Menu Close

Riset di Korea Selatan ungkap penyebab remuknya struktur kapal selam tua yang berdampak fatal

Penampakan KRI Nanggala 402 di Laut Jawa. U.S. Navy photo by Mass Communication Specialist 3rd Class Alonzo M. Archer/

Hampir sepuluh bulan lalu, pada 24 April 2021, kapal selam KRI Nanggala 402 tenggelam di perairan Bali. Kejadian itu merenggut nyawa 53 prajurit Angkatan Laut.

Para ahli telah menyampaikan beberapa teori dan spekulasi terkait penyebab kegagalan sistem pada kapal tersebut. Kapal selam dengan usia pakai lebih dari 40 tahun tersebut tenggelam di kedalaman 840 meter, lebih dari lima kali dari batas kewajaran penyelaman pressure hull (lambung tekan) yang sesuai dengan umur pakainya.

Namun, hingga kini penyebab pasti tenggelamnya KRI Nanggala juga belum terungkap jelas.

Secara teori, kapal selam umumnya memiliki umur efektif 30-35 tahun masa pakai. Dengan tuntutan misi operasi yang berbahaya, sistem kapal dan struktur harus selalu dalam kondisi prima. Dalam kondisi normal, kapal selam mesti memenuhi kewajiban perawatan dalam setiap siklus perbaikan di galangan kapal setiap 5 tahun. Khusus kapal selam tua, perlu ada perbaikan menyeluruh setiap 10 tahun yang memakan waktu pengerjaan hingga 2 tahun.

Meski begitu, proses peremajaan kapal selam tua tetap menyisakan beberapa “cacat” atau ketidaksempurnaan pada struktur lambung tekan yang menurunkan kemampuan atau batas selam. Kecacatan ini harus diperhatikan guna mencegah bahaya implosion (remuk atau ledakan ke dalam) saat kapal selam tua beroperasi di bawah permukaan laut.

Riset pemodelan kapal selam yang saya lakukan bersama tim terkait implosion di Korea Selatan menunjukkan ketidaksempurnaan geometrik dalam bentuk oval pada lambung tekan. Faktor ini paling berpengaruh dalam pengurangan ketahanan tekanan pada kapal selam.

Implosion berujung fatal

Implosion adalah fenomena terjadinya ledakan atau remuknya struktur cangkang dalam durasi milidetik karena perbedaan tekanan yang ekstrem. Ledakan ini melibatkan perubahan energi yang tiba-tiba sehingga terjadi pelepasan gelombang tekanan yang berakibat pada runtuhnya kekuatan struktur lambung kapal selam secara keseluruhan.

Mahalnya harga unit kapal selam “memaksa” negara operator terus memperbaiki kapal selam tua, termasuk pemotongan lambung tekan kapal selam untuk memungkinkan akses penggantian sistem di dalam kapal selam. Setelah proses perawatan selesai kapal selam diwajibkan untuk melakukan tes penyelaman pada batas kedalaman standar.

Sejarah mencatat salah satu kasus implosion pada 1963 pada USS Thresher (SSN-538) di perairan Massachusetts Amerika. Kecelakaan terjadi pada kapal selam nuklir milik Angkatan Laut Amerika Serikat tersebut saat menjalani tes menyelam pasca perbaikan.

Laporan kapal penyelamat kapal selam Skylark saat kejadian menyatakan kapal selam yang diawaki oleh 129 kru tersebut hilang setelah deteksi terakhir di kedalaman pengujian lebih dari 670 m. Kasus serupa berulang 5 tahun kemudian, USS Scorpion (SSN-589), kapal selam nuklir Angkatan Laut AS lainnya tenggelam di Samudra Atlantik Utara pada kedalaman sekitar 1.530 kaki (470 m).

Kapal selam tersebut tenggelam dan meledak setelah melewati batas kemampuan dari lambung tekan. Seluruh 99 awak meninggal dalam insiden tersebut.

Pada November 2017, ARA San Juan (S-42) milik Angkatan Laut Argentina, kapal selam tua buatan Jerman tersebut hilang dengan 44 awaknya di Atlantik Selatan saat kembali ke pangkalannya di pelabuhan pangkalan angkatan laut Mar del Plata, Argentina. Kapal ini tenggelam setelah mengambil bagian dalam latihan pasca perbaikan.

