Menu Close

Sekolah swasta berbiaya rendah melayani masyarakat miskin, tapi terpinggirkan

Sekolah swasta di Koja ini salah satu yang melayani masyarakat berpenghasilan rendah di Jakarta Utara. CIPS, Author provided

Para siswa Sekolah Dasar (SD) Bina Pusaka Koja Jakarta Utara terlihat bersemangat berjalan dan berlari masuk ke halaman sekolah. Mulai Juli lalu, mereka memulai tahun ajaran baru dengan kegembiraan walau mereka belajar di sekolah swasta pinggiran dengan fasilitas pas-pasan.

Saat berangkat ke sekolah, mereka berjalan kaki melalui gang sempit nyempil di antara pemukiman padat penduduk. Rumah mereka rata-rata bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari sekolah. Melihat suka cita di wajah mereka mengingatkan saya pada masa kecil saya berpuluh tahun silam dan pada saat yang sama membuat saya berefleksi tentang nasib sekolah-sekolah swasta murah di negeri ini.

Lantaran ada sejumlah biaya pendaftaran dan iuran bulanan yang ditarik oleh sekolah, terdapat pandangan umum di masyarakat bahwa sekolah swasta adalah lembaga pendidikan berbiaya mahal yang hanya dapat dijangkau oleh masyarakat menengah ke atas. Pada kenyataannya banyak sekolah swasta yang melayani anak-anak dari keluarga miskin dan berpenghasilan rendah.

Kondisi dari sekolah tersebut bervariasi, dari mulai bangunan kokoh tingkat tiga sampai bangunan sederhana dekat rumah penduduk. Sayangnya sektor ini belum banyak mendapat perhatian baik dari para pengambil keputusan maupun masyarakat.

Studi kasus yang saya lakukan bersama rekan-rekan saya di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengenai sekolah-sekolah swasta berbiaya rendah menunjukkan mereka tergerus oleh adanya sejumlah kebijakan yang cenderung meminggirkan sekolah-sekolah swasta.

Padahal, sekolah swasta atau sekolah yang didirikan oleh masyarakat merupakan institusi penting yang membantu memerangi buta huruf di perdesaan dan pinggiran kota di Indonesia, bahkan sejak sebelum Republik Indonesia merdeka. Keterbatasan pemerintah menyediakan layanan pendidikan dijawab oleh inisiatif masyarakat dengan mendirikan sekolah swasta.

Menurut data mutakhir dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama, terdapat 262.993 sekolah di Indonesia, dan lebih dari sepertiga jumlah tersebut adalah sekolah swasta.

Contoh dari Koja

Studi kasus kami dapat memberi sudut pandang lain tentang pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah swasta. Kami menyurvei sekolah-sekolah swasta berbiaya rendah di Kecamatan Koja, wilayah dengan jumlah penduduk miskin terbanyak kedua di Jakarta Utara, atau setara dengan 12.646 rumah tangga sasaran bantuan “beras miskin”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan sekolah-sekolah swasta berbiaya rendah di Koja dan mempelajari peran sekolah-sekolah tersebut dalam memberikan akses pendidikan bagi warga berpenghasilan rendah.

Dalam prosesnya, kami mewawancarai semi-terstruktur dengan 47 orang tua siswa dan 48 kepala sekolah, serta menyurvei lokasi 51 sekolah swasta berbiaya rendah di Koja.

Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa jumlah sekolah swasta di Koja lebih banyak daripada sekolah negeri dan sebagian besar sekolah swasta tersebut dapat dijangkau oleh masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah.

Dari 163 sekolah di tingkat SD hingga SMA dan SMK serta MI-MA di Koja, 86 di antaranya adalah sekolah swasta dan lebih dari setengahnya merupakan sekolah swasta berbiaya rendah, baik sekolah umum maupun madrasah.

Sekolah-sekolah yang kami survei menarik uang sekolah bulanan kurang dari Rp300.000, yang oleh para orang tua siswa dibayar menggunakan uang yang mereka peroleh melalui Kartu Jakarta Pintar. Dengan demikian, meski sekolah-sekolah tersebut menetapkan iuran bulanan, orang tua siswa tidak terlalu terbebani oleh biaya sekolah anak.


