Menu Close

Riset: kesuksesan besar dalam berbisnis sebagian besar didasarkan pada keberuntungan

Shutterstock/FotograFFF

Buku-buku bisnis best seller berjanji untuk mengajari Anda resep dan rahasia kesuksesan. Tapi kenyataan pahitnya adalah kesuksesan yang luar biasa dalam berbisnis sangat bergantung pada keberuntungan.

Tidak ada aturan baku untuk mencapai performa yang menakjubkan dalam berbisnis karena biasanya hal tersebut mengharuskan adanya sesuatu yang berbeda atau baru dan tidak ada cara pasti untuk mendapatkan inovasi demikian.

Penelitian terbaru saya menunjukkan bukti sistematis bahwa keberuntungan berperan kritis dalam kesuksesan, tidak hanya dalam berbisnis tapi juga di dunia musik, perfilman, ilmiah, dan olahraga profesional. Temuan utama di sini adalah ada banyak hal yang bisa didapat dengan lebih memperhatikan “tempat kedua”.

Mari kita lihat industri musik. Jika sebuah band atau seorang musikus baru memilki lagu yang mencapai top-20, apakah label musik sebaiknya segera membuat mereka menandatangani kontrak? Analisis saya terhadap 8.297 lagu di Billboard 100 Amerika Serikat dari tahun 1980 hingga 2008 tidak menyarankan hal tersebut. Bos-bos label musik justru sebaiknya mendekati mereka yang berada di antara posisi 22 hingga 30, “tempat kedua” dalam tangga lagu.

Sebuah ciri khas dari artis-artis yang berada di papan atas tangga lagu adalah mereka menikmati “kesuksesan mudah”. Contoh klasiknya adalah Gangnam Style oleh artis Korea PSY. Video musiknya viral di luar dugaan siapapun. Karena kesuksesan yang sedemikian melibatkan keberuntungan yang luar biasa, kesuksesan PSY tidak berkesinambungan.

Bahkan sebetulnya artis-artis yang menempati top 20 besar kemungkinan hanya menempati posisi 40 hingga 45 secara rata-rata untuk single mereka berikutnya, suatu kemunduran yang tidak proporsional menuju titik rataan (mean) daripada musikus yang single-nya berada di posisi lebih bawah.

Sementara, mereka yang berada di antara posisi 22 hingga 30 diprediksi paling berpeluang tinggi single berikutnya akan menempati posisi yang lebih tinggi. Performa mereka yang tidak terlalu luar biasa menunjukkan bahwa kesuksesan mereka tidak terlalu bergantung pada keberuntungan, membuat performa mereka prediktor yang lebih bisa diandalkan berdasarkan prestasi serta performa mereka pada masa mendatang. Di sinilah bos-bos label musik akan menemukan permata tersembunyi.

Hal yang sama juga terjadi di dunia bisnis. Misalnya, perusahaan yang berkembang paling cepat – seperti yang berada dalam daftar Fortune’s 100 Fastest Growing Companies – biasanya mendapat perhatian dari media, investasi, dan tiruan paling banyak. Hasil yang saya dapatkan menunjukkan tingkat pertumbuhan tahunan perusahaan-perusahaan tersebut hampir tidak memiliki pola tapi “efek kurang itu lebih” yang sistematis dapat terjadi.

Maka perusahaan-perusahaan dengan tingkat pertumbuhan aktual tertinggi (di atas 34% per tahun) diprediksi memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih rendah secara signifikan pada tahun berikutnya daripada perusahaan-perusahaan dengan tingkat pertumbuhan aktual tinggi tapi dengan figur yang tidak seekstrem perusahaan-perusahaan di kategori sebelumnya (antara 32% hingga 34% per tahun). Hal ini menunjukkan bahwa pemain-pemain top tidak hanya lebih beruntung daripada perusahaan-perusahaan lain, tapi juga diprediksi akan menjadi lebih buruk daripada yang lain.

Namun, menjual gagasan nan bermasalah belajar dari mereka yang paling berhasil terus berlanjut. Misalnya, banyak buku-buku bisnis best seller, seperti In Search of Excellence, buku yang paling banyak dimiliki di Amerika Serikat antara kurun 1986 hingga 2006, membagikan rumus. Pertama, pilih beberapa perusahaan sukses. Lalu analisis praktik-praktik yang mirip ditemukan di perusahaan-perusahaan tersebut ketika mereka bertransisi dari “baik menjadi hebat” dan susun praktik-praktik tersebut sebagai prinsip bagi mereka yang juga ingin menjadi hebat.

