Menu Close
Seorang aktivis dari Papua Barat memegang sebuah papan dalam sebuah aksi protes di Jakarta, Desember lalu. Adi Weda/EPA

Seruan bagi pemerintah untuk mendorong lebih banyak riset tentang Papua–sebuah refleksi peneliti

Kebanyakan orang, termasuk saya, sering salah kaprah menganggap Papua sebagai salah satu daerah yang paling terbelakang dan berbahaya di seluruh nusantara.

Asumsi ini akibat hasil kebijakan pembangunan semasa rezim Orde Baru yang mengabaikan Indonesia bagian timur selama beberapa dekade dan hanya fokus pada pembangunan di pulau Jawa dimana lebih dari setengah dari 260 juta penduduk Indonesia berdomisili. Kebijakan Orde Baru tersebut mengakibatkan kesenjangan ekonomi antara wilayah timur dan barat Indonesia, serta menimbulkan berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut termasuk kemiskinan, kurangnya pembangunan infrastruktur, performa birokrasi yang buruk, korupsi dan gerakan separatis.

Akan tetapi ketika saya mengunjungi Papua pada 2016 untuk penelitian doktoral saya mengenai dampak sosial ekonomi subsidi energi pada komunitas nelayan, banyak hal yang telah berubah. Selama kunjungan tersebut, saya menemukan banyak fakta-fakta yang menarik yang tidak ditemukan pada penelitian dan publikasi terbaru tentang Papua.

Artikel ini bertujuan untuk berbagi wawasan tentang Papua berdasarkan pengalaman pribadi saya meneliti di Papua. Saya berharap artikel ini dapat mendorong banyak penelitian tentang Papua serta dapat berkontribusi untuk memecahkan sebagian masalah yang ada di Papua.

Tidak begitu terbelakang seperti yang dikira

Sebelum saya terbang ke sana, persepsi-persepsi menakutkan tentang Papua–seperti penduduknya yang memegang parang dan panah dan diliputi kemiskinan–menghantui pikiran saya. Tapi, setelah saya mendarat di Sorong, Papua Barat, saya melihat sebuah kota yang terbangun dengan baik. Selain itu, orang-orang menjalani hidup mereka secara normal sebagaimana penduduk di provinsi-provinsi yang lain. Di pagi hari, anak-anak berangkat ke sekolah, sementara itu penjual dan pembeli meramaikan pasar setempat. Pada malam hari, banyak orang yang nongkrong dan bernyanyi di pantai Tembok Berlin di Sorong.

Bahkan dalam pengamatan saya beberapa ibu kota provinsi di Papua Barat dan Papua menyerupai kota-kota besar di Sulawesi yang dianggap sebagai pulau paling maju di wilayah bagian timur Indonesia.

Kota seperti Jayapura di Papua bahkan lebih berkembang dari Ternate, bekas ibu kota Maluku Utara.

Produk Domestik Bruto (PDB) lokal dalam miliaran rupiah tahun 2017 (Data diolah dari statistik yang dikeluarkan oleh BPS-Ternate, BPS-Manokwari, and Dispenda Jayapura)

Data statistik juga menunjukkan pertumbuhan ekonomi kedua provinsi di Papua lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya mencapai 5,27% pada kuartal ketiga 2018. Pada periode itu, Papua tumbuh 6,76%, sementara Papua Barat tumbuh 6,89%.

Setelah pemerintahan Soeharto runtuh pada tahun 1998, isu kekerasan membuat beberapa daerah ingin memisahkan diri dari Indonesia. Pemerintah Indonesia kemudian menawarkan otonomi khusus ke beberapa provinsi, termasuk Papua pada 2001. Alokasi dana otonomi khusus untuk Papua dan Papua Barat sudah melonjak 505% dari Rp1,38 triliun (US$95,5 juta) ke Rp.8,3 triliun sejak 2002.

Indeks pembangunan manusia yang digunakan untuk mengukur capaian pada dimensi kunci dalam pembangunan termasuk angka harapan hidup, pendidikan, dan standar hidup layak, juga meningkat 7.8% dari tahun 2012 hingga 2018. Angka tersebut di atas rata-rata nasional yang bertengger di angka 4.6%.

Meskipun mengalami kemajuan yang cukup berarti, kemiskinan masih mengintai. Di Papua 27.62% dari jumlah penduduk atau sekitar 917.681 orang tergolong miskin. Sementara itu, 25% dari populasi di Papua Barat atau sekitar 214.000 masih hidup dalam kemiskinan.

Walau angka ini cukup mengecewakan, pemerintah sebenarnya telah berhasil mengurangi tingkat kemiskinan sebesar 3.4% untuk Papua dan 1.94% untuk Papua Barat dari tahun 2012 sampai 2017. Sementara, pada periode yang sama, angka kemiskinan nasional meningkat 1.84%.

Masalah kemiskinan tersebut disebabkan oleh manajemen dan alokasi anggaran yang tidak efisien.

Meskipun begitu berdasarkan hasil wawancara saya dengan ahli bahasa dari Universitas Cendrawasih Willem Burung, mengatakan bahwa orang Papua tidak suka dianggap orang miskin karena mereka percaya mereka memiliki sumber daya alam yang melimpah.

