Menu Close
Pekerja menggunakan alat berat menyelesaikan pembangunan proyek sodetan Kali Ciliwung-Kanal Banjir Timur di Jakarta. Muhammad Adimaja/Antara

Riset buktikan kanal beton sungai sulit redam banjir dan menambah masalah lingkungan

Pemerintah kerap memakai metode pembuatan kanal beton (kanalisasi) untuk merevitalisasi sungai atau perbaikan fungsi pengaliran air sungai. Langkah ini dianggap ampuh untuk mencegah ataupun meredam banjir yang memakan banyak korban.

Pemerintah Jakarta, misalnya, melanjutkan proyek ‘betonisasi’ Sungai Ciliwung yang sempat terhenti. Di Surabaya, perbaikan Sungai Kali Lamong melalui kanalisasi bahkan termasuk proyek strategis nasional.

Kendati begitu, sebagai peneliti teknik sumber daya air, saya menganggap pemerintah perlu mengkaji ulang penerapan metode kanalisasi. Pasalnya, banyak riset di Indonesia maupun di dunia yang menyebutkan kanalisasi menimbulkan berbagai bahaya bagai manusia maupun lingkungan di sekitarnya.

Bahaya membeton sungai

Proses revitalisasi sungai biasanya mencakup pengerukan dasar saluran, pelebaran sungai, lalu pemasangan beton pada sempadan sungai.

Adakalanya bentuk sungai yang berkelok juga dibuat lurus untuk memudahkan pekerjaan konstruksi. Hal ini biasa disebut pengalihan sungai (river diversion) sebelum pembangunan tubuh bendungan dimulai, misalnya konstruksi Bendungan Leuwikeris di Jawa Barat.

Pemasangan beton memang mempercepat pengaliran air sungai ke muara ataupun laut. Namun, material beton yang keras juga mengurangi kemampuan sungai menyerap air ke tanah. Akibatnya, saat banjir terjadi, air hanya bisa melaju ke muara.

Pengaliran ini pun tak selamanya lancar. Jika laut tengah pasang, fenomena backwater atau limpasan balik berisiko terjadi sehingga air dapat bergerak cepat ke arah sebaliknya (hulu). Bak banjir bandang, limpasan ini dapat menerjang rumah-rumah di sekitar daerah aliran sungai.

Tak hanya aliran air, material endapan atau sedimen sungai juga menjadi persoalan. Pemasangan kanal beton mencegah tumbuhnya tanaman perairan seperti melati air (Echinodorus palaefolius ), lidi air (Typha angustifolia), dan selada air (Nasturtium officinale ) yang biasanya hidup di sekitar kanal alami sungai.

Kondisi sempadan sungai yang masih ditumbuhi pepohonan mengurangi risiko erosi dan menjaga keberadaan organisme sungai yang bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. (Tirta Indah Perdana/Wikimedia Commons), CC BY-SA

Padahal, keberadaan tanaman tersebut diperlukan sebagai perangkap sedimen alami. Akibatnya, sedimen akan kembali ke badan air sungai.

Keberadaan beton juga menghilangkan habitat alami makhluk perairan seperti ikan dan spesies lainnya. Kehilangan ini dapat memperburuk kualitas air sungai lantaran keberadaan sejumlah tanaman seperti sawi (Brassica juncea ), akar wangi (Vetiveria zizanioides ), jagung (Zea mays), dan kangkung (Ipomoea aquatica ) juga berfungsi sebagai penetral material pencemar.

Penanaman akar wangi sebagai salah satu upaya memulihkan kualitas Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. (Pemerintah Jawa Barat)

Ketiadaan tanaman penetral limbah dapat menyulitkan warga setempat untuk mengakses air bersih yang semestinya tersedia secara gratis dari sungai. Sebaliknya, air yang kotor – dan bisa semakin parah saat banjir – malah menjadikan sungai sebagai sumber penyakit.

