Menu Close
Konferensi Tingkat Tinggi RCEP 2017. Wikimedia/Presidential Communications Operations Office (PH)

Risiko banjir impor menghantui pengusaha lokal dengan berlakunya perjanjian perdagangan terbesar di dunia

Perjanjian dagang terbesar di dunia Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang melibatkan sepuluh negara Asia Tenggara dengan lima mitra dagangnya yaitu Australia, Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru efektif berlaku dengan dimulainya tahun 2022.

RCEP merepresentasikan 27% dari total volume perdagangan, 30% populasi, 29% investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI), dan 29% Pendapatan Domestik Bruto (PDB) global.

Sebagai komparasi, Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP), perjanjian perdagangan yang melibatkan 11 negara kawasan Pasifik ‘hanya’ mencakup 13,5% GDP dunia dan pasar dengan 495 juta jiwa atau 6% penduduk dunia.

RCEP berorientasi pada liberalisasi perdagangan secara gradual. Artinya, pada akhirnya negara-negara anggota RCEP akan menghilangkan hambatan tarif secara bertahap menuju bea masuk nol persen. Bila dibandingkan dengan CPTPP, komitmen liberalisasi dalam RCEP relatif lebih fleksibel dengan jangka waktu pembebasan bea masuk yang lebih lama.

Liberalisasi perdagangan di kawasan membawa potensi gempuran barang impor bagi negara peserta. Ini bisa berdampak buruk bagi pelaku usaha domestik Indonesia yang produknya tidak bisa bersaing dengan produk luar negeri. Apalagi, upaya perlindungan perdagangan Indonesia saat ini belum optimal.

Sementara, RCEP memiliki skema perlindungan perdagangannya sendiri yang berisiko memandulkan upaya proteksi pasar domestik.

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. India yang sebelumnya bergabung dalam negosiasi perjanjian RCEP mengundurkan diri karena adanya desakan industri domestik yang tidak cukup kuat untuk menghadapi banjir produk Cina.

Proses ratifikasi RCEP di Indonesia

Proses ratifikasi RCEP oleh Indonesia seharusnya selesai pada Desember 2021 lalu.

Namun, prosesnya sempat berlarut di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena terdapat masalah administrasi terkait penyerahan dokumen yang diperlukan dan jadwal penyelenggaraan rapat tingkat komisi dalam proses ratifikasi.

Dengan status belum adanya pengesahan dari DPR RI, saat ini RCEP belum efektif berlaku bagi Indonesia.

Namun demikian, Indonesia tengah mengejar dan menyegerakan proses ratifikasi tersebut. Pernyataan Pemerintah terakhir mengindikasikan bahwa ratifikasi selesai dalam kuartal I 2022.

Pemerintah menyatakan bahwa mempercepat penerapan RCEP bisa mendorong pemulihan ekonomi nasional pasca-pandemi, salah satunya dengan pengembangan UMKM. Pemerintah negara-negara RCEP mengglorifikasi RCEP sebagai “obat mujarab” yang dapat membawa perekonomian pulih dari dampak pandemi.

Pemerintah memproyeksikan keikutsertaan dalam RCEP akan menghasilkan surplus ekspor sebesar US$979,3 juta (Rp 14,11 triliun) pada 2040, dibandingkan US$386,03 juta bila tidak mengikuti RCEP.

Namun, tidak ada keterangan sejauh mana UMKM Indonesia dapat menikmati surplus ekspor tersebut dan sejauh mana UMKM dapat berpartisipasi pada rantai nilai regional.

Indonesia telah berkomitmen untuk membebaskan 91% pos tarif produk dari bea masuk, dengan jadwal penghilangan bea masuk yang beragam. Indonesia perlu memikirkan bagaimana melindungi sektor yang akan dirugikan bila bea masuk dihilangkan.

Industri Indonesia akan beradu dengan produk-produk asal negara lain di kawasan, yang memiliki harga yang jauh lebih kompetitif, misalnya Cina, dengan produk-produknya yang dikenal sangat bersaing dari segi harga.

Kebijakan perlindungan perdagangan dibatasi komitmen liberalisasi RCEP

Berlakunya RCEP akan mengubah pola kebijakan perdagangan yang melindungi industri domestik (trade remedies) dengan pembatasan tingkat bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) dan melarang penerapan kuota bila terjadi banjir importasi.

