Menu Close
Seekor anjing yang mencium bau stres.
Matt Donnelly , Author provided

Studi baru temukan anjing dapat mencium stres yang dialami manusia

Anjing telah lama hidup bersama manusia, sehingga mereka memiliki kemampuan luar biasa dalam membaca isyarat manusia. Anjing juga memiliki indra penciuman mengagumkan yang memungkinkan mereka untuk mendeteksi penyakit, seperti COVID dan kanker paru-paru pada manusia hanya dengan menggunakan indra penciuman mereka. Namun, kemampuan anjing yang telah berkembang untuk mendeteksi bau yang terkait dengan keadaan psikologis manusia masih belum banyak dipelajari.

Stres yang dialami manusia menyebabkan perubahan hormonal dan pada sistem saraf yang mengubah jenis bau yang dihasilkan tubuh. Bersama rekan-rekan saya, saya ingin mencari tahu apakah anjing dapat membedakan sampel bau yang diambil dari seseorang yang sama sebelum dan sesudah ia mengalami stres. Dalam penelitian ini, kami mendapatkan ide dari bidang anjing pelacak biomedis (anjing pengendus di laboratorium) dan menggabungkan ide tersebut dengan teknik yang digunakan untuk menguji persepsi bau anjing.

Hasil penelitian kami ini dipublikasikan di jurnal PLOS One.

Untuk menguji apakah anjing dapat mendeteksi bau yang terkait dengan stres psikologis, kami memasang sensor pada peserta penelitian untuk terus mengukur detak jantung dan tekanan darah mereka. Para peserta juga menilai tingkat stres mereka sebelum dan sesudah menyelesaikan tugas yang harus mereka lakukan.

Sebelum tugas dimulai, peserta menyeka kain kasa di belakang leher mereka, memasukkannya ke dalam botol kaca steril, dan menghembuskan napas mereka ke dalam botol tersebut. Kami kemudian meminta peserta untuk melakukan tugas aritmatika mental yang cepat untuk membuat mereka merasa stres.

Setelah tugas selesai, peserta kembali memberikan penilaian tentang tingkat stres mereka, dan mereka memberikan dua sampel keringat/napas tambahan.

Total waktu antara pengumpulan sampel santai (pra-tugas) dan stres (pasca-tugas) adalah empat menit. Ini diestimasikan untuk mengurangi kemungkinan peserta merasakan perubahan dalam diri mereka selain yang ditimbulkan stres.

Kami hanya menyertakan sampel dalam penelitian ini dari peserta yang menyampaikan bahwa tugas yang dilakukan membuat mereka stres, dan detak jantung serta tekanan darah mereka meningkat selama mengerjakan tugas tersebut. Kami menggunakan sampel dari 36 orang untuk diendus oleh anjing.

Proses pelatihan

Anjing-anjing dalam penelitian ini adalah hewan peliharaan yang diikutsertakan secara sukarela oleh pemiliknya dan yang telah dilatih menggunakan metode penguatan positif oleh para peneliti di laboratorium seminggu sekali. Sebelum pengumpulan data formal dimulai, para anjing dilatih untuk berkomunikasi saat mereka memilih sampel dengan berdiri dan tidak bergerak di atas sampel tersebut selama beberapa detik atau duduk di depan sampel - kami menyebutnya “sikap waspada.”

Anjing-anjing tersebut kemudian dilatih permainan mencocokkan, di mana mereka belajar membedakan sampel dengan perbedaan bau yang diketahui. Anjing-anjing yang ditetapkan telah mampu melakukan hal tersebut siap untuk melakukan pengujian.

Pada saat pengujian, kami menugaskan para anjing untuk membedakan sampel seseorang yang diambil sebelum dan sesudah melakukan tugas aritmatika. Untuk melatih para anjing untuk fokus pada bau tertentu di setiap sesi pengujian, pertama-tama mereka dihadapkan kepada sampel keringat/napas orang yang mengalami stres bersama dengan dua “sampel kontrol” – kain kasa bersih dalam botol kaca tanpa keringat atau napas.

Anjing-anjing tersebut diperbolehkan untuk mengendus ketiga sampel itu dan diberi hadiah jika mereka memberi tanda kepada para peneliti tentang sampel keringat/napas.

Setelah sepuluh percobaan, sampel napas/keringat kedua ditambahkan ke dalam jajaran sampel, yaitu sampel orang yang sama dalam kondisi tenang. Pada tahap inilah tes diskriminasi dimulai selama 20 percobaan berikutnya. Melalui sikap waspada mereka, para anjing bertugas untuk mengkomunikasikan sampel mana yang mereka anggap sama dengan yang ditunjukkan kepada mereka dalam sepuluh percobaan sebelumnya, yaitu sampel yang berbau seperti sampel stres. Karena anjing mungkin menggunakan informasi lain untuk membantu mereka membuat pilihan, kami menyertakan sampel kontrol visual dan bau.

Anjing di Italia dilatih untuk mencium bau COVID.
Anjing telah dilatih untuk mencium bau COVID. LaPresse / Alamy Stock Photo

Jika para anjing menganggap kedua bau ini sama, kami berpendapat bahwa mereka memilih salah satunya secara kebetulan. Jika kedua bau dianggap berbeda, mereka akan dapat secara konsisten menemukan bau yang pertama kali disampaikan kepada mereka: bau stres. Setiap set sampel dari peserta hanya digunakan sekali, sehingga anjing dapat menguji sampel dari orang yang berbeda di setiap sesi.

Sejak pertama kali para anjing terpapar sampel, mereka mendapati semua sampel memiliki bau yang berbeda. Mereka dengan benar memilih sampel stres 94% dari 720 percobaan. Ini menunjukkan bahwa pengalaman psikologis para peserta dari tugas aritmatika telah mengakibatkan tubuh mereka mengeluarkan bau napas dan keringat yang dapat dideteksi oleh anjing.

Perlu diingat bahwa tujuan penelitian ini bukanlah untuk menentukan apakah bau yang ditemukan para anjing dari sampel stres mencerminkan keadaan emosi negatif. Dalam kehidupan nyata, sangat mungkin bagi anjing untuk menggunakan berbagai isyarat kontekstual, seperti bahasa tubuh, nada suara, atau laju pernapasan kita untuk membantu mereka memahami suatu situasi. Namun, hasil pengujian ini menunjukkan bahwa bau juga menjadi sebuah komponen yang dapat digunakan oleh anjing.

Dengan menetapkan bahwa anjing dapat mendeteksi bau yang terkait dengan kondisi stres manusia, kita mendapatkan pengetahuan lebih tentang hubungan manusia dengan anjing dan pemahaman lebih dalam tentang bagaimana anjing merasakan dan berinteraksi dengan keadaan psikologis manusia. Pengetahuan ini juga dapat berguna untuk melatih anjing untuk merespons isyarat pada pasien yang mengalami kecemasan dan stres pascatrauma (PTSD).


Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now