Selain itu, alih-alih meredam bahaya banjir, pelebaran sungai dengan material beton justru memperbanyak endapan di sungai. Seiring menumpuknya endapan, sungai akan terus mendangkal sehingga banjir lebih berisiko terjadi.

Pemerintah sebenarnya memiliki program pemeliharaan melalui pengerukan sedimen agar kanal berfungsi optimal.

Namun, pengerukan sungai harus dilakukan dengan cara yang ketat dan berhati-hati. Jika tidak, pengerukan bisa mengganggu kestabilan lereng, sehingga potensi terjadinya erosi juga besar. Bila erosi menuju badan air, sedimen berisiko lebih menumpuk.


Read more: Waspada, di kota besar kualitas air tanah sudah hampir sama buruknya dengan air sungai


Selain perkara lingkungan, upaya membeton sungai juga menambah anggaran pemeliharaan, terlebih bila panjang sungai mencapai ratusan kilometer seperti Sungai Ciliwung dengan panjang 120 km.

Pengerukan dasar sungai untuk pemeliharaan ataupun untuk pembuatan kanal (proses konstruksi) juga harus memperhatikan desain infrastruktur yang biasanya ada di sungai seperti bendungan, jembatan, ataupun gorong-gorong.

Jika tidak hati-hati, pengerukan bisa membahayakan infrastruktur sungai. Untuk melihat tingkat bahayanya, desain jembatan perlu diperiksa agar lebih sesuai dengan sistem kanal. Pemeriksaan ini pun berbiaya mahal.

Apabila desain ataupun pemeriksaan desain ulang diabaikan, pengerukan bisa memicu kegagalan struktur yang merobohkan jembatan ataupun bendungan di sepanjang sungai.

Penghijauan, bukan pembetonan sungai

Dulu, perbaikan sungai dengan kanal beton memang menjadi tren di negara maju seperti Jerman, Belanda, dan Jepang.

Namun, seiring dampak lingkungan yang mencuat, metode ini kian usang dan ditinggalkan. Selain itu, beton diklaim sebagai material paling merusak untuk lingkungan.

Banyak negara yang kini melirik penghijauan untuk memulihkan sungai sesuai kondisi alaminya. Kota Los Angeles di Amerika Serikat, misalnya, yang berencana mengganti kanal beton sungai dengan infrastruktur hijau melalui Proyek Arroyo Seco. Proyek hijau ini akan mengubah sekitar 2,4 km saluran dan sempadan beton menjadi lahan basah dan rawa riparian (rawa tepi sungai). Tujuannya untuk menyediakan ruang terbuka hijau dan perlindungan kawasan terhadap banjir.

Presentasi proyek penghijauan sungai oleh mahasiswa arsitektur dari University of Southern California, Yingjun Hu. Proyek ini masuk dalam rencana pemulihan sungai oleh Pemerintah Kota Los Angeles, California, Amerika Serikat. (Arroyoseco.org)

Indonesia dapat menjadikan penghijauan daerah aliran sungai sebagai target ideal yang harus dipenuhi dalam jangka panjang.

Sementara, dalam jangka pendek maupun menengah, infrastruktur kanal yang ada masih bisa dipertahankan. Pemerintah hanya perlu menguatkan pengelolaan dan pemeliharaannya yang melibatkan masyarakat demi meminimalkan berbagai bahaya dari sungai, terutama saat banjir.

Industri tekstil maupun penduduk di sekitar Majalaya; Bandung, misalnya, mesti diajak berpartisipasi menjaga sungai dengan tidak membuang limbah langsung ke badan air.

Pemerintah pusat dan daerah juga harus menjaga keberadaan ruang terbuka hijau bersama masyarakat untuk meredam banjir dan menjaga kualitas air sungai. Sebab, kualitas maupun debit air sungai bukan cuma ditentukan oleh infrastruktur, tapi juga aliran air yang masuk ke ekosistem tersebut.

Bila keduanya dapat terjaga, maka dampak banjir berpeluang lebih ringan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now