Tidak sebahaya seperti yang diduga

Selama penelitian lapangan, saya menemukan orang Papua sangat ramah, baik, dan suka membuat lelucon. Saya tidak menemukan konflik di antara masyarakat serta juga tidak mengalami penolakan dari mereka. Saya merasa lebih mudah bergaul dengan mereka karena saya berasal dari Sulawesi Selatan yang memiliki kemiripan logat. Sikap yang sangat ramah tersebut, membuat saya sulit mempercayai bahwa mereka suka memicu konflik.

Namun, perlu diketahui bahwa sampel penelitian saya yang hanya mencakup penduduk yang tinggal di wilayah pesisir. Masyarakat ini memiliki akses ekonomi dan informasi yang lebih baik dibandingkan masyarakat yang tinggal di wilayah pegunungan-pegunungan terpencil, yang merupakan basis dari gerakan separatis.

Kelompok-kelompok separatis di daerah terpencil tersebut dipicu oleh faktor kesenjangan sosial ekonomi yang mereka rasakan.

Berbeda dengan gerakan separatis, hampir semua responden saya mengatakan mereka menganggap diri mereka sebagai orang Indonesia dan tidak menuntut kemerdekaan dari Indonesia. Sebagian dari mereka bahkan mempertanyakan nasib Papua seandainya mereka berpisah dari Indonesia karena tidak ada yang bisa menjamin hidup mereka akan jauh lebih baik di bawah kekuasaan rezim yang baru

“Ya sudahlah, itu (memisahkan diri dari Indonesia) hanya tambah masalah saja”.

Permasalahan Korupsi

Media sering memberitakan bahwa meskipun pemerintah pusat telah memberikan bantuan keuangan, pemerintah dianggap masih gagal dalam menghentikan gerakan separatis Papua karena adanya alasan historis dan politik.

Namun demikian, terlepas dari alasan-alasan tersebut, saya percaya bahwa gerakan separatis Papua masih akan terus berlanjut selama pemerintah pusat tidak mengatasi masalah sosial ekonomi di Papua.

Permasalahan-permasalahan ekonomi dan sosial di Papua timbul karena tindakan korupsi di kalangan pejabat pemerintah Papua. Pemerintah daerah sendiri telah memperoleh otonomi untuk mengatur urusan bisnis dan ekonomi mereka sejak tahun 2001. Tetapi, korupsi merajalela di antara para birokrat. Saya percaya bahwa aparat-aparat yang korup tersebut yang menyebabkan ketimpangan terus berlanjut di Papua dan memprovokasi pergerakan separatis.

Orang-orang yang saya wawancarai menyatakan bahwa para pejabat di Papua Barat dan Papua telah menyalahgunakan dana otonomi khusus dan membagikan bantuan tersebut kepada kerabat atau simpatisan politik mereka sendiri. Mayoritas dana otonomi khusus tersebut tidak menyentuh masyarakat kecil.

Saya sering mendengar dari responden-responden saya mengatakan: “Orang Papua dimanipulasi oleh Papua” atau “Orang Papua dijajah oleh Papua”.

Usaha Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam merayu orang Papua dengan membangun infrastruktur kemungkinan tidak sepenuhnya berhasil karena Jokowi belum berhasil mengatasi masalah korupsi dan birokrasi yang buruk di pemerintah daerah.

Kurangnya mekanisme pengawasan dari pemerintah turut memperburuk situasi ini. Namun demikian, pemerintah pusat tidak punya banyak pilihan. Menginvestigasi kasus-kasus korupsi di kalangan petinggi Papua berpotensi memicu konflik baru karena para elite ini bisa saja memprovokasi pendukung mereka untuk menentang pemerintah pusat.

Apa yang bisa dilakukan?

Tidak ada cara sederhana untuk memahami dan menyelesaikan konflik di Papua. Ada kesenjangan antara apa yang nyata dan apa yang dipersepsikan tentang Papua. Hal ini disebabkan oleh kurangnya penelitian terbaru tentang Papua.

Saya percaya bahwa hanya dengan memberikan informasi yang objektif dengan melibatkan para akademisi dan peneliti untuk melakukan penelitian yang lebih banyak tentang Papua dapat menyelesaikan masalah di Papua.

Sebagian besar dari penelitian terbaru tentang Papua menunjukkan data yang didaur ulang dari penelitian yang dilakukan 20 atau 30 tahun yang lalu. Penelitian ini juga kekurangan data orisinal, artinya mereka hanya mengutip sumber-sumber lama tanpa melakukan penelitian lapangan.

Kurangnya penelitian tentang Papua sebagian besar disebabkan oleh kontrol ketat pemerintah terhadap provinsi tersebut. Meskipun Jokowi telah mencabut larangan bagi pers asing untuk meliput isu di Papua, pada kenyataannya, praktiknya jauh berbeda di lapangan. Para peneliti juga khawatir dengan masalah keselamatan mereka.

Dari pengalaman pribadi saya, kurangnya informasi tentang prosedur untuk melakukan penelitian di Papua juga menjadi permasalahan tersendiri.

Namun, kita bisa menyimpulkan bahwa kurangnya penelitian yang objektif tentang Papua menyebabkan pemerintah memecahkan masalah Papua dengan solusi lama.

Oleh karena itu, pemerintah harus mendukung dan mendorong lebih banyak akademisi untuk meneliti Papua sehingga solusi yang lebih baik untuk Papua dapat ditemukan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now