Stasiun hidroakustik CTBTO, sebuah Lembaga Perjanjian Pelarangan Uji Coba Nuklir mendeteksi adanya ledakan bawah air pada tanggal kejadian tepat di sekitar lokasi ditemukannya serpihan ARA San Juan.

Menurut hasil penyelidikan kasus ARA San Juan, salah satu hipotesis yang paling mungkin adalah kegagalan katup ventilasi hingga bocornya air masuk sampai menghasilkan hubungan arus pendek di tangki baterai.

Ketika sebuah kapal selam yang tidak berfungsi terus tenggelam ke kedalaman yang lebih besar, maka peningkatan tekanan air sebagai fungsi dari kedalaman air memberikan tekanan hidrostatik yang lebih tinggi pada lambung tekan kapal selam. Segera setelah ambang batas keselamatan struktural telah dilewati, implosion dapat terjadi tiba-tiba dalam hitungan milidetik sehingga lambung tekan kapal selam tersebut hancur.

Riset di Korea Selatan

Penelitian implosion dilakukan sejak 1963 dipelopori oleh Laboratorium Persenjataan Angkatan Laut Amerika Serikat.

Namun riset tentang implosion ini mulai banyak dipelajari setelah insiden meledaknya tabung photomultiplier (PMT) di stasiun neutrino observatorium di Prefektur Gifu, Jepang 12 November 2001. Implosion yang melanda salah satu tabung akhirnya memicu gelombang kejut berantai hingga membuat ribuan tabung PMT meledak di dalam air.

Setelah ledakan di Jepang tersebut, selama 2017–2020 penulis bersama tim periset dari Universitas Ulsan Korea Selatan meneliti implosion menggunakan model sederhana yaitu tabung aluminium dengan struktur penegar cincin (ring-stiffened cylinder) mirip dengan bentuk struktur lambung tekan kapal selam.

Pengujian implosion dilakukan di dalam tangki bejana tekan yang berisi air. Untuk mereplikasi lingkungan tekanan laut yang konstan di bawah permukaan laut, maka tangki diberi tekanan dari gas nitrogen yang dialirkan dari atas bejana tekan. Tekanan tersebut diberikan secara bertahap sebagai simulasi proses penyelaman kapal selam di kedalaman air sampai implosion terjadi pada batas kekuatan struktur.

Untuk mengamati implosion, kami menggunakan sensor tekanan penangkap gelombang ledakan dan kamera berkecepatan tinggi dengan kecepatan tangkap 8000 frame per detik. Sebagai pembanding eksperimen, implosion terlebih dulu diprediksi secara akurat pada batas maksimal kekuatan struktur.

Hasil penelitian terbukti mampu menangkap dan memprediksi secara akurat batas kekuatan struktur dan menjelaskan tentang kejadian implosion yang terjadi dalam durasi 3-5 milidetik. Dari hasil pengamatan kejadian, model uji replika lambung tekan kapal selam mula-mula mengalami perubahan bentuk pada durasi awal sekitar 1,5 milidetik sebelum inti ledakan. Model uji kemudian remuk disertai dengan peningkatan nilai tekanan secara tajam di daerah lokal sekitar model.

Penelitian tersebut mengamati bahwa dari karakteristik gelombang ledakan yang dihasilkan implosion mula-mula gelombang kejut tersebut memiliki tekanan negatif yang curam, diikuti oleh lonjakan tekanan positif yang tajam. Gelombang kejut dari tipe ini niscaya sangat merusak dan tidak diinginkan oleh para desainer struktur kapal selam.

Kapal harus dicek secara menyeluruh

Penulis berharap bahwa dengan metode penelitian eksperimen dan analisis pemodelan struktur, batas penyelaman armada kapal selam dapat dikaji secara akurat.

Salah satu program untuk meningkatkan jaminan keselamatan kapal selam adalah melalui pengecekan menyeluruh terhadap lambung tekan kapal selam secara akurat dan memastikan bahan yang digunakan dalam pemeliharaan sesuai dengan kualitas yang baik.

Program ini diperlukan untuk memberikan gambaran utuh dan proyeksi faktor keselamatan terutama pada kapal selam tua sehingga dapat secara akurat menentukan faktor-faktor yang menjadi standar keselamatan bagi operasional kapal selam.

Harapannya, tenggelamnya kapal selam seperti kasus Indonesia KRI Nanggala 402 tidak berulang lagi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now