Belum lama ini Indonesia menerapkan BMTP untuk melindungi industri karpet domestik yang kebanjiran produk impor dari Cina. Pemerintah menerapkan bea masuk tambahan atas importasi karpet dari negara asal produk yang membanjiri pasar karpet domestik hingga tahun 2024. Dengan demikian, produsen karpet nasional yang merugi diberikan ‘ruang bernapas’ dan menyesuaikan strategi usahanya untuk bersaing hingga akhirnya tindakan pengamanan dicabut.

Selama ini, Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) berwenang untuk menentukan tingkat BMTP dan kuota yang diterapkan. Tidak ada aturan maksimum dalam penerapan BMTP tersebut.

Namun, dengan berlakunya RCEP, negara anggota hanya dapat mengambil tindakan pengamanan untuk menghentikan komitmen penurunan tarif sementara, mengembalikan tingkat bea masuk setingkat bea masuk umum yang diterapkan pada saat RCEP belum berlaku, atau bea masuk umum yang berlaku pada saat tindakan pengamanan diambil.

Dengan demikian, ketika terjadi banjir impor dari sesama anggota RCEP, pilihan pemerintah menjadi terbatas.

Perlunya pertahanan yang baik

Glorifikasi RCEP seakan melupakan konsep liberalisasi perdangangan yang lazimnya seperti pertandingan sepakbola. Ada pemenang dan ada pecundang.

Selayaknya tim sepak bola yang baik, selain membutuhkan para penyerang andal, tim juga membutuhkan pertahanan yang solid untuk menangkal serangan-serangan yang mengancam gawang.

Alternatif kebijakan trade remedies selain tindakan pengamanan untuk melindungi produk domestik adalah bea masuk anti-dumping (BMAD) dan tindakan imbalan terhadap subsidi (countervailing measures).

Tindakan antidumping dan tindakan imbalan diterapkan ketika menghadapi perdagangan yang curang (unfair trade), misalnya ketika negara pengekspor melakukan dumping atau memberlakukan subsidi yang berlebihan agar harga barangnya lebih murah di pasar global.

Pemerintah harus mulai menelisik penerapan BMAD dan tindakan imbalan dibandingkan dengan mengandalkan tindakan pengamanan secara ekstensif seperti yang sudah-sudah.

Indonesia saat ini belum optimal memanfaatkan instrumen-instrumen perlindungan perdagangan tersebut.

Sejak organisasi perdagangan internasional World Trade Organization (WTO) terbentuk pada 1995, Indonesia baru menerapkan 28 kali tindakan pengamanan, 46 kali tindakan anti-dumping, dan belum pernah ada tindakan imbalan subsidi yang pernah dikenakan.Bila dibandingkan dengan ekonomi dominan di kawasan RCEP, Indonesia relatif tertinggal.

Menurut data kompilasi dari WTO, per 2021, Cina, misalnya, saat ini memiliki 170 proteksi aktif yang terdiri atas 162 tindakan antidumping, tujuh tindakan imbalan, dan hanya satu tindakan pengamanan terhadap berbagai produk yang mengganggu industri domestiknya.

Sementara itu, Australia memilki total 79 proteksi aktif, yang terdiri atas 68 tindakan antidumping dan 11 tindakan imbalan.

Beberapa produk ekspor Indonesia yang menjadi sasaran proteksi dari negara-negara RCEP antara lain produk kertas, produk kaca, dan baja.

Dilihat dari angka kasar tindakan proteksi yang diterapkan, penerapan proteksi trade remedies oleh Indonesia cenderung moderat. Selain itu, Indonesia terlalu fokus pada tindakan pengamanan yang kini menghadapi ancaman modifikasi dengan berlakunya RCEP. Instrumen pertahanan lain yang tersedia, seperti BMAD dan tindakan imbalan, belum dimanfaatkan secara optimal.

Paralel dengan pengembangan potensi ekspansi pasar melalui perjanjian perdagangan bebas, pemerintah juga harus melakukan penguatan kapasitas dalam pelaksanaan mekanisme trade remedies.

Salah satu kesulitan dalam penerapan trade remedies adalah permasalahan kapasitas personil dan institusional Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) maupun KPPI dalam melakukan investigasi sebelum menerapkan kebijakan perlindungan. Pada 2012 silam, KADI pernah menyuarakan penambahan personalia.

Di tengah persiapan ratifikasi, pemerintah dan pemangku kepentingan khususnya pelaku industri perlu mempersiapkan strategi menghadapi ekses negatif dan pil pahit jika RCEP berlaku nanti. Pemerintah dan pelaku industri perlu secara agresif mengejar tindakan dumping dan subsidi yang merugikan, dan menindaklanjutinya dengan menerapkan kebijakan trade remedies yang ada.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now