Menu Close

Swasta diharapkan berperan dalam program antariksa Indonesia

Ikram Putra/The Conversation

Saat ini, ada tren perusahaan swasta semakin terlibat dalam pengembangan teknologi keantariksaan–peran yang awalnya hanya dilakukan pemerintah.

Thomas Djamaluddin, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), mengatakan seiring kemajuan, teknologi antariksa kini sudah dapat memberikan peluang untuk komersial atau mencari laba, sehingga dunia swasta mulai tertarik.

“Saat ini LAPAN sedang mendorong secara bertahap untuk membangun kegiatan keantariksaan komersial untuk bisa mengikutsertakan swasta,” sebut Thomas dalam acara diskusi “50 tahun pendaratan Apollo 11 di Bulan: Kapan Indonesia menyusul?” di pusat kebudayaan Amerika Serikat (AS) @america di Jakarta pada 29 Juli 2019. Acara tersebut diselenggarakan oleh The Conversation bekerja sama dengan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia dan Kedutaan Besar AS.

Menurut Thomas, swasta yang akan diajak terlibat mulai dari perusahaan tingkat start-up hingga yang di bidang teknologi tinggi.


Read more: Dari gen terungkap tak ada manusia pribumi Indonesia


LAPAN kini sudah mulai membuat satelit komunikasi orbit rendah karena dibutuhkan 9 satelit semacam itu di Indonesia. “Nanti LAPAN hanya membuat satu, 8 lagi kemungkinan oleh BUMN atau swasta yang nantinya mereka akan meluncurkan,” jelasnya. Tentu saja, harus ada unsur komersial untuk menarik swasta.

Ke depan, LAPAN berharap akan ada industri keantariksaan di Indonesia.

“Bukan hanya industri biasa, mulai dari teknologinya, sampai dengan pemanfaatannya,” kata Thomas.

Di era terdahulu, program keantariksaan adalah program yang menuntut biaya mahal, teknologi tinggi, dan risiko besar.

Oleh karena itu pengembangan teknologi antariksa pada masa awal dilakukan oleh pemerintah. AS, misalnya memiliki Badan Penerbangan dan Antariksa (bahasa Inggris: National Aeronautics and Space Administration, disingkat NASA) dan Jepang memiliki Badan Penjelajahan Antariksa (Japan Aerospace Exploration Agency, disingkat JAXA).

Wajar dengan tuntutan sedemikian besar, di masa lalu swasta tidak mau berperan,

Sebenarnya, pada 1985, pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan NASA dalam rangka misi Wahana Antariksa yang rencananya dijalankan pada 24 Juni 1986 dengan menggunakan pesawat ulang-alik Columbia.

Misi ini bertujuan membawa tiga satelit komersial, diantaranya Palapa B3, satelit milik Indonesia.

Pratiwi Sudarmono, astronot perempuan pertama Indonesia dan ahli biologi Universitas Indonesia, mengatakan pemerintah Indonesia diundang untuk melibatkan astronot asal Indonesia.

Pratiwi terpilih sebagai wakil Indonesia dalam misi itu. Ia sedianya berperan sebagai Spesialis Muatan untuk pesawat ulang-alik Columbia. Namun, rencana itu buyar saat pesawat ulang-alik Challenger milik AS yang hendak menunaikan misi lain meledak di udara tidak lama setelah diluncurkan pada 28 Januari 1986–beberapa bulan sebelum jadwal misi Columbia.

Misi Columbia tertunda berlarut-larut, hingga akhirnya perkara pendanaan pun menjadi pengganjalnya.

“Tahun 1998 terjadi krisis moneter, maka program ini terpaksa harus dihentikan karena Indonesia tidak punya dana lagi untuk mengirim saya kesana,” ungkap Pratiwi.

Namun, ia berharap di masa datang Indonesia tetap bisa melakukan atau terlibat dalam program keantariksaan.

“Saya sangat bangga sebagai seorang wanita dari negara Asia yang (mayoritas) Muslim dapat berlatih dan bekerja bagi program luar angkasa. Semoga program yang akan datang bisa dirasakan (rakyat Indonesia),” katanya.

NASA berencana untuk mendaratkan manusia kembali di Bulan, sebagai bagian dari angan-angan untuk mendarat di Mars, dengan menggandeng berbagai pihak, termasuk negara-negara lain seperti Indonesia. Dalam proyek selanjutnya, NASA juga bekerja sama dengan pihak swasta seperti SpaceX, Blue Origin dan Lockheed Martin untuk mendukung proyek ini.

Premana Premadi, astronom perempuan pertama Indonesia, mendaratkan manusia ke Bulan adalah pekerjaan yang sangat ilmiah sekaligus juga personal, dan merupakan terobosan ilmu dari seluruh peradaban.

“Jadi itu bukan hanya kesuksesan Amerika, tapi kesuksesan seluruh peradaban,” katanya.

Perjalanan ke Bulan dan ke Mars adalah bagian dari aspirasi dan imajinasi manusia. “Sains, teknologi, dan engineering (teknik) itu seperti kendaraan. Yang mengarahkan kendaraan itu adalah keinginan kita, aspirasi kita, imajinasi kita.”

Menurut Premana, sejauh mana penjelajahan ilmu dan kemampuan manusia sangat tergantung pada sejauh mana angan-angan manusia.

“Perkaranya adalah bagaimana kita memperkaya imajinasi kita. Orang yang sempit pandangannya, ya imajinasinya terbatas. Jadi, kepergian manusia di bulan itu adalah perluasan horizon yang luar biasa.”

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now