Menu Close
Tak selamanya seseorang terus bisa berbohong. Jesadaphorn/Shutterstock

Makin sering berbohong makin lihai, tapi manusia tak bisa berdusta non-stop

Makin sering berbohong makin lihai, tapi manusia tak bisa berdusta non-stop

Sejarah bohong dan kebohongan, dalam berbagai level dan kasus, bisa dilacak dalam sejarah kehidupan manusia hingga ribuan tahun lalu. Dalam era modern, dusta kerap dipakai oleh para terdakwa untuk menutupi keterlibatannya dalam perkara yang dituduhkan saat mereka jadi pesakitan di pengadilan.

Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setyo Novanto, misalnya, mengaku sakit saat sedang dicecar hakim di pengadilan dalam perkara korupsi proyek E-KTP. Ada sederetan politikus lainnya yang tiba-tiba jadi lupa atau pura-pura lupa saat berhadapan pengusutan kasus korupsi.

Dalam ilmu psikologi, tindakan berpura-pura sakit fisik dan mental seperti itu disebut malingering. Guru Besar Psikologi Universitas Surabaya Yusti Probowati mengatakan kebohongan tidak bisa terus menerus dilakukan oleh seseorang.

Yusti misalnya, membantu Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap kebohongan terdakwa pemberi suap yang di ruang persidangan terus menerus berbohong. Dalam suatu observasi lewat CCTV dari ruangan monitor KPK dalam berjam-jam, dia menyaksikan terdakwa ternyata tidak bisa terus-terusan bohong. Si terdakwa kadang lupa bila dia harus pura-pura bohong untuk menutupi perannya dalam kejahatan korupsi.

Ada pula kebohongan model Ratna Sarumpaet yang mengaku mukanya dipukuli orang hingga babak belur, tapi dia terpaksa “jujur” bahwa itu efek dari operasi plastik di wajahnya.

Kebohongan besar dimulai dari tipu-tipu kecil. Sebuah studi membuktikan bahwa otak dapat beradaptasi terhadap kebohongan yang kita ciptakan. Artinya, semakin Anda sering berbohong, maka otak akan membuat semakin lihai untuk menipu. Tapi bukan berarti kebohongannya tidak diketahui oleh orang lain.

Bila secara lisan terus berbohong, kini ada alat uji kebohongan, Electro-encephalo-graphy, yang bekerja merekam aktivitas kelistrikan yang dihasilkan neuron otak. Dengan alat itu, psikolog seperti Yusti bisa mengetahui dengan mudah seseorang sedang berbohong atau tidak.

Edisi ke-44 Sains Sekitar Kita ini disiapkan oleh Ihsan Raharjo dan narator Naomi. Selamat mendengarkan!

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now