Menu Close

Tarik ulur pemenuhan kebutuhan domestik dan ekspor produk unggulan, larangan ekspor minyak sawit bukan solusi

Petugas melayani warga membeli minyak goreng pada Bazaar Minyak Goreng Murah di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (20/4/2022). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/tom.

Baru-baru ini, pemerintah mengungkapkan rencana untuk melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya mulai 28 April 2022.

Kebijakan ini diharapkan dapat menjaga pasokan minyak goreng di dalam negeri yang selama setengah tahun terakhir mengalami kelangkaan stok dan pembengkakan harga. Walaupun, hal ini berarti pemasukan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya, yang merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia, akan mengalami penurunan.

Pemerintah melontarkan wacana ini tak lama berselang dari penetapan pejabat tinggi Kementerian Perdagangan sebagai tersangka kasus suap ekspor minyak goreng dan empat bos perusahaan sawit besar sebagai tersangka kasus penimbunan produk tersebut, yang membuat harga menjadi sulit dikontrol.

Peristiwa tersebut memberi pelajaran bahwa distribusi minyak sawit menjadi salah satu permasalahan penting yang perlu diatasi pemerintah. Tarik ulur pemenuhan kebutuhan domestik dan keinginan pengusaha untuk meraup keuntungan yang lebih dari pasar global menjadi biang kerok di balik kelangkaan pasokan produk olahan dalam negeri sekaligus membuka potensi korupsi.

Akan tetapi, menurut kami, larangan ekspor CPO tidak tepat dalam upaya mengatasi masalah di rantai pasok. Pemerintah perlu lebih dalam memahami dilema yang dihadapi produsen dan distributor.


Read more: Harga minyak goreng melonjak di negara produsen kelapa sawit terbesar. Ada apa?


Apakah larangan ekspor dapat membantu mengatasi dilema pasokan domestik-ekspor?

Dari perspektif dalam negeri, larangan ekspor CPO hanya akan mengakibatkan petani CPO rakyat atau petani plasma menderita akibat produksinya yang tidak terserap untuk kebutuhan ekspor. Artinya, kesejahteraan mereka rentan terdampak akibat kebijakan pelarangan tersebut.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018, terdapat 2,67 juta petani yang menggantungkan hidupnya dari perkebunan sawit.

Larangan ekspor juga akan membuat produksi dalam negeri berlebih karena tidak semua produsen sawit, terutama petani rakyat, memiliki teknologi pengolahan CPO.

Dari perspektif perdagangan luar negeri, kebijakan ini sangat berisiko karena konsekuensinya cukup besar di tingkatan rantai pasok global. Hal ini mengingat Indonesia merupakan eksportir penting minyak sawit dunia.

Produksi komoditas minyak kelapa sawit nasional tahun 2021 mencapai 47 juta ton atau meningkat 18% dari tahun 2017. Dibandingkan dengan tahun 2020, produksi sebetulnya mengalami kontraksi 0,31% akibat gangguan cuaca dan kekurangan tenaga kerja akibat pandemi.

Sementara, konsumsi minyak sawit domestik pada 2021 mencapai 18 juta ton atau naik 6% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Lebih jelasnya, konsumsi minyak sawit untuk pangan naik 6%, oleokimia (bahan kimia dari lemak alami) 25%, dan biodiesel naik 2%.

Angka konsumsi tersebut hanya sekitar 1/3 dari total produksi nasional – sisanya menjadi komoditas ekspor.

Hal ini membuat Indonesia menjadi pemegang pangsa pasar utama yang menyuplai komoditas minyak sawit.

Per 2019, pangsa Indonesia sebagai pengekspor minyak sawit dunia mencapai 51,4% atau lebih dari setengah nilai ekspor minyak sawit global.

Artinya, banyak negara bergantung pada pasokan minyak kelapa sawit Indonesia.

Pelarangan ekspor minyak sawit oleh pemerintah Indonesia tentunya dapat memperparah kenaikan harga CPO di pasar global. Kenaikan ini kemudian juga bisa diikuti dengan peningkatan harga produk-produk subsitusi (minyak kanola, minyak zaitun, minyak kelapa) dan turunan minyak sawit (kosmetik, sabun, sampo, pembersih) di pasar global.

Pemerintah harus memperhitungkan secara akurat kebutuhan dalam negeri dan menyesuaikan kuota ekspor bagi perusahaan. Pemerintah juga harus melibatkan para ahli ekonomi dari lembaga penelitian dan universitas untuk mengatasi masalah ini secara tepat.


Read more: Klaim sukses hilirisasi nikel berbasis larangan ekspor masih memiliki segudang masalah


Pemberian insentif dan disinsentif bisa jadi solusi

Permintaan dan harga yang tinggi di pasar global membuat produsen memilih untuk untuk mengekspor produknya ketimbang menyuplai pasar domestik yang kebutuhannya tengah meningkat.

Pada awal tahun 2022, terdapat lonjakan harga minyak sawit dunia yang cukup signifikan akibat kondisi cuaca yang menekan tingkat produksi minyak nabati dunia.

Secara total, produksi minyak nabati dunia anjlok 3,5% di tahun 2021.

Menurunnya produksi minyak nabati lain membuat permintaan minyak sawit melejit. Pada tahun 2021, volume ekspor produk sawit pada 2021 meningkat 56,63% menjadi sekitar 40,31 juta ton dari tahun sebelumnya, dengan nilai ekspor mencapai US$35,79 miliar.

Akibat meningkatnya harga dan volume ekspor, permintaan dalam negeri dinomor duakan oleh produsen. Harga minyak goreng, yang merupakan salah satu produk turunan kelapa sawit, melambung tajam sejak akhir tahun lalu akibat naiknya harga global dan kurangnya suplai lokal.

Pada Januari silam, pemerintah menanggapi hal ini dengan menerapkan kebijakan minyak goreng satu harga, yaitu Rp 14.000 per liter.

Namun, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, mengakui kebijakan satu harga belum optimal. Pasalnya, kebijakan tersebut justru berpotensi membuat kelangkaan pasokan di pasar. Kebocoran pasokan disebabkan karena produsen semakin memprioritaskan pasar ekspor karena harga yang lebih menggiurkan.

Alih-alih melarang ekspor, kebijakan minyak satu harga harus disesuaikan dengan mekanisme insentif dan disinsentif untuk mengurangi konsekuensi kelangkaan pasokan.

Insentif dan disinsentif ini diperlukan untuk menjamin kepatuhan produsen atau perusahaan kelapa sawit dalam mendukung kebijakan stabilitas harga minyak goreng.

Insentif yang dapat diberikan misalnya diskon atau penurunan tarif bea keluar dan biaya-biaya ekspor lainnya bagi produsen yang mendukung penuh upaya menjaga pasokan domestik. Setidaknya, insentif ini dapat mengurangi potensi kehilangan keuntungan yang seharusnya didapatkan perusahaan jika mereka mengekspor produknya ke luar negeri.

Sementara itu, disinsentif yang mungkin diberikan mulai dari pemberian denda atau bahkan yang paling ekstrem adalah penutupan usaha.

Namun, solusi tersebut harus dibarengi dengan hitung-hitungan yang tepat antara kebutuhan pasar domestik dan ekspor.

Dalam implementasinya, pemberian insentif dan disinsentif ini harus juga dibarengi dengan komunikasi yang baik dan transparan antara pemerintah dengan produsen-produsen sawit dari berbagai macam level, mulai dari produsen petani kecil hingga produsen besar. Asosiasi produsen sawit dalam hal ini mungkin bisa membantu untuk menampung aspirasi dari para produsen.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now