Baca juga: Membuka pintu pendidikan lebih lebar bagi siswa difabel di Indonesia


Para orang tua siswa—mayoritas berpenghasilan setara upah minimum DKI Jakarta pada 2017 sebesar Rp 3,35 juta—yang kami survei memilih untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta karena berbagai pertimbangan, antara lain, jarak ke sekolah dekat dari rumah sehingga bisa dijangkau dengan berjalan kaki saja.

Beberapa orang tua juga menilai sekolah swasta memiliki kualitas yang lebih unggul dibandingkan dengan sekolah negeri di sekitarnya, seperti penerapan disiplin yang lebih baik dan guru yang lebih memberi atensi terhadap siswa. Ada yang mengatakan sekolah swasta memberi kemudahan yang diberikan oleh pihak sekolah dalam proses pendaftaran, seperti keringanan dalam pembayaran uang pendaftaran dan persyaratan administrasi yang lebih sederhana.

Sebagian orangtua siswa juga menyebutkan adanya pemberian pelajaran agama Islam yang lebih baik sebagai bagian dari kurikulum juga menjadi salah satu alasan mereka mengirim anaknya ke sekolah-sekolah yang kami survei.

Dari riset tersebut, terlihat bahwa tidak semua sekolah swasta adalah sekolah bagi kaum elit, dan tidak selamanya masyarakat kurang mampu memilih untuk menyekolahkan anaknya di sekolah negeri.

Sekolah swasta dipinggirkan kebijakan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan jelas menyatakan bahwa masyarakat memiliki hak untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan, dan memiliki kewajiban untuk memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian sekolah swasta merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam memberikan akses pendidikan bagi warga negara Indonesia.

Dalam contoh kasus di Koja, sekolah swasta hadir bagi warga negara miskin atau berpenghasilan rendah. Masih banyak lagi sekolah swasta yang didirikan oleh masyarakat karena ketidakhadiran negara—tidak ada sekolah negeri—di berbagai wilayah lain di Indonesia.

Sekolah-sekolah swasta di Indonesia harus menghadapi paket kebijakan tentang standar sarana dan prasarana sekolah yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kebijakan ini menyulitkan sekolah swasta berbiaya rendah dengan lahan terbatas, yang berada di kawasan padat penduduk seperti Koja, untuk mengembangkan sekolah mereka (misalnya menambah ruang kelas atau mendirikan sekolah baru). Dalam aturan tersebut ada syarat minimum luas tanah dan luas bangunan sekolah.

Selain itu, perdebatan mengenai pendidikan di Indonesia masih menitikberatkan pada pelaksanaan pendidikan formal yang dilakukan oleh sekolah negeri. Bantuan pembangunan atau penelitian yang dilakukan oleh berbagai instansi mengambil sekolah-sekolah negeri sebagai subyek penelitian, namun hasilnya dianggap mewakili kondisi pendidikan di Indonesia secara keseluruhan.

Kealpaan dalam mengikutsertakan sekolah swasta dalam pertimbangan dan pengambilan keputusan terkait pendidikan sama dengan meminggirkan tak hanya jutaan siswa Indonesia, tapi juga ratusan ribu pendidik dan tenaga kependidikan yang bekerja di sektor sekolah swasta.

Mengingat pentingnya peran sekolah swasta dalam memberikan akses pendidikan bagi warga miskin atau berpenghasilan rendah, sudah saatnya sekolah swasta mendapatkan perhatian yang lebih baik dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.

Pemerintah diharapkan dapat mengkaji ulang beberapa kebijakan terkait pendidikan, seperti paket kebijakan tentang sarana dan prasarana sekolah, sehingga dapat memberi ruang bagi perkembangan sektor sekolah swasta berbiaya rendah, agar semakin banyak anak Indonesia yang bisa menikmati pendidikan berkualitas.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now