Satu hal yang terabaikan oleh buku-buku tersebut adalah performa yang luar biasa tidak bertahan lama. Ambil 50 perusahaan yang dimuat dalam tiga buku bisnis paling laris dan populer: In Search of Excellence, Good to Great, dan Built to Last.

Penelitian saya menunjukkan bahwa peningkatan performa yang signifikan dari perusahaan-perusahaan “baik menjadi hebat” sebelum dimuat dalam buku-buku terlaris dilanjutkan dengan performa mengecewakan yang sistematis. Dari 50 perusahaan, 16 di antaranya gagal dalam lima tahun pertama sejak buku-buku best seller diterbitkan dan 23 berkinerja di bawah harapan dalam indeks S&P 500 (yang mewakili ekspektasi performa rata-rata 500 perusahaan terbuka terbesar di Amerika Serikat).

Hanya lima dari 11 perusahaan yang tersisa berhasil mempertahankan tingkat pertumbuhan yang mirip dengan tingkat pertumbuhan saat mereka dimuat dalam buku. Yang kemudian terjadi setelah masa “kehebatan” jelas bukan bertahannya status tersebut tapi justru penurunan yang tajam menjadi biasa saja.

Bagaimana pun juga, “resep keberhasilan” yang menyesatkan masih sangat populer dalam media dan pendidikan bisnis. Ada semakin banyak daftar yang memuat perusahaan, CEO, dan wirausahawan berkinerja terbaik. Salah satu kemungkinan penyebab terjadinya hal ini adalah adanya paradoks fundamental dalam perilaku manusia: semakin tidak jelas dunia ini, semakin banyak orang mencari dan mengandalkan apa yang terlihat sebagai solusi pasti dan pemimpin kuat.

Bisnis keberuntungan

Penelitian dan pendidikan manajemen sebaiknya fokus pada teori-teori preskriptif yang dapat membantu praktisi-praktisi bisnis meningkatkan kinerjanya dari “inkompeten menjadi OK”, daripada fokus pada bagaimana mereka berubah dari “baik menjadi hebat”. Tapi teori-teori manajemen saat ini dan banyak best seller manajemen bisnis fokus pada “baik menjadi hebat”, walaupun “hebat” dalam berbisnis biasanya merupakan masalah keberuntungan.

Merujuk pada keberuntungan sangat jarang dilakukan dalam penelitian manajemen. Sebuah kajian terkait keberuntungan dalam jurnal-jurnal manajemen terkemuka menunjukkan bahwa hanya 2% dari artikel-artikel yang menyebut kata tersebut.

Media dan pengajar bisnis perlu mengakui bahwa kita sering mendapat tawaran untuk membantu para praktisi dalam mengurangi kesalahan dalam berbisnis dan kehidupan sehari-hari, tapi kita memiliki keterbatasan dalam mengajar bagaimana seseorang atau suatu perusahaan bisa sukses fenomenal.

Hal ini menjadi tantangan bagi masyarakat modern dalam menghadapi kesuksesan. Kita telah dilatih untuk menghormati dan meniru mereka yang paling berhasil. Namun ketika mereka yang paling berhasil dalam masyarakat modern tidak lagi menjadi tolok ukur yang dapat diandalkan, mengabaikan hal-hal yang tidak berkorelasi tersebut justru membuat kita terus menghormati keberuntungan mereka dan membiarkan ketimpangan terus melebar.

Mempekerjakan “bintang” atau meniru praktik-praktik mereka yang paling berhasil tidak hanya berujung pada kekecewaan tapi juga mengembangbiakkan kecurangan karena tidak ada cara lain untuk meniru keberuntungan mereka.

Dunia bisnis perlu mengkaji kembali performa luar biasa dan memperhatikan dampak keberuntungan) serta manfaat berada di tempat kedua – atau bahkan ketiga maupun keempat – terbaik.

Mendewakan keberhasilan secara membabi-buta hanya menguatkan mitos meritokrasi dan membiarkan kecurangan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now