Menu Close
Rancangan botanical garden di ibu kota baru. PUPR/ik.go.id

Rencana pemindahan ibu kota tidak memenuhi prinsip pembangunan berkelanjutan

Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) telah mengeluarkan wacana pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kalimantan Timur dengan berbagai macam alasan. Pemerintah berargumen bahwa kapasitas sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan Jakarta sudah tidak lagi memadai untuk menjalankan fungsinya sebagai ibu kota.

Banjir Jakarta, populasi yang besar akibat tingkat urbanisasi tinggi, hingga pemerataan pembangunan antara kawasan Pulau Jawa dan luar Jawa menjadi alasan rencana pemindahan ibu kota tersebut.

Sayangnya, upaya pemindahan ibu kota ini tidak memenuhi prinsip-prinsip tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG).

Utamanya, pemindahan ibu kota ini belum memenuhi prinsip-prinsip keadilan, partisipasi, dan kesetaraan gender (utamanya perempuan) yang merupakan landasan penting dalam pembangunan berkelanjutan. Pembangunan ibu kota baru nyatanya tidak adil pada lingkungan dan generasi mendatang, tidak melibatkan persetujuan masyarakat, dan menambah pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam adaptasi kesejahteraan gender di ibu kota baru.

Prinsip keadilan, partisipasi, dan kesetaraan gender dalam pembangunan IKN

Prinsip keadilan menekankan bahwa setiap entitas pembangunan yang layak harus mendapatkan keadilan dalam segala aspek.

Pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur meningkatkan risiko deforestasi karena membutuhkan pembukaan lahan dan ruang baru untuk populasi yang datang dari Jakarta.

Situasi tersebut menunjukkan adanya ketidakadilan bagi lingkungan. Keadilan tidak hanya berarti adil untuk masyarakat yang ada sekarang, namun juga bagi generasi di masa mendatang dan lingkungan yang menjadi tempat manusia melakukan pembangunan.

Prinsip partisipasi mencerminkan praktik demokrasi dalam pembangunan. Artinya, pembangunan harus menyediakan wadah bagi keterlibatan masyarakat.

Namun, pemerintah tidak melibatkan partisipasi publik secara merata dalam memutuskan pemindahan ibu kota. Padahal, partisipasi publik yang parsial justru meningkatkan risiko ketidakadilan karena pembangunan yang dilakukan tidak mewakili kepentingan publik.

Selain itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional juga tidak transparan dalam kajiannya mengenai pemindahan ibu kota. Akibatnya, pengetahuan publik terhadap wacana pemindahan ibu kota pun terbatas. Hal ini membuat publik tidak bisa mengkritik secara langsung tinjauan ilmiah yang dilakukan pemerintah.

Terakhir, prinsip kesetaraan gender berbicara tentang kesetaraan seluruh gender yang ada di dalam masyarakat untuk memenuhi hak-haknya.

Indeks Ketimpangan Gender Jakarta menempati tempat kedua terbaik pada 2020 di Indonesia – setelah Yogyakarta – dengan angka kurang dari 0,2. Indeks ini menggambarkan kerugian atau kegagalan dari pencapaian pembangunan manusia akibat adanya ketidaksetaraan gender yang diukur dari aspek kesehatan, pemberdayaan, serta akses dalam pasar tenaga kerja – dalam bentuk persentase. Artinya, Jakarta mengalami kerugian 20% dalam pembangunan akibat ketidaksetaraan gender.

Sementara itu, Kalimantan Timur berada di peringkat ke-12 dalam indeks tersebut, dengan capaian angka lebih dari 0,4.

Jika ibu kota dipindahkan ke Kalimantan Timur, pekerjaan rumah pemerintah juga bertambah untuk menekan ketimpangan gender di ibu kota baru.

Risiko deforestasi dan degradasi lingkungan lain juga turut meningkatkan risiko ketimpangan gender. Misalnya, perempuan dengan kebutuhan air yang lebih banyak dari laki-laki karena memiliki siklus bulanan, akan kesulitan jika sanitasi di ibu kota baru buruk atau lingkungannya rentan bencana. Bencana-bencana yang terjadi di IKN baru dapat menjadi ancaman terutama untuk kelompok rentan seperti perempuan.

Aplikasi SDGs dalam pemindahan ibu kota

SDGs merupakan seruan universal untuk mengakhiri kemiskinan, melindungi planet Bumi, dan memastikan bahwa pada tahun 2030 semua orang menikmati perdamaian dan kemakmuran.

Pembangunan berkelanjutan memastikan pemenuhan kebutuhan generasi masa kini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi masa mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.

Pembangunan berkelanjutan yang dituangkan dalam SDGs penting dalam megaproyek ibu kota baru karena seluruh aspek pembangunan sudah seharusnya merujuk pada SDGs. Indonesia telah berkomitmen untuk melaksanakan SDGs, yaitu mengentaskan kemiskinan, melindungi bumi, dan memastikan seluruh umat manusia merasakan perdamaian dan kesejahteraan di tahun 2030.

Namun, pembicaraan mengenai pembangunan berkelanjutan tidak hanya tentang keseimbangan pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan yang selama ini menjadi fokus pemerintah. Konsep ini juga menekankan tentang kesejahteraan antar generasi dan bagaimana memosisikan lingkungan sebagai bagian mutlak yang harus dilindungi dalam proses pembangunan.

Beberapa tujuan SDGs memiliki kaitan dengan wacana pemindahan ibu kota: kesetaraan gender, air bersih dan sanitasi, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan, kota dan masyarakat yang berkelanjutan, dan penanganan perubahan iklim. Keenam tujuan SDGs tersebut selaras dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, termasuk keadilan, partisipasi, dan kesetaraan gender.

Perlunya mendorong transparansi

Transparansi menjadi langkah awal untuk menilai apakah pembangunan telah berlandaskan pada prinsip pembangunan berkelanjutan atau tidak. Hal tersebut memungkinkan adanya mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi apabila pembangunan yang dilakukan tidak sesuai dengan standar lingkungan.

Meningkatkan partisipasi publik melalui pengetahuan literasi media akan berguna untuk mendorong mobilisasi opini masyarakat terhadap pemindahan ibu kota. Harapannya, publik yang ter-edukasi memiliki daya dorong yang besar untuk mengubah kebijakan yang tidak sesuai dengan pembangunan berkelanjutan.

Perlindungan dan kebebasan berekspresi para jurnalis melalui media perlu ditegakkan agar informasi mengenai wacana pemindahan ibu kota dapat tersebar luas di masyarakat. Tanpa adanya perlindungan dan kebebasan berekspresi dalam media arus utama, masyarakat rentan termakan berita bohong.

Tekanan masyarakat sipil diperlukan dalam mengubah perilaku pembuat kebijakan yang tidak sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Masyarakat sipil dalam bentuk jaringan lembaga swadaya masyarakat secara umum berperan dalam mengedukasi masyarakat, memberikan pendampingan dan advokasi, serta menghimpun massa untuk melakukan mobilisasi dalam menuntut perubahan kebijakan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now