jurnalis asing masih tetap terjadi walau Presiden Joko Widodo pada 2015 membuat pernyataan politik bahwa jurnalis asing bebas meliput di Papua seperti di daerah lain.

Faktanya sampai kini, jurnalis asing harus mengurus izin lintas-kementerian dan institusi termasuk kepolisian dan lembaga intelijen negara untuk bisa pergi ke Papua. Namun, izin yang sudah dikantongi tidak menjamin kelancaran bagi wartawan asing untuk mencari informasi karena otoritas sipil dan militer setempat yang menentukan nasib mereka. Inilah yang menimpa Kepala Biro BBC Indonesia, Rebecca Alice Henschke, baru-baru ini. Meski ia mengantongi izin meliput wabah gizi buruk dan campak di Kabupaten Asmat, dirinya dipaksa keluar karena postingannya di media sosial media dianggap menyinggung pemerintah setempat.

Menurut Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, setidaknya ada delapan jurnalis asing yang dideportasi ketika mencari bahan berita di Papua sepanjang 2017. Alasan yang jamak dipakai adalah pelanggaran administrasi. Kasus semacam itu menimpa dua jurnalis Prancis, Jean Frank Pierre Escudie dan Basille Marie Longhamp , dari The Explorer Network yang dideportasi karena dianggap menyalahgunakan visa.

Kasus yang terjadi di Papua ini mengindikasikan rendahnya kebebasan pers di Indonesia. Hal ini tercermin dalam Indeks Kebebasan Pers Internasional yang dikeluarkan Reporters Sans Frontieres (RSF) tahun lalu.

Dalam laporan 2017, Indonesia menempati posisi ke-124 dari 180 negara dan masuk ke dalam kategori merah. Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan pers di Indonesia, khususnya Papua, baru sebatas penyataan politik Presiden karena tidak diikuti oleh aparat pemerintah, termasuk aparatur militer dan kepolisian, di Jakarta dan Papua.

Ketiga indeks di atas dapat menggambarkan bahwa tahun lalu merupakan tahun kelabu bagi kebebasan berpendapat di negeri ini. Apakah tahun ini lebih buruk lagi bagi kebebasan berekspresi di Indonesia karena Juni nanti akan berlangsung pemilihan 171 kepala daerah secara serentak? Dari pemilihan gubernur Jakarta kita mendapatkan pelajaran bahwa masa kampanye menjadi ladang subur berkembangnya hate speech dan anti-toleransi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now